Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal, yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal pendidikan idektik dengan upaya da'wah Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu sendiri. Kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al-Qur'an dan ajaran-ajaran Nabi. Menurut Fazlurahman, sejak dari awal masa Islam, ada dua jenis pendidikan di samping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi.[1] Jenis pertama, pendidikan sekolah istana. Jenis pendidikan ini diadakan untuk pangeran-pangeran dengan tujuan untuk mencetak mereka menjadi pemimpin-pemimpin pemerintah kelak. Pendidikan ini mencakup pendidikan agama, tetapi lebih menekankan pada bidang pidato, kesusastraan, dan lain-lain. Sedangkan pendidikan "nilai-nilai kesatria" di atas segalanya. Jenis kedua, pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak, yang tujuannya terutama mengajar mereka mengenai al-Qur'an dan agama, dan bukan keterampilan membaca dan menulis. Menurut Rahman, dari jenis pendidikan inilah tumbuh sekolah-sekolah tingkat tinggi yang tumbuh melalui halaqah-halaqah atau kelompok-kelompok para murid berkumpul mengelilingi seorang guru tertentu.[2]
Baca Juga Makalah Sejarah Lainna:
Makalah Perkembangan Islam pada Masa Abbasiyah Bidang Pendidikan
Makalah Sejarah Perkembangan dan Kemunduran Dinasti Bani Umayyah
Makalah Sejarah Perkembangan Islam di Amerika Serikat
Pendidikan Islam merupakan media penting dalam penyebaran Islam. Pernyataan tersebut secara historis terlihat dalam gerakan penyebaran dan ekspansi agama Islam ke berbagai belahan dunia. Sebagai media penyebaran Islam, pendidikan Islam setidaknya mempunyai tiga perspektif. Pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian ini, dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang berdasarkan sumber- sumber dasar Islam. Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yaitu upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilainilainya, agar menjadi way of life dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian ini pendidikan Islam dapat berwujud: 1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta anak didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya, 2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/ atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak. Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah ummat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar sesuai dengan idealitas Islam dan/ atau mungkin mengandung jarak kesenjangan dengan idealitas Islam.[3]
Makalah pendidikan Islam Zaman Rasulullah Saw
Sebagai sebuah realitas sejarah, pendidikan Islam tergambar sebagai sebuah dinamika yang menampakkan berbagai perubahan yang merupakan hasil dari penyesuaian latar sosiologis masyarakat muslim. Sejak kelahirannya (masa Rasulullah Saw.), pendidikan Islam telah mengalami berbagai perubahan dan pengembangan mulai dari lembaga penyelenggara, kurikulum (materi pembelajaran), metode, dan prosedur evaluasi. Ini menggambarkan betapa ummat Islam memberikan perhatian yang sangat besar untuk mewujudkan sebuah model pendidikan yang ideal, meskipun terkadang masih termuati nuansa sektarianisme dan/atau kepentingan politik.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kurikulum pendidikan Islam klasik[4] yang berupa metode, materi dan lembaga pendidikan di masa Rasulullah hingga masa dinasti Abbasiyah dengan berpijak pada kondisi sosiokultural masyarakat pada zaman tersebut.
Pendidikan Islam pada Masa Awal Islam (Era Rasulullah SAW)
Pada masa Rasulullah Saw., pendidikan Islam dilakukan dalam kerangka memantapkan dasar-dasar ajaran Islam. Pada masa Rasulullah di Mekkah, Pendidikan lebih diarahkan pada dasar- dasar akidah untuk memperkuat keimanan dan keyakinan akan keesaan Allah di tengah praktek penyembahan berhala dan upaya merombak tradisi-tradisi kafir Quraisy. Pendidikan Islam pada masa Rasulullah di Mekkah lebih menekankan kepada keimanan melalui pengajaran al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam.[5] Mahmud Yunus, sebagaimana dikutip Zuhairini, memaparkan materi pengajaran Rasulullah pada masa Mekkah ini adalah:
1. Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata, jangan mempersekutukan dengan nama berhala, karena Allah itu Maha Besar dan Maha Pemurah, sehingga seyogyanya berhala dimusnahkan.
2. Pendidikan aqliyah dan ilmiyah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan hal demikian itu kepada orang-orang yang meneliti dan mengkajinya sedangkan mereka tidak mengetahui sebelumnya. Untuk mengetahuinya hendaknya seorang banyak membaca dan mencatatnya dengan pena.
3. Pendidikan akhlaq dan budi pekerti, sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
4. Pendidikan jasmani dan kesehatan, yaitu memperhatikan kesehatan dan kekuatan jasmani, mementingkan kebersihan pakaian, tempat dan makanan.[6]
Pada waktu Rasulullah di Mekkah, Pendidikan Agama Islam terfokus pada pembelajaran al-Qur’an dan al-Hadis dengan penekanan pada aqidah dan pokok-pokok agama Islam.[7] Ini mengingat pada masa itu dibutuhkan penanaman keyakinan yang benar kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa (monotheisme). Keyakinan itu harus ditanamkan pada ummat Islam dengan kokoh sebagai perlawanan kepada keyakinan kaum Quraisy yang menganut politheisme. Rasululullah menggembleng dan menancapkan keyakinan itu di hati ummat Islam dengan sekuat-kuatnya untuk menghadapi tekanan dan rintangan kaum Quraisy yang sangat hebat. Dengan penanaman tauhid yang kokoh memberikan keberhasilan ummat Islam dapat melewati masa-masa kritis yaitu ketika mengalami ancaman, tekanan, hambatan, gangguan, penyiksaan yang luar biasa dari kaum kafir Quraisy.[8]
Tradisi yang berkembang adalah tradisi lisan, yaitu tradisi menghafalkan syair-syair atau puisi, yang mereka terima dari pendahulu dan guru-guru mereka dengan cara menghafal dan melafalkannya. Pada masa itu tradisi tulis baca masih kurang dikenal. Hanya beberapa shahabat yang mempunyai kemampuan baca tulis yaitu Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Thalhah, Yazid bin Abu Sufyan, Abu Hudaifah bin Utbah, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Namun demikian, sebagian besar sahabat Rasululah masih belum mengenal tulis baca dan lebih terbiasa dengan budaya menghafal dan budaya lisan. Kedua kemampuan yang dimiliki para sahabatnya itu dimanfaatkan dengan optimal oleh Rasulullah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Mereka yang memiliki kemampuan menghafal yang kuat, Rasulullah mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya untuk dihafal dan dilafalkan setiap waktu. Sementara itu bagi mereka yang mempunyai kemampuan baca tulis, Rasulullah memerintahkan agar ayat-ayat al-Qur’an ditulis. Para Sahabat menulis ayat-ayat al-Qur’an di daun lontar, kulit binatang dan lain-lain.
Al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur dan sedikit demi sedikit. Ini memberikan kemudahan kepada Nabi untuk mengajarkan al-Qur’an kepada ummatnya dan beliaupun memerintahkan kepada sahabatnya untuk menghafal dan menghayatinya. Ketika Rasulullah selesai menerima wahyu, beliau membacakan ayat tersebut selengkapnya di hadapan para sahabatnya. Untuk kemudian memerintahkan para sahabatnya itu untuk menghafal dengan sebaik-sebaiknya dan memerintahkan kepada juru tulis untuk menuliskannya dan mencatat ayat tersebut dengan sebaik-baiknya. Kemudian beliau mengatur urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.[9]
Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan cara sembunyi-sembunyi, pengajaran al-Qur’an dilaksanakan di rumah sahabat al-Arqam.[10] Mereka berkumpul di rumah tersebut untuk membaca, menghafalkan dan memahami setiap ayat yang diturunkan Allah kepada Rasulullah dengan cara muda>rasah dan tada>rus. Ketika Umar bin Khaththab masuk Islam, maka pengajaran al-Qur’an dilaksanakan secara terang-terangan. Rasulullah memerintahkan kepada ummatnya untuk selalu membaca dan menghafal al-Qur’an ketika shalat atau di luar shalat, sehingga kebiasaan membaca dan menghafal al-Qur’an menggantikan kebiasaan mereka dalam membaca dan menghafal syair dan puisi.[11]
Untuk menjaga hafalan al-Qur’an para sahabat, Rasulullah memerintahkan mereka mengulang hafalan di hadapan beliau, untuk kemudian memperbiki hafalan para sehabat yang kurang tepat sehingga keaslian dan kebenaran al- Qur’an selalu terjaga dan terjamin. Dengan demikian, pada masa Rasulullah di Mekkah, materi pendididkan Islam berkisar pada pengajaran al-Qur’an—yang terfokus pada ajaran keimanan—dengan menggunakan metode dikte dan menghafal. Dalam hal ini Rasulullah membacakan/mendikte ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau kemudian para sahabat menghafal ayat-ayat tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an tersebut oleh para juru tulis Rasulullah.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun masjid yang hingga sekarang dikenal dengan Masjid Nabawi. Rasulullah melaksanakan pendidikan Islam di Masjid Nabawi yaitu di salah satu sudut masjid yang disebut dengan Suffah. Namun demikian tidak menutup kemungkinan Rasulullah memberikan pembelajaran di luar masjid.[12]
Sedangkan materi pendidikan Islam di Madinah menitikberatkan pada ajaran-ajaran sosial kemasyarakatan, hukum, pertahanan keamanan, akhlaq dan budi pekerti sebagai kelanjutan dari materi pembelajaran tauhid yang ditanamkan di Mekkah.[13]
Sementara itu, metode pendidikan Islam masa Rasulullah di Madinah tidak mengalami perubahan, yaitu metode iqra, imla’, hafalan, dan yang terpenting adalah metode keteladanan, yang merupakan kunci pokok keberhasilan Rasulullah dalam mengemban amanat dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, digunakan juga metode tanya jawab yaitu metode yang digunakan ketika terjadi dialog dan tanya jawab antara Rasulullah dengan para sahabatnya.[14]
Di sisi lain, materi pembelajaran pendidikan Islam di Madinah ditambah dengan pembelajaran baca tulis. Diriwiyatkan bahwa Rasulullah pernah memerintahkan tawanan perang Badar yang terdiri dari kaum Quraisy untuk mengajarkan membaca dan menulis bagi kaum muslimin yang belum dapat membaca dan menulis sebagai tebusan atas status tawanan mereka. Ini memberikan gambaran bahwa ketika zaman Rasulullah telah dilaksanakan pendidikan di luar pengajaran al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam. Dengan demikian, pada zaman Rasulullah tidak hanya dkenal pengajaran ajaran Islam, tetapi juga membaca dan menulis yang menggunakan guru-guru beragama non Islam.[15]
Ketika Daulat Islamiyyah berkembang dengan berhasilnya ummat Islam—yang dimulai pada khalifah Umar bin Khaththab –menaklukkan wilayah non Arab, maka pemeluk Islam terdiri dari orang Arab dan non Arab. Kondisi ini menimbulkan berbagai kesulitan bagi ummat Islam non Arab untuk membaca dan memahami al-Qur’an. Maka dipandang perlu untuk memberikan pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya. Semenjak itulah pendidikan Islam menyandingkan pembelajaran Bahasa Arab di samping pembelajaran al-Qur’an.
Untuk memberikan kemudahan belajar al-Qur’an bagi ummat Islam non Arab, guru-guru pengajar al-Qur’an mengusahakan upaya-upaya: pertama, mengembangkan cara membaca al-Qur’an yang baik yang selanjutnya melahirkan ilmu tajwid al-Qur’an. Kedua, meneliti cara pembacaan al-Qur’an (qira’at) yang berkembang pada masa itu, yaitu menentukan bacaan yang benar sesuai yang tertulis dalam mushhaf yang selanjutnya melahirkan ilmu Qira’at dan memunculkan Qirâ’ât Sab’ah. Ketiga, memberikan tanda, harakat (syakal) dalam mushhaf al-Qur’an sehingga memudahkan orang yang baru mempelajari al-Qur’an. Keempat, memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selanjutnya memunculkan ilmu Tafsir. Semula ilmu Tafsir menggunakan penjelasan yang mereka terima dari Rasulullah kemudian berkembang penafsiran dangan akal dan kaidah-kaidah bahasa Arab.[16] Dengan demikian, pada masa ini telah berkembang pembelajaran Bahasa Arab yang tujuannya untuk mempermudah orang-orang yang baru masuk Islam (non Arab) untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.[17]
Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Umayyah
Pendidikan pada masa ini dilakukan di kuttab yang berada di rumah-rumah guru. Di samping pengajaran al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam, pada masa ini diajarkan membaca dan menulis. Tentang hal ini Salabi menyatakan:
“Mengajar menulis dan membaca ini dikerjakan oleh guru-guru di rumahnya masing-masing. Boleh jadi oleh mereka disediakan dalam rumahnya sebuah kamar untuk menerima pelajar-pelajar yang hendak belajar menulis dan membaca. Kuttab jenis ini kebanyakan adalah berdiri sendiri dan tercerai dari jenis lainnya, untuk mengajarkan al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama Islam.”[18]
Dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa pada masa awal Islam telah terdapat dua jenis kuttab, yaitu kuttab yang mengajarkan membaca dan menulis dan kuttab yang mengajarkan al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam. Lebih lanjut sebagaimana dikutip oleh Mohammad Muchlis Solichin, Salabi menjelaskan bahwa pada masa awal Islam dikenal dengan dua jenis kuttab sebagaimana di atas dengan memberikan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Pengajaran membaca dan menulis dilakukan oleh kaum kafir dzimmi dan tawanan perang Badar yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengajarkan al-Qur’an dan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan kaum muslim yang telah mempunyai kemampuan untuk membaca dan menulis tidak memberikan perhatiannya untuk mengajar membaca dan menulis.
2. Pada masa ini para guru mempunyai cara yang tepat dalam mengajar yaitu ketika seorang anak telah memperlihatkan kecerdasannya maka guru mengirimkan anak tersebut ke kutta>b yang mengajarkan membaca dan menulis, dan ketika anak itu telah berhasil dalam pendidikan membaca dan menulis, kemudian dikirim ke kuttab yang mengajarkan al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam.
3. Mengutip pernyataan Ibn Batutah yang menyatakan: guru mengajarkan menulis bukanlah menggunakan al-Qur’an tapi dengan memakai kitab-kitab syair dan lain-lain. Mereka tidak mau menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di batu-batu untuk menjaga kesuciannya. Anak-anak yang telah menyelesaikan pelajaran menulis, dia pergi ke tempat mempelajari al-Qur’an.
4. Mengutip penjelasan ibn Khaldun yang menyatakan: Orang-orang Timur yang mempunyai aturan tersendiri dalam mengajarkan menulis. Pelajaran menulis mempunyai guru tersendiri. Guru-guru membuat tulisan di batu-batu untuk dicontoh oleh muridmuridnya.[19]
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pada masa awal Islam terdapat kuttab yang mempelajari membaca dan menulis, sedangkan kuttab yang mempelajari al-Qur’an—menurut Salabi—itu muncul pada akhir abad pertama Hijriyyah, dan awal abad kedua, meskipun ketika itu kuttab jenis ini belum dikenal luas.
Pendidikan Islam di Masa Dinasti Abbasiyah
Pada masa dinasti Abbasiyah, lembaga pendidikan terdiri dari:
1. Kuttab
Kuttab ini merupakan kelanjutan lembaga pendidikan kuttab sebelumnya, tapi terdapat perluasan materi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan masa itu.
2. Sekolah-sekolah istana.
Sekolah ini dilaksanakan di istana kerajaan. Pelajaran yang diberikan sama yang diberikan di kuttab, namun ditambah dengan ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan untuk meneruskan ke jenjang pendidikan selanjutnya, atau untuk belajar di pemerintahan khalifah. Munculnya pendidikan di istana untuk anak-anak para pejabat ini berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu ditujukan untuk menyiapkan anak didik agar nantinya dapat melaksanakan tugas-tugasnya ketika dewasa. Atas dasar ini, khalifah dan para pejabat lainnya berusaha menyiapkan anak-anaknya mengenal lingkungannya sehingga dapat mengemban tugas. Untuk ini khalifah mengundang dan menugaskan para guru yang terkenal untuk mendidik anak-anak mereka di istana.[20]
Berbeda dengan pendidikan di kuttab, pada pendidikan di istana, orang tua murid (para pembesar istana) merancang dan merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan untuk anakanak mereka. Guru yang mengajar di istana disebut dengan muaddib, mereka mengajar sesuai dengan tujuan dan maksud orang tua murid.[21]
3. Masjid
Sejak awal Islam, masjid di samping sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai pendidikan yaitu lembaga pendidikan suffah, yang di antaranya terdapat di samping masjid Nabawi. Di masa Abbasiyah – terutama masa Harun al-Rasyid – masjid sebagai lembaga pendidikan berkembang dengan model dan materi pengajaran yung lebih variatif. Ia memandang bahwa masjid tidak hanya diperuntukkan untuk ibadah tapi dapat dimanfaatkan untuk pendidikan. Masjid yang paling terkenal masa itu adalah Masjid al-Mansur dan juga masjid-masjid yang lain yang menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan bagi ummat Islam dari seluruh dunia.[22]
Perkembangan masjid sebagai lembaga pendidikan semakin penting seiring dengan kemajuan masyarakat muslim, yang menuntut penggunaan masjid secara lebih kompleks. Masjid pada masa ini dikenal dengan dua macam masjid, yaitu masjid Jami’, yang didalamnya dilaksanakan sebagai tempat shalat Jum’at dan masjid biasa. Pada abad kesebelas, di Baghdad terdapat 6 masjid Jami’ dan masjid biasa mencapai ratusan.[23]
Masjid Jami’ maupun masjid biasa disamping berfungsi sebagai tempat ibadah juga menjadi tempat pendidikan yang secara tipologis terdiri dari halaqah-halaqah, majlis-majlis,[24] dan zawiyah. Dengan demikian materi pengajaran, metode pengajaran di masjid bervariatif sesuai dengan tipologi pendidikan diatas.
4. Masjid Khan
Masjid khan adalah masjid yang dilengkapi dengan asrama di sebelahnya yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu dari berbagai kota. Perkembangan masjid khan yang pesat terjadi pada abad ke-10. Menurut Makdisi, Badr bin Hasanawaih al-Kurdi (w.1015) yang menjadi gubernur di beberapa wilayah kekuasaan Adud al-Daulah mendirikan sekitar 3.000 masjid khan. Abu Ishak, guru pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad, pernah aktif di masjid khan yang ditempati oleh sekitar sepuluh atau dua puluh murid yang berguru kepadanya. Pada pertengahan abad ke-4 ditemukan sebuah khan yang didirikan oleh seorang saudagar Di’lij bin Ahmad, yang berlokasi di Suwaiqat Ghalib, dekat kuburan Suraij, seorang ahli fiqh pengikut Syafi’i yang terkenal. Di’lij memberikan masjid khan ini sebagai waqaf bagi para pengikut Syafi’i pada pertengahan abad ke-5, dalam kunjungan pertamanya ke Baghdad, Nizham al-Muluk membangun khan ini dan menyumbang100 dinar sebagai waqaf.[25]
5. Kedai-Kedai Buku
Tingginya penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, mengilhami berdirinya kedai-kedai buku, penyalin buku dan penyalur buku di kota-kota besar Islam seperti Baghdad, Cordova, Kairo, Damaskus. Banyak para ilmuwan yang menghabiskan waktunya untuk mengkaji ilmu pengetahuan melalui kedai-kedai buku. Para pedagang pemilik kedai-kedai buku di atas bukanlah semata-mata berdagang buku untuk mendapatkan keuntungan finansial semata. Mereka kebanyakan adalah para pujanggapujangga yang cerdas dan memiliki semangat keilmuan tinggi. Mereka memilih dan membeli buku-buku yang berkualitas, di samping untuk diperdagangkan, juga agar mereka dapat membaca dan mengkaji/menelaah buku-buku tersebut. Ketika kedai-kedai itu dikunjungi oleh para ilmuwan, pujangga atau para pencari ilmu, maka terjadilah diskusi dan tanya jawab terhadap berbagai bidang keilmuan yang berkembang pada saat itu.[26]
6. Salon-Salon Sastra
Salon-salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu pengetahuan menjadi tempat pertemuan untuk belajar dan bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. Majlis atau salon kesusateraaan ini tumbuh semenjak masa Khalifah al-Rasyidin, yang dijadikan sarana untuk berdiskusi dan bermusyarah dalam memecahkan persoalan ummat. Tempat diskusinya berada di masjid. Pada masa khalifah Umayyah, tempat majlis/salon sastra ini dipindahkan ke istana. Khalifah mengundang mereka yang dipandang mampu ke istana untuk berdiskusi dan bermusyawarah.
Pada masa khalifah Abbasiyah salon kesusasteraan sengaja diadakan oleh khalifah sebagai suatu acara bergengsi dan meriah serta sering dijadikan kontes bagi para ulama untuk menunjukkan kebolehannya sehingga ketenarannya akan semakin bertambah.[27]
7. Rumah- rumah Ulama’
Rumah-rumah ulama’ menjadi pusat pembelajaran pendidikan Islam mengingat banyaknya para murid yang berdatangan ke rumah-rumah ulama dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu kepada guru yang bersangkutan. Para ulama tersebut memberikan pelajarannya dengan alasan tidak dapat memberikan ilmunya di masjid. Sedangkan para penuntut ilmu sangat berminat dan haus akan ilmu yang dimiliki sang ulama. Para ulama yang mengajarkan ilmunya di rumahnya antara lain adalah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali Muhammad Ibn al-Fashihi, Ya’kub ibn Killis, Wazir Khalifah al-Aziz billah al-Fathimy. Salabi menyatakan bahwa para ulama menggunakan rumahnya sebagai tempat pengajaran adalah karena dalam keadaaan terpaksa dan darurat. Keadaan ini misalnya terjadi kepada al-Ghazali yang tidak mengajar di Madrasah Nizhamiyah karena menjalani kehidupan sufi sehingga ia melaksanakan pengajarannya di rumah, sedangkan banyak pelajar yang tetap haus akan ilmunya. Ali Ibn Muhammad al-Fashihi terpaksa melaksanakan pembelajarannya dirumahanya karena ia dipecat dari Madrasah Nizhamiyah lantaran dituduh sebagai seorang Syi’ah. Namun, karena ketenarannya dan kealimannya para murid tetap belajar kepadanya di rumahnya.[28]
8. Madrasah
Menurut Makdisi bahwa kemunculan madrasah ditandai dengan tiga tahap, yaitu tahap masjid, tahap masjid khan, dan tahap madrasah.[29] Tahap masjid terutama berlangsung pada abad kedelapan dan kesembilan. Masjid yang dimaksud dalam konteks ini masjid biasa (college mosque) yang berfungsi di samping sebagai tempat ibadah bagi kaum Muslimin juga sebagai lembaga pendidikan. Di Baghdad terdapat beribu-ribu masjid college ini. Para penguasa seperti Abdul al-Daulah (w. 9651) dan Di’lij al-Sajistani adalah orang yang mempelopori pendirian dan pengembangan masjid sebagai lembaga pendidikan.
Tahap kedua adalah Masjid Khan, adalah masjid yang dilengkapi dengan pemondokan. Murid-murid dari berbagai belahan kota menuntut ilmu di masjid college dengan menginap di khan yang berada di sekitar masjid.
Tahap ketiga adalah madrasah yang berusaha menyatukan pendidikan di masjid dan masjid khan. Kompleks madrasah terdiri dari ruang belajar, pemondokan dan masjid. Perdana Menteri Nizham al-Muluk disebutkan sebagai seorang yang mendirikan dan mengembangkan madrasah dalam polanya yang utuh dan konkrit.
Sementara itu, Salabi menyatakan bahwa kemunculan dari madrasah disebabkan oleh antara lain karena semakin banyaknya siswa yang berminat untuk menuntut ilmu sehingga masjid tidak lagi dapat menampung, ditambah lagi kegiatan pembelajaran di masjid telah menjadikan masjid hiruk pikuk/ramai yang menganggu kekhusyu’an orang-orang yang beribadah di dalamnya.
Dengan kenyataan ini, maka dipandang perlu untuk memindahkan kegiatan pembelajaran ke madrasah. Dengan demikian, perubahan dan perpindahan pendidikan dari masjid ke madrasah – menurut Salabi – adalah bersifat langsung tanpa melalui perantara (masjid khan).[30] Masjid yang dimaksud oleh Salabi adalah masjid yang telah dimodifikasi dengan fasilitas ruang belajar dan penginapan bagi para murid. Ini berarti apa yang dimaksud dengan masjid dalam perspektif Salabi adalah masjid khan dalam pandangan Makdisi, yaitu masjid yang telah dilengkapi dengan ruang belajar dan penginapan bagi para murid yang menuntut ilmu di masjid tersebut.
Beberapa ahli mengemukakan teori-teori kemunculan madrasah secara historis dan sosiologis. Abd al-Majid Abd al-Futuh menyatakan kelahiran madrasah dimotivasi oleh tiga motif yaitu: 1) menyebarkan pemikiran dan ajaran Sunni untuk membendung pemikiran dan ajaran Syi’ah; 2) menghasilkan guru-guru golongan Sunni yang mempunyai kemampuan untuk mengajarkan ajaran Sunni; 3) membentuk kelompok pekerja Sunni yang mempunyai peran dalam menjalankan pemerintahan khususnya dalam bidang peradilan dan manajemen.[31]
Namun demikian Makdisi berpendapat lain. Ia menyatakan bahwa pendirian madrasah oleh Perdana Menteri Nizham al-Muluk mempunyai tujuan-tujuan sendiri tidak terkait dengan kepentingan pemerintahan meskipun secara faktual madrasah itu meluluskan tenaga-tenaga yang nantinya menjadi tenaga pemerintahan.[32]
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendirian madrasah dimotivasi tidak hanya kepentingan agama—sebagai transfer ajaran-ajaran Islam—tapi juga bersifat ekonomi, yaitu menyediakan tenaga pemerintahan dan yang lebih kentara yaitu untuk kepentingan politik, yaitu pelembagaan madrasah untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.[33]
Pola pendidikan pada masa Abbasiyah menurut Majid Irsan al-Kailani—terbagi menjadi empat pola, yaitu: madrasah al-fuqaha’ wa al-muhaddisn, madrasah al-sufiyyah, madrasah al-falasifah wa al-‘ulum al-thabi’iyyah, dan madrasah al-ushuliyyin wa ’ilm al-kalam.[34]
Materi pembelajaran yang dipelajari di madrasah lebih terkait dengan aliran keagamaan dan faktor politik pemerintahan yang berkuasa. Pada masa itu, di madrasah tidak diajarkan filsafat dan mantik, karena itu ilmu filsafat dan ilmu-ilmu pasti—seperti kedokteran, fisika, kimia—yang membutuhkan landasan berfikir filosofis tidak mendapatkan tempat dalam madrasah. Pembelajaran filsafat dan mantiq hanya dijumpai dalam dar al-’ilm dan dar al-kutub.[35]
Dari kondisi di atas dapat ditegaskan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan di madrasah meliputi: 1) al-ulu>m al-naqliyah yang terdiri dari: Tafsir, Qira’at, Hadits dan Ushul Fiqh dan 2) yang meliputi ilmu bahasa dan sastra sebagai dasar untuk memahami alulûm naqliyah. Pembelajaran ilmu Nahwu dan Sharraf pada saat itu dianggap penting karena dipandang sebagai manhâj untuk memahami ilmu-ilmu diniyah.[36]
Sebenarnya pembelajaran di madrasah telah mengarah kepada rasionalitas dengan diajarkannya fiqh dengan berbagai madzhabnya. Dalam ilmu fiqh pada saat itu telah dikenal ta’wil dan qiyas. Ini berbeda dengan masa sebelumnya ketika fiqh masih menyatu dengan hadits yang cenderung hanya bersumber kepada al-Qur’an hadits, perkataan sahabat dan tabi’in.[37]
Di samping itu, di madrasah telah diajarkan ilmu Kalam Asy’ariyah yang telah menggunakan akal dalam skala yang terbatas. Namun demikian rasionalitas yang dikenal di madrasah pada masa itu tidak dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan.[38] Di samping itu, kurikulum madrasah juga dipengaruhi oleh politik pemerintahan. Di madrasah, pengajaran difokuskan kepada salah satu madzhab dari fiqh dalam aliran Sunni. Dengan diajarkannya fiqh beraliran Sunni, madrasah telah menjadi sarana sebagai benteng pertahanan bagi semakin berkembangnya ajaran Sunni. Perlawanan terhadap Syi’ah semakin kentara ketika madrasah juga menekankan pentingnya pengajaran hadits. Hadits yang dipilih adalah hadits-hadits yang menghidupkan ajaran-ajaran Sunni sebagai upaya tandingan terhadap aliran Syi’ah yang hanya menerima hadits-hadits dari ahl al- bait.
Dengan materi pembelajaran di madrasah yang dipengaruhi oleh aliran keagamaan dan politik pemerintahan maka metode pembelajarannya cenderung bersifat doktrinal dan tertutup dengan ciri khas tidak memberikan ruang kepada murid untuk berfikir bebas dan rasional. Secara praktis, metode yang dilaksanakan di madrasah adalah iqra’ (ceramah)—seorang guru menerangkan dan menjelaskan kitab karangannya atau karangan orang lain yang dilengkapi dengan komentar atas karangan itu—dan metode imla’ (dikte).
Analisis Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam Masa Rasulullah SAW hingga dinasti Abbasiyah
Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa perkembangan pendidikan Islam sejak awal selalu terkait dengan kondisi sosio-politik, budaya dan tuntutan masyarakatnya. Pada awal masa Islam, dibutuhkan penanaman keyakinan dan keimanan kepada Allah. Untuk maksud ini, Rasulullah mendidik, membimbing ummatnya dengan doktrinisasi dan penanaman aqidah yang benar terutama sekali dalam keesaan Allah, mengingat Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Quraisy yang politheis, yang menyembah berbagai macam berhala. Ajaran tauhid inilah yang dibutuhkan oleh Rasulullah untuk memantapkan keyakinan ummat Islam sebagai sebuah komunitas baru yang lahir di tengah-tengah keyakinan yang kental dan kuat saat itu.[39]
Di samping ajaran tauhid, Rasulullah mengajarkan kesamaan derajat, hak dan kewajiban di antara ummat manusia. Ajaran ini sangat penting mengingat masyarakat Arab pada saat itu mengenal sistem stratifikasi dalam perlakuan, hak-hak istemewa, dan priveledge antara kaum bangsawan dengan kalangan bawah apalagi dengan para budak. Ajaran kesetaraan dan kesamaan derajat berfungsi sebagai ideologi pembebasan bagi kaum lemah dari dominasi kaum bangsawan dan saudagar kaya.[40]
Selain itu, Rasul juga mendorong kaum muslim untuk mampu membaca dan menulis. Perintah dan upaya beliau dapat dipahami sebagai suatu persiapan ummat Islam untuk menjadi ummat yang maju dan diperhitungkan dalam persaingan global masa itu. Gerakan penghapusan buta huruf ini dicanangkan oleh Rasulullah, mengingat sebagian besar ummat Islam saat itu berasal dari kalangan bawah, yang tidak mempunyai akses sosial, ekonomi dan pendidikan. Hanya beberapa orang sahabat yang mempunyai kemampuan baca tulis karena mereka berasal dari kalangan atas serta mapan dalam status sosial dan kemampuan ekonomi. Ketika Rasul saw. di Madinah, maka beliau mengorientasikan pendidikan Islam dengan materi pembelajaran yang menekankan aspek sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan.
Aspek-aspek pembelajaran tersebut dipandang sebagai suatu yang urgen mengingat pada periode di Madinah, ummat Islam sedang berkembang menjadi sebuah masyarakat sipil yang berperadaban. Titik tekan pendidikan Islam pada saat itu adalah: 1) persatuan antara ummat Muslim; 2) persaudaraan, yang terdiri persaudaraan sesama manusia, persaudaraan sesama warga negara dan persaudaraan sesama muslim; 3) persamaan hak dan kewajiban antara seesama komunitas Muslim dan antara sesama warga negara; 4) perlakuan hak yang sama dihadapan hukum; 5) musyawarah dan demokrasi. Aspek-aspek pendidikan Islam inilah yang menjadi landasan utama dalam pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang dan maju dan beradab.[41]
Pengembangan kurikulum pendidikan Islam semakin menunjukkan urgensinya ketika ummat Islam tampil menjadi masyarakat yang kosmopolit, dan tampil sebagai pemegang kendali dunia. Perhatian terhadap pendidikan Islam dan kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diperlihatkan oleh kalangan ilmuwan dan ulama, tapi juga kalangan penguasa (istana), bahkan masyarakat muslim secara keseluruhan.
Makalah belajar pendidikan Islam Zaman Rasulullah Saw
Ulama dan kaum intelektual menunjukkan kajian-kajian mendalam dan penemuan-penemuan serta pengajaran yang intensif terhadap ilmu pengetahuan, kalangan istana memperlihatkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan dengan pengadaan dan pembangunan fasilitas sarana dan prasarana pendidikan, sementara masyarakat muslim menunjukkan antusiasme dan semangat yang tinggi terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Kondisi ini melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan—baik ilmu ilmu diniyah/naqliyah, maupun ilmu kauniyah/aqliyah—yang spektakuler melalui pengajaran dan kajian-kajian dalam semua bidang keilmuan sehingga ummat Islam dapat tampil sebagai komunitas dunia yang tak tertandingi oleh komunitas ataupun bangsa lain pada saat itu.[42]
Penutup
Dalam konteks pengembangan kurikulum, pendidikan dalam Islam pada masa awal telah mengalami perkembangan, begitu juga dengan lembaga, materi, dan metode pengajarannya. Kurikulum pendidikan Islam yang pada awalnya begitu sangat sederhana, kemudian berkembang begitu beragam sesuai dengan pertumbuhan ilmu perkembangan zaman. Dengan demikian, perlu kiranya disadari bahwa kita masih perlu menggali informasi tentang kurikulum pendidikan Islam di masa awal (klasik) untuk mengembangkan kurikulum pendidikan di masa kini .
Daftar Pustaka
‘Irsan al-Kailani, Majid. Tatawwur Mafhûm al-Nazha>riyyah al-Tarbiyyah. Beirut: Dar Ibn Katsir. 1985.
A.L. Tibawi. Islamic Education. London: Luzac and Co, 1972.
Abidin Hasibuan, Zainal. “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal” dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013.
Arief, Armai (ed.). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Angkasa. 2004.
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. 1999.
Badawi, Abd al Majid Abd al Futuh. Al-Ta>ri>kh al Siya>si> wa al-Fikr. al-Manshur: Mathabi’ al-Wafa, 1998.
Fazlurrahman. Islam, terj. Senoaji Saleh, cet. II. Jakarta: Bumi Aksara. 1992.
Haikal, Husein. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta: Balai Pustaka. 1972.
Kamaruzzaman. “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Rasulullah: Makkah dan Madinah”, dalam dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013.
Makdisi, George. “Muslim Institution of Learning in Eleventh-Century in Baghdad”, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 1961.
Makdisi, George. The Rise of College: Institution of Learning in Islam and the West. Edinburg: Edinburg University Press. 1981.
Muchlis Solichin, Mohammad. “Pendidikan Islam Klasik (Telaah Sosio-Historis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Masa Awal Sampai Masa Pertengahan)”, Jurnal Tadris, Volume 3. Nomor 2. 2008.
Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat. Jakarta: Risalah Gusti. 1996.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang. 1982.
Salabi, Ahmad. The History of Moslem Education. Beirut: Dar al-Kasysyaf. 1954.
Susari. “Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah”, dalam Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, ed. Abuddin Nata. Jakarta: Raja Grafindo. 2004.
