Menghargai Diri Sendiri

Budaya saling menghargai sesama, saat ini- tampak sedang berada pada titk nadir ketiadaan. Intoleransi menjadi bukti nyata yang tak terelakkan. Tawuran antar-pelajar, antar-etnis, antar-suku, antar-warga, kerap bertamu menyambangi ruang keluarga kita melalui layar kaca. Yah, apapun alasannya budaya ketimuran yang santun dan toleran, nyaris lenyap dikubur sikap apatis dan ketidakpedulian terhadap individu serta kelompok masyarakat yang lain. Problem klasik yang rajin memukul gendang telinga kita.
''.... Dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah SWT maha mengetahui lagi maha mengenal.'' (QS. AL-HUJURAT :13)

menghargai diri sendiri

Petikan ayat diatas mengetengahkan isyarat bahwa proses mengenal harus berkelanjutan dengan proses lain yang berporos pada terciptanya kehidupan bermasyarakat yang saling menghargai antara satu individu dengan individu yang lain, juga antar-golongan pada umumnya. Sikap menghargai yang tumbuh dalam setiap kita, tentunya tidal lahir dari individu yang abai akan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Ini menjadi sangat penting, ketika menghargai sesamanya, dapat ditakar dari cara terbaik menghargai dirinya. Dan tentunya, memperlakukan diri sendiri secara positif - sebagai wujud menjaga citra diri - menjadi kuncinya. Rasululullah SAW bersabda, ''Tidak ada satupun milikku yang kusembunyikan dari kalian. Barang siapa menjaga harga dirinya, maka Allah akan menjaga dirinya.'' (HR.Bukhari- Muslim).

Menghargai diri sendiri, berpotensi untuk menjaga citra diri. Melepas semua sikap yang berlawanan dengan syara', dan menghindar dari petaka dosa adalah upaya nyata mewujudnya penghargaan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika kita menenggelamkan iman dan menggadaikan sikap pada nafsu dan kenistaan, harga dan citra diri kita tidak akan terpelihara seutuhnya. Ketika citra diri terjaga, maka berbicara positif tentang diri menjadi keniscayaan yang harus tercipta. Maksudnya, berbicara positif tentang diri berarti menegaskan siapa jati diri kita sesungguhnya. Dalam hal ini, pengukuhan identitas menjadi sangat kentara untuk diperlihatkan. Tentang jati diri, keyakinan akan kebenaran, keberpihakan pada nilai dan moral, serta konstribusi nyata terhadap kebaikan dengan menanggalkan sikap egois, apatis, pragmatis dan individualistis. Karena bagaimana pun juga, berbicara positif tentang diri merupakan awal dari terciptanya sikap poositif dari setiap individu yang ada.

Ketika kita berani menghargai diri sendiri dengan memupuk nilai-nilai positif didalamnya, maka bukan hal yang rumit untuk mengenal dan menghargai individu serta golongan yang tidak sejalan. Untuk Indonesia kita hanya perlu menghargai diri sendiri sebagai manusia hebat yang berani menghargai orang lain. Toleran untuk tidak henti menyambung shilaturahmi dan mempererat persaudaraan, sehingga problem klasik diawal tulisan ini, tidak lantas menjadi akhir dari perjalanan Indonesia menggapai mimpi ;baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Demikianlah Islam menuntun kita menghargai diri sendiri untuk menghargai orang lain. Tentunya dengan menumbuh-suburkan nilai-nilai positif dalam berfikir, bersikap dan berucap. Selaras dengan firman-Nya,'' Aku adalah sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku'', jika ia menyangka sesuatu yang baik, maka ia akan mendapatkannya. Dan jika ia menyangka sesuatu yang buruk, maka ia pun akan mendapatkannya.'' (HR.Ahmad, Baihaqi, Ibnu Hibban).

Subscribe to receive free email updates: