http://aang-zaeni.blogspot.co.id/ Dikisahkan bahwa pada suatu hari, ada seorang pencuri yang melaporkan penjaga pos kamling yang memukul kenthong saat ia mau beraksi untuk mencuri, karena hal itu, akhirnya pencuri tidak jadi melaksanakan tugasnya yaitu mencuri. Pencuri ini menggugat penjaga pos kamling tersebut dengan dalih bahwa pos kamling itu telah melanggar hak asasi manusianya untuk mencuri, wal hasil, raja marah karena menganggap tindakan melanggar ham merupakan kejahatan subsersif, sehingga penjaga pos itu ditanggkap dan tangan yang memukul kenthungan dipotong. Cerita ini hanya sebuah anekdot yang dibaca cukup menggelikan dan diluar nalar. Tapi siapa yang membayangkan bahwa cerita ini ternyata teraplikasikan secara nyata dalam bentuk yang lain?
Tidak lepas dari ingatan, salah satu aliran sesat yang pernah terkenal karena mengirimkan surat kepada ketua mahkamah agung RI pada 25 november 2007 atas nama God’s kingdom. Aliran sesat yang diprakarsai oleh Lia Eden yang mengaku sebagai malaikat jibril. Ketika aliran ini ditanyakan kepada MUI, tentu sebagai lembaga yang oleh Adian Husaini disebut sebagai pelanjut tugas kenabian menyatakan secara tegas “itu sesat”. Mengaku dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah mendapatkan wahyu dari malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang harus ditanggulangi. Karena bersikap tegas, MUI bukannya mendapatkan respect atas tindakannya untuk menyelamatkan agamanya, melainkan dihujani cacian dan hujatan.
Ada yang mengatakan MUI tolol. Sebuah jurnal kegamaan yang terbit di satu kampus Islam Semarang menurunkan laporan utama : “Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan”. Ada praktisi hukum angkat bicara di sini “MUI bisa dijerat KUHP Provokator”.[1] Sejumlah kelompok datang ke komnas HAM meminta pembubaran MUI. Tidak kah cerita ini esensi kejadian dan permasalahannya sama dengan anekdot di atas?
Masalah HAM, merupakan masalah yang tidak ada habisnya dan menarik untuk dibicarakan hingga sekarang. Di satu sisi pendeklarasian HAM layak untuk ditampilkan agar tidak lagi terjadi diskirminasi baik secara fisik maupun psikis kepada orang lain. Namun di sisi lain, HAM dijadikan tameng untuk melanggar hak asasi itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat konsep HAM menurut Islam, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an berdasarkan tafsir al-Maraghi. Luasnya cakupan HAM tersebut membuat kami membatasinya dengan menjelaskan empat poin HAM menurut Islam tersebut.
Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat kami simpulkan rumusan masalah dalam tulisan ini, sebagai berikut:
- Bagaimana latar belakang munculnya HAM?
- Apa pengertian HAM?
- Bagaimana konsep HAM dalam Islam berdasarkan tafsiran al-Maraghi?
Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian menyebar keberbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa[2] serta bahsa dan warna kulit yang berbeda-beda[3]. Karna itu, manusia, menurut pandangan Islam, adalah umat Islam yang satu ”ummatun waahidatun”[4].
Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia. Manusia adalah bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Manusia, menurut Islam hanya milik Alloh dan hamba Alloh dan tidak boleh menjadi hamba makhluk-Nya, termasuk hamba dari manusia[5].
Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul kebebasan manusia yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, menyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan dari peganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua sisi dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak bebicara dan mengeluarkan pendapat, hak mendapat pekerjaan, hak berkeluarga dan hak dipelakukan sebagai manusia yang terhormat dan sebagainya.
Di samping itu, kebebasan manusia dalam Islam tidak bersifat absolut, hak bersifat absolut itu haya berada di tangan Alloh. Alloh adalah pemilik yang sesungguhya terhadap alam semesta termasuk manusia itu sendiri. Oleh karena itu selain memiliki hak, manusia juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanankan baik kepada tuhannya maupun kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Sehingga berdasarkan ini manusia dilarang semena-mena dalam menggunakan hak-hak yang dimilikinya.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan[6]. Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari pada hakekatnya dan kaena itu bersifat suci[7].
Prinsip-prinsip umum tentang hak-hak asasi manusia yang dicanangkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dianggap sebagai pedoman standara bagi pelaksanaan penegakan HAM bagi bangsa-bangsa, terutama yang bergabung dalam badan tertinggi dunia itu hingga saat ini. Prinsip-prinsip umum tersebut dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights, UDHR (Pernyataan Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia).
Dinyatakan pula bahwa deklarasi tersebut bukanlah sebuah dokumen yang secara sah mengikat, dan beberapa ketentuannya menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada dan diterima secara umum. Walaupun demikian, beberapa ketentuannya mengatur prinsip-prinsip umum hukum atau menggambarkan pandangan pokok tentang perikemanusiaan.Dalam kapasitasnya, deklarasi tersebut secara tidak langsung benar-benar sah, dan dianggap oleh Majelis Umum dan beberapa ahli hukum sebagai bagian dari undang-undang perserikatan bangsa-bangsa[8].
Sejarah Kemunculan Ham
Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah hak-hak asasi manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak asasi itu oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara. Pada hakekatnya persoalan mengenai hak-hak asasi iu bekisar pada hubugan antara manusia sebagai individu dan masyarakat. Sebab, manakala suatu negara semakin kuat dan meluas, secara terpaksa ia akan mengintervensi lingkungan hak-hak pribadi yang mengakibatkan hak-hak pribadi itu semakin berkurang.
Bila kita telusuri lebih jauh kebelakang mengenai sejarah lahirnya HAM, umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa cikal bakal HAM itu sebenarnya telah ada sejak lahirnya Magna Charta 1215 di kerajaan Inggris. Semangat Magna Charta inilah yang kemudian melahirkan undang-undang dalam kerajaan Inggris tahun 1689 yang dikenal dengan undang-undang hak (Bill of Right).
Pada tahun 1789, di Prancis lahir sebuah deklarasi yang dikenal dengan The French Declaration, menyatakan hak-hak yang lebih rinci lagi sebagai dasar dari The Rule of Law. Di dalamnya dinyatakan antara lain: tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah.
Pernyataan ini, selanjutnya dipertegas pula dengan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (freedom of expression), kebebasan menganut keyakinan/agama (freedom of religion), perlindungan terhadap hak milik (the right of properti) dan hak-hak dasar lainnya.
Deklarasi yang lahir sebagai sebuah revolusi Prancis itu telah berhasil meruntuhkan susunan masyarakat feodal termasuk golongan pendeta agama dan susunan pemerintahan negara yang bersifat kerajaan dengan sistem monarki absolut. Disebabkan revolusi tersebut bertujuan untuk memperoleh jaminan hak-hak manusia dalam perlindungan undang-undang negara, maka dirumuskanlah tiga prinsip yang disebut Trisloganda, yaitu kemerdekaan (liberte), kesamarataan (equalite), kerukunan dan persaudaraan (fraternite). Dan dari ketiga semboyan ini berhasil melahirkan Konstitusi Prancis pada tahun 1791.
Dalam rangka konseptualisasi dan reinterpretasi terhadap HAM yang mencakup bidang yang lebih luas, dikarenakan berkembangnya kehidupan manusia dan HAM masa lalu tidak responsif dan aspiratif lagi terhadap perkembangan situasi serta tuntutan realitas sosial yang ada, maka pada permulaan abad ke-20, presiden Amerika, Franklin D. Rosevelt merumuskan empat macam hak-hak asasi yang dikenal dengan “The Four Freedoms”, yaitu: freedom of speech (kemerdekaan berbicara), freedom of religion (kemedekaan dalam memilih agama), freedom of fear (kemerdekan dari rasa takut), freedom from want (kemerdekaan berkehendak).
Pada tanggal 5 Agustus 1990 di Kairo, Mesir, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI) membuat suatu rumusan tentang HAM berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Akan tetapi dalam deklarasi ini, tidaklah membentuk rumusan HAM yang baru, melainkan mengoreksi pasal-pasal yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip Islam seperti pasal 16 yang menyangkut dengan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan pasal 18 tentang hak kebebasan keluar-masuk agama. Demikian pula konsep lainnya yang memberikan kebebasan tanpa batas moral Islamseperti homoseksual, lesbianisme, aborsi dan sejenisnya. Bagi pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam diberi landasan Al Qur’an dan Sunnah.
Biografi Al-Maraghi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bib Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim.
Al-Maraghi lahir di kota Maraghah, sebuah kabupaten di tepi barat sungai Nil, sekitar 70 km di sebelah selatan kota Kairo. Beliau lahir pada tahun 1883 M dan wafat pada tahun 1952 M. Nama kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah (nama belakang) bagi dirinya, bukan keluarganya. Ini berarti nama al-Maraghi bukan monopoli bagi dirinya dan juga keluarganya.[9]
Ia mempunyai 7 orang saudara. Lima diantaranya laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi (pernah menjadi Grand Syekh al-Azhar), Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Mustafa al-Maraghi dan Abdul Wafa’ Mustafa al-Maraghi. Hal ini perlu diperjelas karena seringkali terjadi salah kaprah tentang siapa sebenarnya penulis Tafsir al-Maraghi di antara kelima putra Musthafa itu.
Kesalahkaprahan ini terjadi karena Muhammad Musthafa al-Maraghi (kakaknya) juga terkenal sebagai seorang mufassir. Muhammad Musthafa juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak meninggalkan karya tafsir Al-Qur’an secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian dari Al-Qur’an, seperti surah al-Hujurat dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud disini sebagai penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.[10]
Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat dimana ia mempelajari Al-Qur’an, memperbaiki bacaan dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum usia 13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat Al-Qur’an. Disamping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H/ 1897 M, atas persetujuan orang tuanya, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di kairo. Ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum Kairo. Dengan kesibukannya di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang yang ulet, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, pada tahun 1909 M.[11]
Di kedua Universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu. Diantara guru-guru al-Maraghi adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi dan sebagainya. Merekalah yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah menamatkan di Universitas Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi sebagai guru di beberapa madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 km sebalah barat daya kota Kairo.
Pada tahun 1916, ia diminta sebagai dosen utusan untuk mengajar di fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun. Pada tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar.[12]
Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah. Diantaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah. Ia juga dipercaya memimpin Madrasah Usman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh Raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H. Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut.
Al-Maraghi adalah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Selama hidup ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama. Banyak hal yang telah ia lakukan. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya monumental. Salah satunya adalah Tafsir al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang beredar dan dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini.[13]
Karya Syeikh Al-Maraghi
Menurut salah satu referensi, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya ini, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama 4 jam, sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab dan tuntutan ilmiah Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema dalama masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan.
Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi alternatif berdasarkan makna-makna yang terkandung dalam nash-nash Qur’ani. Karena alasan ini pulalah tafsir ini tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya ini.[14]Karya-karya Al-Maraghi yang lain adalah[15]:
- al-Hisbat fi al-Islam,
- al-Wajiz fi Ushul Fiqh,
- ‘Ulum al-Balaghoh,
- Muqaddimah at-Tafsir,
- Buhuts wa A-ra’ fi Funun al-Balaghah
- ad-Diyanat wa al-Akhlaq.
Di tangan al-Maraghi, al-Qur’an ditafsirkan dengan gaya modern sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembaca pun ringan dan mengalir lancar.[16] Pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi di bagian lain, uraiannya begitu mendetail. Tergantung kondisi. Ada dua sumber utama yang menjadi pijakannya dalam menulis kitab tafsir Al-Qur’an, yaitu riwayat dan penalaran logis.
Ia berusaha menyeimbangkan keduanya. Gaya penafsiran seperti ini sebenarnya mirip dengan strategi penulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar. Harus diakui, al-Maragi terpengaruh oleh tafsir itu. Kedua pembaharu Islam tersebut merupakan guru yang menyuntikkan inspirasi kepada al-Maragi. Sebagian kalangan malah menilai bahwa tafsir al-Maraghi sebagai penyempurna tafsir al-Manar.[17]
Ham dalam Penafsiran Al-Maraghi
Al-Qur’an yang diturunkan lebih kurang 14 abad yang lalu telah mengandung dan menjamin hak-hak asasi manusia, diluar yang pernah dibayangkan oleh pemikir dan reformer manapun. ia berada dengan deklarasi hak-hak manusia, bahkan lebih dari deklarasi-deklarasi yang pernah diciptakan untuk mempertahankan hak-hak yang dianggap milik manusia. Ia bersumber dari Khalik Maha pencipta dan Maha mengetahui, dan ia tetap tegak dan terlaksana, bukan seperti konsepsi yang dibuat manusia[18]. Di antara konsepsi al-Qur’an tentang hak-hak asasi manusia adalah :
1. Hak Hidup, Kemerdekaan dan keamanan Pribadi
Hak hidup adalah salah satu dari hak-hak alami institusional yang tidak memerlukan persetujuan sosial atau semacamnya. Dia adalah karunia yang dikaruniakan oleh Allah yang maha tinggi kepada manusia. Seseorang tidak kuasa menghidupkan seseorang dan melenyapkan hidupnya tanpa kehendak Allah swt. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Dan Sesungguhnya benar-benar Kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan kami (pulalah) yang mewarisi.
Syekh Mustafa al-maraghi menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan segala urusan hidup dan mati, itu hak preogratif Allah swt; Allahlah yang mampu mampu menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup sesuai dengan kehendaknya, Allah lah yang menguasai bumi dan seisinya. Dengan adanya penegasan seperti itu, Allah yang maha menghidupkan dan mematikan tersebut kemudian menekankan bahwa pada nantinya Allah akan mematikan semuanya yang hidup tanpa terkecuali, dan membalas segala hal dengan balasan yang setimpal[19]
Hal itu menunjukkan bahwa Kuasa menghidupkan dan mematikan hanyalah ada pada Allah swt (Q.S. Qaaf : 43) oleh sebab itu setiap manusia mempunyai hak untuk sama dan meneruskannya kehidupannya serta mempertahankan kehidupannya itu dengan bebas dan wajar.
Jiwa manusia adalah suci dan tidak boleh disakiti dan segala usaha harus dilakukan untuk melindunginya, terutama tidak seorang pun diperbolehkan menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum, seperti hukum qishash pada tindak pidana pembunuhan. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih[111].
Syekh Musthafa dalam tafsirnya menjelaskan bahwa secara bahasa qhisash adalah adil dan persamaan, seperti disebut gunting sebagai miqash, karena dia menyamakan antara dua sisi. Persamaan bahasa ini memberikan kita gambaran bahwa tindak hukum pidana qhisash itu adalah alat untuk mencapai keadilan dan kesamaan, sehingga yang terpenting adalah dengan adanya qhisash ini yaitu terwujud keadilan di antara manusia. Pada kenyataannya hukum qhisash ini sudah ada semenjak masa Yahudi.
Pada masa Arab Jahiliyah, para qabilah juga menggunakan hukum qhisash, melainkan tidak untuk mencapai keadilan, tapi semata untuk menuntut balas atau mencari keuntungan, sehingga Islam datang dan memperbaiki hal itu. Berdasarkan hal itu, diketahui bahwa qhisash bukanlah suatu yang tidak bisa berlaku umum; terkadang ada tindak pidana yang apabila ditegakkan dengan hukum qhisash malah akan membawa pada kerugian.
Seperti seorang yang menjadi tulang punggung keluarga, satu ketika membunuh salah seorang anggota keluarganya dengan tiba-tiba karena kemarahan yang tiba-tiba pula, dan apabila ditegakkan hukum qhisash baginya, maka seluruh anggota keluarganya akan kehilangan seseorang yang menanggung penghidupan mereka. Atau adat suatu bangsa yang dalam kebiasaanya senantiasa memberikan belas kasih, sehingga ketika ada pembunuhan terjadi, mereka tidak menegakkan hukum qhisash karean meyakini bahwa memberi maaf dan diyat adalah hal yang lebih baik. Maka dengan ayat ini, hal itu diperbolehkan dan seperti itulah syariat Islam mengaturnya dengan baik.[20]
Maka tidak salah jika pelaksanaan hukum Qhisash ini hanya diberikan kepada kekuasaan Negara (pemerintah). Kepentingan adanya qhisash ini adalah semata-mata untuk menyelamatkan masyarakat dan melindungi hidup setiap jiwa yang ada. dan qishash itu merupakan jaminan kelangsungan hidup manusia ( Q.S. al-Baqarah : 179).
Karena sangat penting arti hidup ini bagi manusia, Allah memandang bahwa melenyapkan hidup seseorang tanpa hak sama artinya melenyapkan semua manusia, karena orang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang itu berarti membunuh keturunannya. Sebaliknya menyelamatkan kehidupan seseorang manusia berarti telah menyelamatkan semua kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt dalam firmannya:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya…
pada ayat ini al-Maraghi memberikan keluasan makna bahwa tidak hanya membunuh atau merusak alam dalam arti sempit, melainkan orang yang membunuh tanpa sebab yang benar; karena qhisash atau orang yang dibunuh tersebut benar-benar membawa kerusakan, atau orang yang menghilangkan rasa aman, mengambil harta, merusak kedamaian, memberontak pada kekuasaan yang menjalankan hukum-hukum Allah, semua itu juga mencakup ayat ini. Sehingga tujuan ayat ini adalah memberikan perhatian besar terhadap sebuah tindakan jahat yang betul-betul harus dihindari yaitu membunuh dan merusak alam. Karena keduanya itu mewakili segala keamanan dan ketentraman setiap manusia, maka mau tidak mau, membunuh satu jiwa atau merusak alam itu sama halnya membunuh semua jiwa[21].
Membuat kerusakan dimuka bumi disamakan dengan membunuh manusia, karena perbuatan itu merupakan ancaman untuk kelangsungan hidup manusia. Berbuat kerusakan itu mengancam keamanan, menyamun dan merampok, memberontak kepada imam yang adil, mendirikan gerombolan pengacau, merampas harta benda orang, membakar rumah dan sebagainya. Buya Hamka mengatakan :
“seorang membunuh dan merusak ketertiban umum dan keamanan samalah perbuatan itu dengan membunuh semua manusia, sebab dengan demikian manusia tidak meras aman dan tidak merasa terjamin lagi hidupnya, lalu lintas ekonomi dan hubungan daerah terputus dengan sendirinya sebab merasa takut. Dan apabila kita telah menjaga kehidupan orang lain. Tentu saja seluruh masyarakat jadi bebas dari rasa takut dan cemas”[22].
Sehingga membela kehidupan kita, menurut Islam itu diharuskan. Pembelaan tersebut meliputi lima perkara utama yaitu: agama, membela jiwa, membela akal, membela kehormatan dan keturunan serta membela apa yang dimiliki. apabila seseorang atau suatu bangsa dilanggar kemerdekaannya dan dirampas kedaulatannya oleh orang lain atau bangsa lain, sehingga mengakibatkan timbulnya kekacauan dan tidak terjamin lagi eksistensi kehidupan penduduknya maka menjadi kewajiban orang dan bangsa tadi untuk membela dan melawan dengan segala kekuatan yang ada padanya. Dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,
2. Hak berpendapat
Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya selama dia tetap dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorangpun tidak diperbolehkan menyebarkan fitnah, hasut dan berita-berita yang mengganggu ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang lain[23].
Pendapat yang dikehendaki dalam Islam adalah pendapat yang bersifat konstruktif, tidak bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarkis. Bagi seorang muslim selalu dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkarana. Allah menyatakan dalam firmannya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
Al-Maraghi dalam tafsirnya memberi kriteria bagi siapa yang dapat mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar, pertama bahwa orang itu mengetahui al-Qur’an, Sunnah, Sejarah Rasulullah dan para sahabat serta pemimpin-pimimpin Islam, kedua mengetahui keadaan, adat istiadat, akhlak dan kebiasaan orang yang di dakwahi, ketiga mengetahui bahasa orang yang di dakwahi dan memeliki wawasan terhadap kecendrungan pemikiran, dan madzhab dari mereka. Hal ini menunjukkan bagi Islam orang yang hendak memberikan pendapat orientasinya adalah murni untuk kebaikan dan cara menyampaikan harus tepat mengenah dan ilmiah[24].
Penjelasan di atas sesuai dengan keterangan bahwa Salah satu bentuk pendapat baik adalah berpendapat dalam rangka menasehati. Dalam Islam, seorang muslim dianggap sempurna Islamnya apabila dia memenuhi empat syarat yaitu : iman, amal saleh, nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati dalam kesabaran. (Q.S. al-Ashar : 3).
Menurut Hasbi Ash Shiddiqy, bahwa nasehat itu mengandung ajakan kebaikan, ajakan meninggalkan kejahatan dan menyadarkan mereka terhadap kelalainnya. Abu Amar bin Shalhah berkata :“Nasehat itu adalah satu kalimat yang mencakup atau mengandung kewajiban menasehati terhadap orang lain dengan segala rupa kebaikan baik dalam bentuk kehendak maupun dalam bentuk perbuatan”[25].
Buya Hamka memberikan argument bahwa Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin umat memberikan contoh dengan selalu meminta buah pikiran dan pendapat umatnya dalam hal yang berhubungan dengan masalah dunia seperti urusan perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, hubungan antara manusia, yang kesemua itu untuk dimusyawarahkan berdasarkan pertimbangan mashlahat umum[26].
3. Hak Berserikat dan Berkumpul
Dalam declaration of Human Rights pada pasal 23 ayat 4 dikatakan : “setiap orang yang mempunyai hak membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat sekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya”.
Mengenai hal ini, al-Qur’an tidak hanya menganggap sebuah kebebasan, tetapi sebagai keharusan bagi pribadi manusia untuk turut serta mengambil bagian secara aktif dalam urusan-urusan masyarakat. Al-Qur’an mengendaki manusia menjadi masyarakat yang mengajak manusia berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar serta meyakini Allah swt (ali-Imran : 110)
Oleh karenanya, setiap orang berhak untuk turut serta bersama-sama dalam kehidupan keagamaan, sosial budaya dan politik dari masyarakatnya dan mendirikan lembaga-lembaga di mana berdasarkan ini dimungkinkan ia menikmati hak-haknya dan mengembangkan sepenuhnya kepribadiannya, Allah berfirman sebagai berikut :
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa, banyaknya ayat yang menyuruh bermusyawarah termasuk ayat ini telah menjadikan musyawarah sebagai sebuah kebiasaan yang tidak akan pernah lepas dari kaum muslimin jika menghadapi masalah yang dianggap pelik dan ada pertentangan di dalamnya[27].
Senada dengan itu, Hamka menjelskan bahwa ayat ini dapat menjadi pegangan untuk berkumpul atau berserikat serta berpendapat. Bahkan menjadi konsep dasar untuk bermasyarakat dan bernegara yang menghendaki pendapat. Jelasnya “syura atau bermasyarakat jadi pokok dalam membangun masyarakat dan bernegara Islam. inilah dasar politik pemerintahan dan pemimpin Negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman dan ketika terancam bahaya”[28].
Menurut ajaran Islam dengan melalui lembaga perserikatan dan perkumpulan dan mengadakan hubungan-hubungan konsultasi dan sebagainya, hal itu menjadi suatu kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak manusia dalam suasana persaudaraan. Jelaslah bahwa Islam menjamin kebebasan dan berserikat bagi setiap orang. Tidak sekedar menjamin melainkan menuntut untuk mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. hak beragama atau memeluk suatu agama.
