=>Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri<= Bila keluarga adalah dasar kebudayaan dan masyarakat, maka hubungan suami istri dan penetapan hak-hak timbal balik dan tugas-tugas mereka adalah dasar kehidupan keluarga. Oleh karena itu, diatas sudah dijelaskan mengenai hak istri atas suami dan juga hak suami atas istri. Selain itu suami dan istri memiliki hak-hak yang sama.
Dalam pasal 79 (2) KHI dijelaskan bahwasanya “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.” Dalam UU no 1 tahun 1974 pasal 30 sampai dengan pasal 34 yang isinya;
- Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
- Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.
- Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
- Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
- Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
- Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. (Syahrani, 1985 hlm.98).
Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW:
- Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.
- Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.
- Suami istri saling mengikatkan diri secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak.
Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.
Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ”perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan istri.
Sedangkan menurut Mahmud Al-Shabbagh dalam bukunya yang berjudul Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam kewajiban bersama suami-isteri meliputi:
1). Pendidikan Anak Secara Islam
Sesungguhnya menanamkan pendidikan Islam kepada anak-anak merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri.Dalam hal ini, istilah yang lebih dekat dengan anak-anak ketika mereka masih balita.Istri harus menanamkan kepada mereka ajaran-ajaran Islam, melatih dan membiasakan mereka melakukan sesuatu sesuai hukum-hukum Islam, dan menghias diri dengan ahlak yang mulia.Istri hendaknya menjadi contoh yang baik untuk mereka. Bagi suami yang memegang kendali kepemimpinan keluarga, hendaknya ia membantu istrinya dalam mendidik anak-anak mereka sejak kecil, kemudian mengambil alih istrinya secara sempurna ketika anak-anak mereka lepas dari masa kanak-kanak, kemudian tanggung jawabnya dari segi pendidikan ini lebih besar ketimbang istrinya dalam hidup berkeluarga.
2). Menjaga Kehormatan Keluarga
Suami istri memikul tanggung jawab bersama untuk saling menjaga kehormatan masing-masing dan kehormatan anak-anaknya. Hal itu dapat dilakukan dengan berpegang pada firman Allah swt: “….Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan mereka, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 33:35).
Maka dari itu seorang istri tidak diperbolehkan untuk memasukan seseorang ke dalam rumah suaminya, kecuali ada izin dari suaminya, dan ia juga tidak boleh membawa seseorang untuk menyentuh kasurnya kecuali suaminya. Selain itu, ia juga tidak boleh menemui seorang laki-laki kecuali dalam keadaan terpaksa, dan itu pun dipasrahkan agar memakai pakaian yang Islami, seperti diharamkan juga atas mereka untuk berdua kecuali mereka disertai dengan muhrim.
Muhrim disini adalah seorang yang diharamkan bagi laki-laki untuk dinikahinya dalam waktu yang tidak terbatas, bukan waktu yang sementara. Larang dalam waktu yang tidak terbatas tidak memperbolehkan seorang wanita menjadi istri laki-laki itu.
3). Saling Berhias dan Menjaga Kehormatan
Di antara kewajiban yang patut dilakukan oleh suami-istri bersama-sama adalah baik suami maupun istri hendaknya mempercantik diri dengan berhias untuk memuaskan pasanganya.Istri wajib berhias untuk suaminya dengan perhiasan yang dihalalkan oleh Allah swt. Dari air, celak, ramuan tumbuh-tumbuhan, parfum, dan pakaian-pakaian yang indah, serta perhiasan lainnya, sehingga suaminya tidak melirik wanita lain. Begitu pula ia harus membersikan dirinya, anak-anaknya, makananya, dan tempat tidurnya. Ia juga boleh berdandan dan berhias diri dengan emas dan perak, serta batu-batu permata tanpa ada syarat atau ikatan apa pun. Apabila suaminya mengajak bercampur, istri tidak boleh mengulur-ulur waktu meski hanya untuk sebentar, jika tidak ada uzur yang dibenarkan, seperti haid, nifas, sakit, atau karena sedang mengerjakan puasa wajib. Hal tersebut demi terlaksanaya sabda Rosulullah saw:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ فَبَاتَ غَضْبَانَ لَعَنَتْهَا المَلئِكَةُ حَتَّى الصُّبْحِ
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya pergi ke ranjang, dan istrinya menolaknya untuk mendatanginya, lalu suaminya marah semalaman, maka para malaikat akan mengutuk istrinya sampai subuh'' (HR.Bukhori).
Seperti halnya istri, suami juga diharuskan untuk berhias buat istrinya, dan untuk memuaskanya, seperti halnya ia berkewajiban untuk mengenyangkanya dengan makanan. Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya saya senang sekali berhias untuk istri saya, seperti saya juga senang jika istri saya berhias untuk diri saya."
[1] Mahmud al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT. Rosdakarya), 1994., hlm. 156.