Tantangan Pendidikan Non Formal

<Tantangan Pendidikan Non Formal> Dinamika kehidupan dan kebutuhan masyarakat tarus berkembang. Teknologi, informasi dan komunikasi sebagai factor yang mempercepat akselerasi pembangunan tidak dapat dibendung. Mobilitas barang dan orang makin cepat, orientasi kehidupan masyarakat memasuki fase knowledge based economic yang sangat mendasar pada kompetensi dan inovasi atas produk barang dan jasa. Untuk itu suka atau tidak layanan pendidikan non formal harus mengikuti dinamika tersebut, yang ditunjang nilai profesionalisme.

Perubahan nomentkalur pendidikan luar sekolah menjadi pendidikan nonformal seperti amanah UU system Pendidikan Nasional No.20/03, merupakan langkah awal untuk meletakkan pendidikan nonformal menjadi bagian penting dalam pemberdayaan masyarakat.

PNF lebih mempunyai makna sebagai salah satu jalur pendidikan yang dapat dipilih oleh masyarakat, selain jalur pendidikan formal. PLS tentu  mempunyai makna yang lebih sempit, dan mempunyai citra berbeda dengan pendidikan sekolah. Padahal layanan pendidikan yang diberikan jauh memberikan ketrampilan, kecakapan dan multi makna yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup peserta didiknya. PNF dengan sifat pembelajaran yang luwes, fleksibel, berorientasi pada kebutuhan pasar/masyarakat dan bertumpu pada kecakapan hidup mempunyai kemampuan untuk menembus seluruh lapisan masyarakat. Ini sesuai dengan motto PNF,”menjangkau yang belum terlayani”.

Pendidikan Nonformal mempunyai tantangan yang makin berat. Namun posisinya sangat strategis dalam membantu menyelesaikan maslah masyarakat menuntut inovasi untuk terus mengembangkannya.
https://aang-zaeni.blogspot.com/2017/07/tantangan-pendidikan-non-formal.html

Di era baru, semangat baru dengan nama Pendidikan nonformal (PNF), harus dibangun sisitem nilai yang mengacau pada paradigma pembangunan PNF sekarang dan mendatang. Nilai-nilai merupakan konstruksi isiologi yang menjadi acuan pembenaran atas sikap dan perilaku dalam menjalankan fungsi pelayanan pendidikan. Sebagai konstruksi idologi,nilai-nilai yang dibangun dalam meningkatkan kualitas layanan pendidikan nonformal untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan kompetensi unggul dibangun oleh seluruh sinergi positif setiap elemen pendidikan nonformal. Baik oleh pemerintah,masyarakat, dinamika pertumbuhan sosial ,ekonomi, politik, teknologi dan informasi yang melingkupi pelaksanaan pembangunan pendidikan nonformal.

Dalam konteks pendidikan nonformal, nilai-nilai seperti pemihakan pada yang lemah atau yang miskin (propoor), terbelakang dan terpencil, prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip partisipasi dari masyarakat (bottom-up participation), profesionalisme,dan prinsip pembelajar sepanjang hayat, serta berorientasi pada kebutuhan pasar/masyarakat adalah srbagian dari nilai penting yang harus dipahami oleh para pelaku/pengelola. Komitmen atas nilai-nilai tersebut dapat diuji dengan cara pandang,cara berpikir, dan perilaku yang pada tataran pengambil keputusan dapat dilihat pada konsistensi kebijakan dan dasar penentua kebijakan. Pada tataran pelaksanaan dapat dilihat pada kesungguhan dan konsistensi sikap dan gerak langkahnya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan.

Nilai yang menganut prinsip partisipasi diterjemahkan melalui kontribusi atau peran serta masyarakat dalam pemikiran dan aksi untuk penyusunan dan pelaksanaan program-program pendidikan nonformal. Nilai yang menganut profesionalisme harus diterjemahkan melalui sikap-sikap dan perilaku, antara lain menjunjung tinggi kejujuran, kedisiplinan, konsistensi,tanggung jawab, daya juang, produktifitas, dan kompetensi. Sedangkan nilai yang menganut prinsip pembelajar sepanjang hayat dimanifestasikan dengan keinginanya yang kuat untuk terus belajar  guna meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya atau melakukan perubahan.

Paradigma yang telah usang, akan menjerat para pelaku/pengelola pada sikap dan perilaku konservativ dan cenderung statis. Dalam fungsinya  sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal misalnya, para pelaku/ pengelola pendidikan nonformal bukanlah pendidikan kelas dua. Pasalnya, dengan fleksibelnya, pendidikan nonformal bahkan dapat menjadi pendidikan alternatife yang menawarkan solusi inovatif untuk kemajuan dunia pendidikan.

Sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat terutama mengatasi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan, maka pendidikan non formal banyak mengembangkan pendidikan kecakapan hidup yang berbasis keunggulan desa,kota dan luar negeri. Kecakapan hidup merupakan konsepsi yang bermaksud memberi kepada seseorang bekal pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan fungsional berupa kecakapan pribadi,sosial, akademik dan vokasional secara praktis,ditambah dengan peningkatan kemampuan kewira usahaan serta nilai professional. Pada akhirnya seseorang mampu bekerja dan/atau berusaha mandiri dengan memanfaatkan potensi dan peluang lingkungannya yntuk meningkatkan mutu kehidupannya.

Pendidikan kecakapan hidup mempunyai spektrum luas baik subjek maupun objeknya. Untuk itu pembatasan kelompok sasaran peserta program untuk masyarakat miskin, buta aksara,tidak sekolah, putus sekolah dan antarjenjang pndidikan antar masyarakat marginal lain dilakukan untuk memfokuskan hasil dari peserta program yaitu, (1) memberikan ketrampilan bekerja; (2) mendorong peserta berusaha sendiri. Tujuan akhir dari pendidikan kecakapan hidup tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraan dan produktifitas hidup masyarakat marginal, dan ini sebagai kontribusi pendidikan nonformal dalam menyelesaikan masalah masyarakat.  
      
Luasnya cakupan layanan pendidikan non formal tidak sebatas penduduk dewasa, penduduk usia dini, umur 2-4 tahun yang masuk dalam case golden ace, melejitkan kecerdasan anak usia dini untuk tumbuh kembang dan kesiapan belajar kejenjeng pendidikan lebih lanjut. Pengembangan model pembelajaran PAUD yang kreatif, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai dengan perkembangan kemampuan motorik halus dan kasarnya ditunjang olah perawatan kesehatan anak secara cerdas dan sehat.

Paradigma baru pembangunan pendidikan non formal di era global, harus ditangkap oleh perencana dan pengambil kebijakan serta seluruh pendidikan non formal dengan mengembangkan program literalisasi komputer untuk mendukung program literalisasi. Dalam peran teks inilah, pengembangan program literalisasi komputer International Komputer Driving Licencce (ICDL) dengan pilihan strategis. Dewasa ini komputer sudah umum dimanfaatkan mulai dari pekerjaan yang sederhana seperti pengetikan hingga yang cukup rumit seperti pengelolaan data base desain dan rancang bangun, atau aplikasi multimedia di internet. Selama ini kemudahan membuat tabel-tabel dan kalkulasi dengan aplikasi spredsbeet seperti Exel dari Microsoft, termasuk juga dapat menyimpan, mengolah, dan memelihara data atau arsip (filing) yang lebih mudah dan efisien dengan aplikasi database seperti Microsof Excel dan MS Access.

Kemudian dapat menyusun dan menayangkan presentasi secara mudah, cepat, dan indah, dengan aplikasi seperti MS Power Point, dan mampu mengikuti berita (lokal, nasional, internasional) secara sealtime, mencari dan mendapatkan informasi dengan mudah, melakukan komunikasi secara cepat dan murah melalui internet. Komputer sudah tampil sebagai penyokong utama terjadinya transformasi budaya. Dimana penggunaannya sudah menjadi semacam ''way of life'' baik di lingkungan kerja maupun aktivitas masyarakat lain.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, computer literacy menjadi salah satu isu di kalangan pendidikan dan harus menggunakan secara untuk mendekatkan, mensepahamkan, dan merelevankan dunia pendidikan dengan dunia nyata masyarakat, termasuk dunia industri atau dunia kerja. Lulusan sekolah atau pendidikan non formal yang menyandang kualifikasi komputer literate akan lebih mampu dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Ia juga berpotensi cepat mampu mengembagkan kapasitas dirinya. Apalagi kalau karena sumber informasi, pengetahuan, dan keterampilan (skills) sudah banyak diperolah melalui media komputer atau cara-cara yang computerized.

Merancang pendidikan non formal ke depan, Direktorat Pendidikan Nonformal (Ditjen PLS) mengembangkan computer literacy sebagai salah satu indikator mutu/relevansi dalam pendidikan kecakapan hidup bidang aplikasi teknologi, yang dalam hal ini Teknologi Informasi dan Komunikasi (komputer). Komputer merupakan produk teknologi yang sudah lazim dimanfaatkan oleh banyak kalangan untuk mempermudah, meningkatkan produktifitas atau pekerjaan, sehingga kemampuan memahami dan menguasai penggunaan komputer, akan makin meningkatkan kapasitas peserta didik serta memperluas peluang mereka untuk mengakses kesempatan modern.

Subscribe to receive free email updates: