Pengertian Idul Fitri Menurut Bahasa dan Istilah Terminologi

Idul Fitri secara harfiah bermakna kembali kepada kesucian. Dirayakan sebagai ekspresi kemenangan setelah satu bulan penuh melakukan tapabrata. Berpuasa menahan lapar dan dahaga. Membayangkan selepas keluar dari Ramadhan, orang lahir kembali dengan kesadaran baru. Dalam ungkapan teologis, "Seperti bayi yang baru keluar dari rahim bundanya."

Dalam level personal, Idul Fitri itu semestinya menginjeksikan keinsafan tentang keniscayaan merawat interioritas jiwa agar senantiasa berada dalam atmosfer kesucian. Sementara dalam aras sosial, Idul Fitri itu sebenarnya menyerukan kewajiban susulan bahwa kesucian itu pada saat bersamaan harus dipantulkan dalam wujud kesediaan membangun persahabatan dengan "liyan". 

Liyan di sini tak hanya dimaknai sebagai sosok yang sama keyakinan, tetapi berbeda haluan mazhab, ormas, dan pemikiran; tetapi dalam liyan juga terkandung garis lintas sektoral budaya, kultur, dan iman. Di titik pertautan inklusif seperti ini, Idul Fitri menjadi kesempatan berharga untuk saling mendengar, saling belajar, saling memahami, dan saling menghargai. Maka, menjadi dapat dipahami seandainya selepas Idul Fitri kita ditekankan satu sama lain saling bersalaman.
Pengertian Idul Fitri Menurut Bahasa Dan Istilah Terminologi
Bersalaman bukan sekadar persentuhan kedua telapak tangan, saling menjabat, tetapi sesungguhnya melambangkan kehendak menanamkan sikap lapang, saling memaafkan, dan tekad menebarkan damai kasih kepada seru sekalian alam. Dalam praktiknya, tidak ada orang yang bersalaman, kecuali di dalamnya terlibatkan pancaran wajah sumringah, senyum tulus, dan gestur tubuh penuh kehangatan, bahkan ada banyak orang yang melakukannya sambil berangkulan, bercengkrama penuh keakraban. Dalam tilikan filsuf Levinas, "wajah" seperti ini sejatinya yang menjadi manifestasi epifani ilahiah.

Wajah yang mengalirkan daya metafisika untuk satu dengan lainnya menggabungkan diri dalam persatuan otentik, dalam persahabatan lintas batas, dan dalam kehadiran perserikatan hidup yang agung. Wajah yang melampaui tampilan fisik-muka. Dalam "wajah" saat Idul Fitri itu seharusnya terbersit penyingkapan riil tentang "kesucian" (fitri) itu. Kesucian baik hubungannya dengan sosial (kemanusiaan nondiskriminatif), politik (tegaknya keutamaan), hukum (sebanding lurus dengan kebenaran), ekonomi (keadilan yang terdistribusikan secara merata kepada semua pihak), atau agama (terbebas dari tindakan menjadikan agama sekadar jubah formalitas semata). Inilah wajah gembira, wajah penuh persahabatan yang dapat menghindarkan manusia dari kepribadian yang terbelah, anonim dan impersonal.
 
Wajah yang dapat memberikan gambaran manusia secara utuh. "Min Al- Aa-idiina Wa Al-Faa-iziina" Maka, sesungguhnya di titik entitas kesadaran fundamental ini, adagium yang kerap diucapkan saat Idul Fitri,minal aidin wal faizin, menjadi bermakna. Min Al- 'Aaidiin sebagai pengingat bahwa kita kembali ke kehidupan sosial setelah ditempa dalam ritus puasa vertikal kepada Tuhan. Wa Al-Faa-iziin, artinya kita berada dalam kebahagiaan saat persahabatan itu jadi modus eksistensial kehadiran setiap kita, ketika persekutuan itu menjadi panggilan terdalam kaum beriman. Bukankah tujuan beragama (dan berpolitik) adalah ikhtiar tidak pernah mengenal henti memburu pengalaman kebahagiaan. Dan, demokrasi disepakati sebagai sistem dalam memilih pemimpin tidak lain dalam upaya memimpikan terbitnya kebahagiaan lewat tangan-tangan para pemimpin terpilih, yang diharapkan bisa mengelola kekuasaan dengan benar.

Sejarah mencatat bahwa imaji tentang konsep kedatangan "ratu adil" selalu dimulai ketika mimpi kebahagiaan itu tidak kunjung tiba, saat keresahan menyekap masyarakat. Ketika Aristoteles menyampaikan gagasan tentang polis dan Al-Farabi mengarang kitab Al-Madinah Al-Fadilah, sesungguhnya di dalamnya tersirat bahwa "negara" atau "kota" hanya akan sampai pada kebahagiaan bersama. Yakni, ketika seluruh warganya mampu membangun pertemanan sosial yang inklusif dengan etika imperatifnya berupa sikap respek, tanggung jawab, pengagungan pikiran, pemuliaan kemanusiaan, cinta kasih, dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Indeks kebahagiaan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ruang publik yang dikepung banyak taman yang indah.

Namun, secara esensial, yang menjadi acuan pokoknya adalah adanya ruang publik terbuka tempat warga negara bisa membangun persahabatan yang otentik, komunikasi partisipator, hadirnya demokrasi deliberatif, dan keseriusan kaum penguasa mengelola kekuasaannya secara terbuka, logis, dan berkeadilan. Politik pun, di mana manusia dibilang sebagai zoon politikon, dalam terang wajah epifani Idul Fitri, menjadi tugas mulia, tugas kenabian, yang di dalamnya tergambarkan jejak-jejak ketuhanan.

Di Idul Fitri, biasanya pintu rumah-rumah kita terbuka. Sebagian pejabat malah menyelenggarakan open house. Bagi saya, keterbukaan ini jangan berhenti sebatas "fisik", apalagi hanya basa-basi politik pencitraan untuk memenuhi kebiasaan penguasa semata. Akan tetapi, ia harus ditingkatkan maqam-nya menjadi kesanggupan diri (capable self) untuk juga bisa terbuka dalam melihat fakta keragaman, pluralisme, dan multikulturalisme. Open house itu adalah medan pertemuan pejabat dengan warganya untuk satu sama lain saling menyelami kedalaman sukmanya dengan penuh kejujuran. Hanya dalam suasana keterbukaan (openness) seperti ini kita dapat hidup berbangsa dan bernegara secara dewasa. Keragaman tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi hajat pokok dalam kehidupan manusia, sekaligus pintu masuk untuk bersatu dalam ketulusan, dalam terang wajah-wajah yang memancarkan nyala epifani kudus ilahiah. Kehidupan dan bernegara pun menjadi milik bersama, dihayati bersama-sama. Akhirnya, selamat Idul Fitri, mari ber-salam-an, saling memaafkan lahir dan batin.

Pengertian Idul Fitri Menurut Bahasa Dan Istilah Terminologi Ditulis oleh Ang Zaenal Alfian

Subscribe to receive free email updates: