Iman dan Maksiat dalam Kajian Hadits Nabi SAW

Iman dan Maksiat dalam Kajian Hadits Nabi SAW | Termasuk sunnatullah di dunia ini adalah bahwa barang siapa yang taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan beruntung baik di dunia dan akhirat. Sebaliknya barang siapa yang meninggalkan agama dan perintah-Nya maka dia akan termasuk orang-orang yang merugi di dunia dan akhirat. Iman merupakan hal yang terpenting dalam sistem aqidah dan amal dalam Islam. Sejatinya seorang mukmin selalu berusaha mewujudkan di dalam dirinya keperibadian sejati yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal yang harus diperhatikan di dalam proses penghayatan kepada Sang Pencipta Yang Maha Suci itu diperlukan suatu kondisi yang bersih, baik jasmaninya maupun rohaninya. Kebersihan rohani disini dimaksudkan bersih dari sifat-sifat tercela yang dapat menjerumuskan dalam kemaksiatan.

Selama ini kita telah banyak meninggalkan jalan Allah dalam kehidupan ini. Hati yang keras merupakan masalah yang akan membawa akibat sangat berbahaya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia telah banyak tertipu akan keindahan dunia yang dibujuk oleh syetan-syetan sehingga berimplikasi untuk melakukan beragam kemaksiatan tanpa ada rasa peduli terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal tersebut seolah-olah sudah menjadi tradisi bagi umat manusia saat ini. Kami memohon kepada Allah agar terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa, dan semoga kita diberikan taubat dan ampunan, jika terlanjur berbuat dosa. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa hamba-hambanya.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2016/12/iman-dan-maksiat-dalam-kajian-hadits.html

Definisi Iman

Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati.[1] Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Ini adalah pendapat jumhur. “Membenarkan dengan hati” maksudnya menerima segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.“Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya, mengucapkan dua kalimah syahadat, syahadat “Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah).“Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya. Kaum salaf menjadikan amal termasuk dalam pengertian iman. Dengan demikian iman itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.

Iman adalah unsur pokok dalam keberagamaan manusia, karena hal tersebut menjadi penggerak bagi unsur-unsur lainnya, yang berupa ibadah maupun akhlaq. Ketika iman sudah menempat pada hati manusia ia akan menjadi sesuatu yang berproses dan bergelombang sehingga membentuk sikap dan perilaku yang baik.[2] Iman mempunyai pengaruh terhadap kehidupan seseorang baik itu secara individu ataupun sosial. Prinsip iman tidak hanya kita pahami pada ranah teologi saja, melainkan ada unsur sosiologi yang berfungsi sebagai wadah aplikasi iman kita. Sebagaimana kita ketahui bahwa iman itu terdiri dari tiga ranah, ranah teologi, individual dan sosiologi. Ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Pengertian Maksiat

Maksiat lawannya taat. Hanya Allah swt yang tahu kadar ketatan dan kemaksiatan seseorang. Ketaatan menjadi suatu yang manis bagi si mukmin, manakala maksiat adalah suatu kelzatan bagi mereka yang ingkar. Sesungguhnya maksiat dan pengaruhnya sangat membahayakan insan di dunia dan akhirat. Seorang mukmin senantiasa harus berhati-hati dalam kehidupan sehariannya agar tidak terperangkap dalam kemaksiatan. Walaupun hanya Allah swt yang tahu semua kadar tindakan ketaatan dan juga kemaksiatan manusia, namun kesan dan pengaruhnya dapat dilihat semasa hidup di dunia. Ketika kemaksiatan sudah merajalela, maka tidak heran jika kita sering melihat berbagai musibah yang menimpa umat manusia. Seolah-olah hal itu merupakan gejala alam saja, namun ketika kita melihat dari segi historisitas, banyak ayat al Qur’an atau pun Hadis yang menceritakan akan bencana yang terjadi akibat kemaksiatan manusia. Kita ingat akan kisah nabi Nuh, kita tahu tentang kisah nabi Luth, kisah nabi Musa, kisah nabi Hud, kaum mereka diadzab oleh Allah karena melakukan berbagai kemaksiatan dan dosa.

Iman dan Kemaksiatan

Timbul pertanyaan, apakah kita dapat menganggap mukmin terhadap seseorang yang mampu menanamkan lafadz “tiada tuhan selain Allah” di dalam hatinya, tetapi dia tidak melakukan apa yang diperintahkan dan tidak menjauhi apa yang dilarang Allah? Seorang yang beriman tidak hanya semata-mata membenarkan dalam hati saja, melainkan ada sebuah aksi dalam kehidupan kesehariannya yang menunjukan aplikasi keimanannya. Pada hakikatnya, pemisahan itu tidak pernah terjadi. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, beliau mengatakan, “tidaklah dapat diterima akal sehat iman seseorang yang mengetahui bahwa shalat itu wajib, dan dia mendengar seruan Allah setiap hari dalam hidupnya, marilah shalat, akan tetapi tidak sekalipun ia menyambut seruan itu sepanjang hidupnya”.[3] Kita mengetahui bahwa Iman itu merupakan tashdiq (pembenaran) yang disertai dengan amal. Kita juga telah mengetahui bahwa tashdiq dengan amal itu dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Maka apabila terdapat tashdiq amalnya pun ada, begitu pun sebaliknya.

Iman seorang hamba akan bertambah dan meningkat bilamana ketaatan dan ibadahnya bertambah dan meningkat, sebaliknya keimanannya akan menurun bilamana kadar ketaatan dan ibadahnya menurun. Perbuatan maksiat sangat berpengaruh kepada iman seseorang, apabila kemaksiatan tersebut dalam bentuk syirik besar atau kekufuran, maka bisa mengikis keimanan sampai ke dasar-dasarnya.
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S An Nisa 48)

Dalam ayat lain Allah berfirman: dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (Q.S At Taubah 124)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.(Q.S Al Anfal 2)

Ayat tersebut menegaskan bahwa iman itu dapat bertambah dan dapat juga berkurang. Sesungguhnya amal itu merupakan bagian dari iman. Dan iman itu bertambah ketika kita melakukan hal-hal yang sesuai dengan ajaran dan undang-undang yang berlaku berupa al Qur’an dan Hadis. Sedangkan iman itu berkurang manakala ia melanggar dan keluar dari koridor ajaran agama yang berupa kemaksiatan. Keimanan orang-orang yang beriman berbeda-beda, tidak sama satu dengan yang lainnya. Bahkan ketika bertambahnya amal shalih dan keyakinan pada diri seseorang, maka bertambahlah keimanannya dan menjadi lebih utama dibanding dengan orang yang selainnya.

Iman dapat dikatakan sebagai kekuatan dan perisai untuk menangkis segala kemungkaran, kemaksiat dan perbutan tercela lainnya. Ketika iman seseorang itu dalam keadaan baik, maka orang itu akan mencerminkan sifat-sifat terpuji, baik itu dalam sikap, perilaku maupun tutur katanya. Orang beriman itu pada hakikatnya berusaha untuk tidak melakukan hal yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Karena patut kita sadari bahwa iman itu tidak hanya berhenti pada aspek teologi saja, namun termasuk di dalamnya aspek sosial sebagai upaya implementasi dari keimanan tersebut. Ketika iman sudah menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan seseorang, tentu saja orang itu akan diiringi sikap-sikap terpuji sesuai dengan konsep agama yang sudah termaktub dalam al Qur’an dan Hadits. Dan sudah dipastikan perbuatan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama akan menjauh dengan sendirinya. Iman itu ibarat filter dan parameter yang mampu menyaring dan mengukur kesadaran seseorang dalam menjalani ajaran-ajaran agama.[4]

Dalam hadits dikatakan:

عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لايزني الزاني حين يزني وهومؤمن ولايسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولايشرب الخمر حين يشربها وهومؤمن (رواه البخاري ومسلم وغيرها)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda “pezina tidak akan berzina tatkala ia berzina dalam keadaan beriman; pencuri tidak akan mencuri takala ia mencuri dalam keadaan beriman; dan peminum khamar tidak akan minum khamar tatkala ia minum dalam keadaan beriman.(HR. Bukhari Muslim)[5]

Hadits ini tidak memilki asbabul wurud yang pasti.[6] Namun ketika mencermati dari sisi teks semata, kita akan menemukan bahwasannya hadits tersebut menerangkan prinsip orang beriman itu tidak akan melakukan hal-hal yang berbau kemaksiatan. Logikanya, ketika seseorang melakukan kemaksiatan seperti yang telah termaktub dalam hadits di atas, orang tersebut bukan lagi seorang mukmin. Karena sejatinya setiap orang mukmin itu akan terus mendidik dan membina keperibadiannya untuk selalu melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela.[7]

Para mutakallimin berbeda pendapat dalam menentukan status seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan. Sebagian kaum Khawarij berasumsi bahwa ketika seoang mukmin melakukan maksiat, katakan saja membunuh, yang merupakan salah satu kriteria dosa besar, maka orang tersebut menjadi kafir. Aliran ini memilki pemahaman yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik.[8] Disisi lain, ada juga golongan yang beranggapan bahwa perbuatan maksiat ataupun dosa besar tidak mempengaruhi kadar iman seseorang. Menurut mereka, prinsip dasar iman itu hanya sebatas pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah. Masalah maksiat ataupun dosa besar yang dilakukan, urusan tersebut dikembalikan kepada Allah semata dan akan dipertanggungjawabkan pada yaumul hisab kelak. Golongan ini kita kenal dengan kaum Murjiah. Sedangkan kaum Mu’tazilah menggunakn istilah fasik bagi orang yang melakukan maksiat ataupun dosa besar. Mereka berasumsi bahwa orang tersebut tidak termasuk kafir seperti apa yang telah dikemukakan oleh kaum Khawarij.

Sekarang ini manusia sedang berhadapan dengan perubahan zaman yang dapat mengubah pola hidup mereka. Persoalan yang muncul dari perubahan tersebut berupa krisis akhlaq. Hal itu terjadi akibat dari keindahan dunia yang dihiasi berbagai macam sajian yang sangat menggiurkan. Lemahnya iman juga turut andil terhadap fenomena tersebut. Akhirnya mereka tenggelam dalam kehidupan yang hanya merupakan panggung sandiwara, mereka menyangka akan hidup kekal di dunia. Mereka lupa akan kematian, yaumul hisab, surga dan neraka sehingga mereka terjerumus ke lubang kemaksiatan. Menurut Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar M.A, sumber timbulnya krisis akhlaq yaitu:[9]
  1. Longgarnya pegangan agama yang menyebabkan hilangnya kontrol diri.
  2. Pembinaan moral yang dilakukan orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif.
  3. Derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik, sekuleristik.[10]
Rendahnya kualitas akhlaq dan iman seseorang merupakan faktor utama tindakan kriminalitas dan maksiat lainnya dalam kehidupan masyarakat. Krisis akhlaq kini telah menjalar kepada masyarakat luas, tidak mengenal itu dari kalangan elite politik, pelajar, pedagang dan kalangan lainnya. Sering kita dijumpai praktik kolusi, korupsi, nepotisme, pemerkosaan, penyelundupan, penipuan, pencurian, perzinahan, tawuran dan berbagai macam kriminalitas lainnya baik dalam bentuk media elektronik maupun media cetak. Melihat kondisi yang demikian, sepatutnya kita melakukan intropeksi diri dan evaluasi untuk membina akhlaq yang mulia sehingga menjadi mukmin yang hakiki. Perubahan sosial dan arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat menjadikan proses pembinaan akhlaq sulit direalisasikan. Karena tidak sedikit dari dinamika tersebut yang melenceng jauh dari nilai-nilai Qur’an. Bahkan tidak jarang hal itu mempengaruhi psikologi yang menghawatirkan, seperti kehilangan pegangan dan tujuan serta makna hidup seseorang.

Dengan demikian, pembinaan akhlaq mulia merupakan keharusan yang bersifat mutlak dan merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Hal tersebut harus menjadi kepedulian semua pihak, sebab akhlaq menjadi pilar tumbuh berkembangnya dinamika sosial. Pembinaan akhlaq menekankan pada sikap, tabiat dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa berakhlaq karimah, karena akhlaq merupakan implikasi dari tauhid kepada Allah. Dari sini kita dapat menilai, seberapa benarkah seseorang itu benar-benar beriman, karena iman sangat erat kaitannya dengan semua amal kita.

Kesimpulan

Selama ini, kita berasumsi bahwasannya iman itu terletak pada ranah teologi saja. Padahal disisi lain ranah individual dan sosiologi memiliki peranan penting sebagai wujud implementasi dari keimanan. Kalau kita mengkaji lebih dalam tentang al Qur’an dan Hadis, banyak sekali ayat-ayat maupun teks yang menyatakan bahwa iman itu erat kaitannya dengan amal dan akhlaq. Iman dapat bertambah, dan segala sesuatu yang bisa bertambah, tentu bisa juga berkurang. Bertambahnya keimanan seseorang terjadi ketika orang tersebut melakukan perbuatan-perbuatan shalih. Berkurangnya iman disebabkan adanya kemaksiatan yang dikerjakan dan ditinggalkannya amal shalih. Seorang mukmin berkurang imannya sejauh mana ia meninggalkan amal shalih atau ia melakukan kemaksiatan.

Daftar Pustaka

Abdul Khalid, Abdul Rahman. Garis Pemisah Antara Kufur dan Iman. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Abul A’la Maududi, Yusuf Qardlawi, Muhammada Khairul Jalad, Hakekat Tauhid Dalam Kehidupan Seorang Muslim. Darul Ulum Press, 1990.

Al Munawwar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur’an, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Az Zairi, Amir Saad. Manajemen Kalbu Resep Sufi Menghentikan Kemaksiatan, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.

Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2002.

Yusuf, Muhammad. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits: Relasi Iman dan Sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Subscribe to receive free email updates: