Nahwu merupakan kumpulan kaidah-kaidah linguistik klasik bangsa Arab. Dalam perjalanannya, ilmu nahwu telah mengalami proses panjang dalam peletakan, perkembangan dan segala perdebatan. Menurut satu versi historis, ilmu nahwu untuk pertama kali muncul pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib lewat perantara Abu al-Aswad al-Dualy. Munculnya ilmu nahwu dilatarbelakangi oleh semakin meluasnya kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Arab menurut standar fasih, atau yang biasa kita sebut sebagai “Lahn”. Hal ini disebabkan kondisi sosial masyarakat Arab pada saat itu yang mulai bercampur dengan bangsa “Ajam” pasca meluasnya wilayah Islam ke negara-negara sekitar.
Dalam kitab Qawaid al-Asasiyah karangan Sayyid Ahmad al-Hasyimi misalnya, diriwayatkan bahwa putri Abu al-Aswad salah dalam mengucapkan shighat ta’ajub ketika melihat gemerlap bintang di langit. Kalimat yang seharusnya dipakai adalah “Ma ahsana as-sama” namun diucapkan rafa’ sehingga menjadi “Ma ahsanu as-sama”. Selain itu juga diriwayatkan kesalahan bahasa yang lain seperti seorang Ajam yang salah dalam membaca surat at-Taubah ayat 3. Pembacaan yang benar adalah dengan membaca rafa’ pada lafadz “Rasuluhu” dalam ayat “Innallaaha bariiun min al-musyrikiina wa rasuuluhu” namun orang ajam tersebut membacanya dengan jer. Sehingga makna yang dihasilkan sangat berbeda dan kontradiksi dengan makna asli yang dimaksudkan. Oleh karena itu ilmu nahwu dicetuskan dengan tujuan menjaga lisan dari kesalahan dalam pengucapan, baik dalam bahasa sehari-hari atau dalam pelafadzan ayat al-Qur'an.
Di setiap pesantren, ilmu nahwu merupakan mata pelajaran primer yang wajib dikuasai santri. Karena dengan ilmu ini, khazanah keilmuan Islam yang sangat luas dapat diselami secara mendalam. Jelas saja, keilmuan Islam dari zaman klasik sampai sekarang diwariskan dalam bentuk buku yang berbahasa Arab atau yang lebih populer disebut dengan “Kitab kuning”. Tanpa nahwu, seseorang tidak akan bisa membaca kitab kuning, sehingga wajar jika nahwu memperoleh julukan “Abu al-Ilmi” bersanding dengan sharaf sang “Ummu al-Ilmi”. Oleh karena itu, indikator keberhasilan santri dalam belajar ditandai dengan penguasaan terhadap gramatikal Arab ini.
Di sisi lain, kebanyakan santri sering mengeluh karena banyak hafalan yang harus disetorkan untuk memenuhi standar kompetensi yang dicanangkan pesantren, yakni nadzam-nadzam nahwu seperti Imrithy atau Alfiyah. Hal ini menyebabkan santri terkadang merasa jenuh dengan materi nahwu. Lebih dari itu, keberadaan nahwu mulai terpinggirkan karena santri-santri lebih menyukai diskusi teologi. Apalagi ketika seorang santri telah melewati tingkatan Alfiyah, nahwu serasa kurang penting dan menarik untuk dipelajari.
Filsafat itu penting
Perkembangan filsafat dari zaman klasik sampai dengan postmodern telah memberikan sumbangan tak ternilai untuk kelangsungan kehidupan manusia. Masa kejayaan dinasti Abbasiyah sendiri tidak lepas dari campur tangan filosof-filosof hebat. Misalnya, Ibnu Rusyd, Ibnu Shina, Ibnu Khaldun, Ibnu Razi, al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Karena dengan filsafat, manusia mampu menemukan hal yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin. Filsafat merupakan metode berfikir secara radikal dan sistematis yang melahirkan berbagai disiplin pengetahuan. Di masa dinasti Abbasiyah, para filosof Islam berhasil melahirkan temuan-temuan baru dalam bidang sains, dan teknologi. Sehingga nama-nama mereka masyhur sampai ke daratan Eropa. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Islam adalah kiblat pengetahuan dunia pada waktu itu.
Namun di kalangan pesantren, filsafat kurang begitu populer. Ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa filsafat selalu menyesatkan pemikiran agama. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenunya salah. Memang, al-Ghazali dalam kitabnya Tahafuth al-Falasifah membatasi filsafat dalam dimensi ketuhanan. Namun, perlu diketahui juga bahwa filsafat tidak hanya berkutat tentang masalah ketuhanan. Karena objek filsafat secara umum ada tiga macam. Yaitu ketuhanan (teologis), alam (kosmologis) dan manusia (antropologis). Jadi, meskipun tidak berfilsafat dalam wilayah sakral, setidaknya santri-santri bisa berfilsafat dalam wilayah profan, yakni alam dan manusia. Kesimpulannya, tidak ada alasan bagi santri untuk tidak berfilsafat. Oleh karena itu, pembelajaran filsafat untuk santri harus sesegera mungkin diselenggarakan.
Untuk mencapai tujuan ini tentunya tidak lepas dari kendala. Filsafat merupakan jenis keilmuan non agamis, jadi sangat tidak mungkin dimasukkan dalam kurikulum pesantren. Oleh karena itu diperlukan trik-trik khusus agar filsafat dapat diterima di pesantren, salah satunya adalah dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat. Hal ini sangat mungkin, karena pada dasarnya ada persamaan mendasar antara nahwu dengan filsafat, yaitu menggunakan penalaran.
Al-Jabiri dalam kitabnya Takwin al-Aql al-Araby mengatakan “Jika filsafat adalah mukjizat bagi bangsa Yunani, maka tata bahasa adalah mukjizat bagi bangsa Arab”. Dengan filsafat, pengetahuan yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dengan nahwu, pengetahuan yang awalnya belum dipahami menjadi terberdaya. Menurut penulis, nahwu harus “berselingkuh” dengan filsafat, meninggalkan sharaf. Sehingga dua mukjizat ini bisa bersinergi untuk menghasilkan pengetahuan baru dengan cara yang berbeda.
Nahwu feat Filsafat
Unsur pokok dalam nahwu adalah Isim, Fi’il dan Huruf. Karena ketiganya merupakan hal pertama yang ditetapkan dan disepakati di awal peletakan nahwu. Maka, ketiga kalimat inilah yang menjadi pondasi pokok agenda realisasi nahwu sebagai objek filsafat.
Dalam kategori derajat, Isim menempati urutan teratas, karena Isim bisa membentuk kalam tanpa adanya Fi’il dan Huruf. Isim adalah kalimat yang independen. Isim juga merupakan kalimat yang Qiyamuhu qinafsihi. Fakta lain, isim tidak terikat dengan waktu. Dan sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh Allah, sehingga dapat disimpulkan bahwa Isim adalah bentuk dari filsafat ketuhanan.
Sedangkan Fi’il menempati urutan kedua. Ini disebabkan karena Fi’il tidak bisa membentuk kalam sendirian tanpa adanya Isim. Ketiadaan isim berarti ketiadaan jumlah fi’liyah. Sebab lain, kalimat Fi’il merupakan cetakan dari Isim (mashdar). Fi’il juga terikat dengan waktu, sangat berbeda dengan Isim. Jika kita berfikir secara mendalam (radikal), maka kita akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa substansi Fi’il ada dalam alam. Karena alam tidak bisa berdiri sendiri. Alam juga merupakan hasil ciptaan Allah sang maha kuasa. Alam terikat dengan waktu sedangkan tuhan tidak. Adanya alam merupakan bentuk representasi bagi eksistensi tuhan. Fi’il merupakan simbol dari filsafat alam.
Yang terakhir adalah Huruf. Kalimat ini paling rendah derajatnya. Karena Huruf tidak bisa membentuk kalam tanpa adanya Isim dan Fi’il. Bahkan tanpa adanya kalimat lain, makna aslinya tidak bisa ditentukan. Sama halnya dengan manusia, yang eksistensinya akan dipertanyakan tanpa adanya tuhan dan alam. Jenis terakhir adalah filsafat kemanusiaan.
Harapan
Manusia tidak bisa mengukur keberadaan tuhan lewat dzat. Namun manusia bisa berfikir lewat ciptaannya untuk menemukan keberadaan tuhan. Nahwu bisa dijadikan argumentasi atas keberadaan tuhan, meski dalam wilayah sendiri. Isim, Fi’il dan Huruf merupakan sebuah gambaran kehidupan, dimana satu sama lain saling berkaitan dan tak terpisahkan. Penjelasan di atas hanya sebuah pengantar, dan belum mewakili secara keseluruhan. Dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat, selain akan melahirkan istilah baru, juga akan membuat santri lebih antusias dan tidak cepat bosan dengan materi nahwu yang disampaikan, serta media untuk memperkuat iman kita kepada allah SWT.
Berangkat dari sini, semoga pesantren bisa melahirkan kader-kader intelektual agamis yang mampu mengembalikan kejayaan Islam yang sekarang direbut bangsa barat. Tentu untuk merealisasikan hal tersebut tidaklah mudah. Namun, dengan kemauan yang keras, apapun bisa dilakukan. Harapan penulis adalah pesantren mampu menelurkan kader ummat layaknya Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Shina, dan al-Ghazali, yang sampai sekarang belum terwujud. Tasawuf yes, filsafat yes. Wallahu a’lam bi al-Shawab.