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Proyek Pemibinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tingi Agama /IAIN Dijen Binbaga Islam Depag RI. 1986.
Zuharini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
[1] Fazlurrahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 286.
[2] Fazlurrahman, Islam, hlm. 287-288.
[3] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 23-24.
[4] Menurut Harun Nasution, periode klasik diperhitungkan sejak wafatnya Nabi saw. sampai akhir tahun 1250 M, yaitu antara tahun 650-1250 M. Selanjutnya disebut dengan periode pertengahan, yaitu antara tahun 1250-1800 M. Sedangkan Islam modern atau periode modern diperhitungkan sejak tahun 1800 M dan selanjutnya sampai sekarang. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 12.
[5] Lihat juga Zainal Abidin Hasibuan, “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal” dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 12.
[6] Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 27.
[7] Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 23-31.
[8] Kamaruzzaman, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Rasulullah: Makkah dan Madinah”, dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 34-35.
[9] A.L. Tibawi, Islamic Education (London: Luzac and Co,1972), hlm. 23.
[10] Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Balai Pustaka, 1972), hlm. 30.
[11] Kamaruzzaman, Pola Pendidikan Islam Pada Periode Rasulullah, hlm. 33.
[12] Kamaruzzaman, Pola Pendidikan Islam Pada Periode Rasulullah, hlm. 37.
[13] Kamaruzzaman, Pola Pendidikan Islam Pada Periode Rasulullah, hlm. 38-40.
[14] Mohammad Muchlis Solichin, “Pendidikan Islam Klasik (Telaah Sosio-Historis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Masa Awal Sampai Masa Pertengahan)”, Jurnal Tadris, Volume 3. Nomor 2. 2008, hlm. 197.
[15] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 198.
[16] Zuhairini, Sejarah, hlm. 80-81.
[17] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 198-199.
[18] Ahmad Salabi, The History of Moslem Education (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954), hlm. 35.
[19] Ahmad Salabi, The History of Moslem Educatio, hlm. 38.
[20] Menurut Fazlurahman, sejak dari awal masa Islam, ada dua jenis pendidikan di samping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Jenis pertama, pendidikan sekolah istana. Jenis pendidikan ini diadakan untuk pangeran-pangeran dengan tujuan untuk mencetak mereka menjadi pemimpin-pemimpin pemerintah kelak. Pendidikan ini mencakup pendidikan agama, tetapi lebih menekankan pada bidang pidato, kesusastraan, dan lain-lain. Sedangkan pendidikan "nilai-nilai kekesatria" di atas segalanya. Jenis kedua, pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak, yang tujuannya terutama mengajar mereka mengenai al-Qur'an dan agama, dan bukan keterampilan membaca dan menulis. Menurut Rahman, dari jenis pendidikan inilah tumbuh sekolah-sekolah tingkat tinggi yang tumbuh melalui halaqah-halaqah atau kelompok-kelompok para murid berkumpul mengelilingi seorang guru tertentu. Fazlurrahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 286.
[21] Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Proyek Pemibinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tingi Agama /IAIN Dijen Binbaga Islam Depag RI, 1986), hlm. 93.
[22] Armai Arief (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik (Bandung: Angkasa, 2004), hlm. 35.
[23] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm.57.
[24] Susari, “Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah”, dalam Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, ed. Abuddin Nata (Jakarta: Raja Grafindo, 2004) hlm. 36.
[25] George Makdisi, The Rise of College: Institution of Learning in Islam and the West (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 24.
[26] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 203.
[27] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 204.
[28] Salabi, The History, hlm.87.
[29] George Makdisi, “Muslim Institution of Learning in Eleventh-Century in Baghdad”, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies (25: 1961), hlm. 1.
[30] Salabi, The History, hlm. 257-259.
[31] Abd al Majid Abd al Futuh Badawi, al-Târîkh al Siyâsî wa al-Fikr (al-Manshur: Mathabi’ al-Wafa, 1998), hlm. 179.
[32] George Makdisi The Rise, hlm.67.
[33] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), hlm. 50
[34] Majid ‘Irsan al-Kailani,Tatawwur Mafhûm al-Nazhâriyyah al-Tarbiyyah (Beirut: Dar Ibn Katsir,1985), hlm.103-128.
[35] Armai Arief (ed.), Sejarah Pertumbuhan, hlm. 140.
[36] Armai Arief (ed.), Sejarah Pertumbuhan, hlm. 140.
[37] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 207.
[38] Kondisi yang terjadi di madrasah tersebut merupakan kemunduran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, mengingat pada masa sebelumnya telah berkembang pola pembelajaran bebas yang terjadi di masjid. Di masjid para murid bebas memilih materi pembelajaran dan guru yang dikehendakinya. Melalui sistem pendidikan halaqah, telah memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar dan berdiskusi dengan bimbingan guru yang berkompeten di bidangnya.
[39] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 208.
[40] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 209.
[41] Lihat Zainal Abidin Hasibuan, “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal”, hlm. 12-13.
[42] Mohammad Muchlis Solichin, Pendidikan Islam Klasik, hlm. 210.
Demikianlah Makalah Studi Pendidikan Islam Era Rasulullah SAW hingga dinasti Abbasiyah. Terimah kasih berkenan membaca.