Agama adalah kepercayaan yang bersemayam dalam hati dan diterima oleh akal pikiran yang sehat. Bagi setiap keadaan yang tidak menjamin kemerdekaan beragama berarti pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bagi Islam sendiri, menjaga keIslaman tidak hanya sebagai sebuah hak tiap muslim, tetapi keharusan yang mengalahkan hak harta, tubuh dan jiwa. Sebab Islam menghalalkan jiwa, tubuh dan harta untuk mempertahankan agama. Dijelaskan dalam al-Qur’an :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.
ayat ini menegaskan bahwa, seseorang yang dikatakan benar-benar beriman adalah orang yang mengimani Allah dan Rasulnya kemudian menetapi ketaatan kepada allah dengan jiwa tenaga dan hartanya, tidak seperti sebagian orang yang hanya menampakkan iman dengan perkataan jelas belaka, dan masuk Islam karena takut akan diprangi sehingga Islam mereka hanya untuk melindungi diri dan harta mereka[29]
Sejalan dengan garis pokok ini, bahwa pasal 18 dari deklarasi hak-hak asasi manusia yang diumumkan PBB kemerdekaan untuk menukar agama dan kepercayaannya bertentangan dengan dasae dan ketentuan agama Islam. dalam Islam, orang-orang yang menanggalkan agama Islam sehingga tidak beragama sama sekali atau pindah kepada agama lain adalah murtad. Dan barang siapa yang murtad hingga mati dia adalah kafir dan gugur semua amalannya selama di dunia dan dia itu adalah ahli neraka (Q.S. Al-Baqarah : 217)[30]
Disamping itu, agama Islam juga memberi hak pada agama lain, di antaranya :
Pertama : tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertetntu atau paksaan untuk menanggalkan suatu agama yang diyakini. Allah menjelaskan dalam firmanNya :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Syaikh al-Maraghi memberikan penjelasan bahwa, tidak ada paksaan dalam memasuki agama, karena iman adalah ketundukan secara sengaja, sehingga yang diperlukan adalah hujjah yang kuat dan bukti yang nyata dan hal itu tidak bisa terwujud dengan cara kekerasan dan pemaksaan, hal ini juga menjadi pernyataan nyata bahwa Islam tidak ditegakkan dengan pedang dan kekerasan[31].
Artinya menolak segala apapun yang berjenis paksaan, baik secara fisik maupun secara psikis, misalnya orang lapar dibujuk dengan nasi sepiring dan akan diberikan kalau dia masuk Islam, sehingga dia terpaksa melepaskan agamanya supaya laparnya hilang. Menurut hamka, Bagi prang Islam ayat ini adalah pegangan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama dikarenakan sudah jelas perbedaan antara yang hak dan yang batil, sehingga bagi mereka agama mereka dan bagi kita agama kita.
Termasuk juga dalam pengertian ini adalah kebebasan manusia yang beragama dari bentuk takhayul dan khurafat serta pembebasan manusia dari taqlid buta dan mengikuti kebiasaan salah. Kebebasan dalam hal ini adalah karena menyangkut soal keyakinan atau kepercayaan, lebih lanjut, hamka mengatakan :
“sungguh-sungguh ayat ini, suatu tantangan kepada manusia, karena Islam adalah benar. Orang tidak dipaksa memeluknya tetapi hanya diajak buat berpikir. Asal di berpikir sehat, dia pasti sampai kepada Islam. tetapi tidak ada paksaan, mestilah timbul perkosaan pikiran dan mestilah timbul taklid”[32]
Di sinilah letak kebenaran Islam yang sejalan dengan pikiaran sehat tidak memerlukan paksaan untuk memeluknya.
Kedua, Islam memberikan keleluasaan kepada non- Islam untuk melakukan apa yang menjadi hak dan kewajiban atau apa saja yang dibolehkan asal tidak menganggu ajaran dan hukum Islam. diantaranya adalah menyebar luaskan syiar agamanya dan membolehkan dan melindungi apa –apa yang menjadi miliknya.
Ketiga, Islam menjaga kehormatan Ahli Kitab, bahkan lebi dari itu mereka diberi kemerdekaan untuk mengadakan perdebatan dan pertukaran pikiran serta pendapat dalam batas-batas dan etika perdebatan serta menjauhkan kekerasan dan paksaan. Allah berfirman :
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka
Syekh al-maraghi menjelaskan bahwa dalam berdebat dengan orang-orang ahli kitab harus dengan lembut dan baik. Sehingga bagi umat Islam, dalam berdebat, harus menghadapi kemarahan dengan tenang dan menahan amarah yang kemungkinan besar timbul, menahanan sebuah percekcokan tak sehat dengan nasihat yang mendamaikan[33].
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk lebih meningkatkan kemampuan akademisi kami, tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna dalam mengupas seluk beluk nilai HAM yang terkandung dalam al-Qur’an. Harapan kami, semoga makalah ini menjadi amal jariyah dan khazanah keilmuan Islam yang menjadi batu loncatan untuk penelitian selanjutnya yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, t.th
Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-21 Mesir : Dar-Nasyr, tth_sofware Maktabah as-Syamilah v. 3.48
Ahmad Kosasih, Ham dalam prespektif Islam, Jakarta : Salemba, 2003
Dalizar Putra, Ham menurut al-Qur’an jakarta : husna zikra, 1995
Harun Nasution dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Hasbi Ash-Shiddiqi, 2002 Mutiara Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1975
http://koran.republika.co.id/berita/45689/Tafsir_Al_Maraghi_Memadukan aql dan naql.
Ismail Thaib, Oksidentalis Versus Orientalis, Yogyakarta : Toko Kitab Beirut, 2011
Ian Brownlie, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI Press 1993
Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta: Pradya Paramita, 1982
Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran: t.tp 1373 _sofware Maktabah as-Syamilah v. 3.48
Syaukat hussain, Hak asasi manusia dalam Islam, Jakarta : gema insan press, 1996
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: t.p, 1988
Catatan Kaki
[1] Dalam sebuah tulisan Adian Husaini, “HAM dan Kebebasan” yang diteribtkan di Insist . Ismail Thaib, Oksidentalis Versus Orientalis, (Yogyakarta : Toko Kitab Beirut, 2011), hlm. 206
[2] Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. 49: 13)
[3]Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Ny ialah Dia menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui. (Q.S. 30: 22)
[4]Manusia itu adalah umat yang satu, maka Alloh mengutus para Nabi sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan, dan Alloh menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar untuk memberi keoutusan di antara manusia tetang perkara yang mereka perselisihkan...(Q.S. 2: 213)
[5]Harun Nasution dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 19.
[6]Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: t.p, 1988), hlm. 292.
[7]Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, (Jakarta: Pradya Paramita, 1982), hlm. 19.
[8]Ian Brownlie, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI Press 1993), hal. 26
[9] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: t.tp 1373) hlm.356
[10] http://koran.republika.co.id/berita/45689/Tafsir_Al_Maraghi_Memadukan aql dan naql.
[11] http://koran.republika.co.id/berita/45689/Tafsir_Al_Maraghi_Memadukan aql dan naql.
[12] http://koran.republika.co.id/berita/45689/Tafsir_Al_Maraghi_Memadukan aql dan naql.
[13] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran : t.tp 1373), hlm. 358.
[14] http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-al-maraghi.html.
[15] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran : t.tp 1373) hlm. 358.
[16] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra) hlm. 20.
[17] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008) hlm. 151.
[18]ahmad kosasih, Ham dalam prespektif Islam, (Jakarta : Salemba, 2003) hlm. 23
[19] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-14 (Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm. 203
[20] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-2 (Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm. 350
[21] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-6 (Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm. 97
[22] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz IV (Jakarta : Yayasan Darul Islam, 1976), hlm. 203
[23] syaukat hussain, Hak asasi manusia dalam Islam, (Jakarta : gema insan press, 1996), hlm. 12
[24] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-17 (Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm.77
[25] Hasbi Ash-Shiddiqi, 2002 Mutiara Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 183[26] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz IV (Jakarta : Yayasan Darul Islam, 1976), hlm. 166
[27] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-25 (Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm.50
[28] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz IV (Jakarta : Yayasan Darul Islam, 1976), hlm. 168
[29] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-26(Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm.127
[30] Dalizar Putra, Ham menurut al-Qur’an ( jakarta : husna zikra, 1995), hlm. 61
[31] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-6(Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm.15
[32] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz III (Jakarta : Yayasan Darul Islam, 1976), hlm. 34
[33] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid ke-21 (Mesir : dar-Nasyr, tth), hlm.5