Khutbah Idul Adha
As-salaamu `alaikum wa rahmatullaah wa barakaatuh.
Al-hamdu li l-Laahi l-ladzii arsala rasuulahuu bi l-hudaa wa diini l-haqq, li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih, wakafaa bi l-Laahi syahiidaa.
Asyhadu an laa ilaaha illa l-Laah, wahdahuu laa syariikalah. Wa asyhadu anna muhammadan `abduhuu wa rasuuluh, al-ladzii laa nabiyya ba`dah.
Allaahumma shalli wa sallim wa baarik `alaa muhammad, wa `alaa aalihii wa shahbihii wa man waalah.
`Ibaada l-Laah, ittaqu l-Laaha haqqa tuqaatih, wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Laa ilaaha illa l-Laahu wa l-Laahu Akbar.
Allaahu Akbar wa li l-Laahi l-hamd.
Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah SWT,
Pada hari ini, tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh penjuru bumi, yang jumlahnya 1,5 miliar jiwa dan merupakan seperlima penduduk dunia, tersebar dari Maroko sampai Merauke, kini sedang merayakan Idul Adha. Kita sambut hari raya yang mulia ini dengan takbir dan tahmid. Kita agungkan kebesaran Allah, dan kita syukuri nikmat Ilahi. Sejak tadi malam, kalimah takbir dan tahmid menggema memenuhi angkasa, menyentuh rasa, menggugah jiwa, dan membangkitkan semangat pada lubuk hati setiap insan yang beriman kepada Allah SWT. Allahu Akbar! Maha Besar Allah! Selain dari Dia, kecil semuanya! Pada pagi yang cerah ini, kaum Muslimin dan Muslimat berbondong-bondong memenuhi lapangan, berbaris dalam susunan saf yang teratur rapi, menyatakan ruku’ dan sujud kepada Ilahi.
Pada hari yang mulia ini, di tengah gurun pasir Arabia, di suatu lembah bernama Mina, kini tengah berkumpul jemaah haji dari berbagai bangsa dan negara, dalam rangka menunaikan rukun Islam yang kelima. Kemarin, tanggal 9 Dzulhijjah, mereka telah melaksanakan puncak acara ibadah haji, yaitu wuquf atau berjambore di Padang Arafah. Tahun 1428 H sekarang ini, sekitar tiga juta saudara-saudara kita berdatangan dari segenap penjuru bumi, menempuh perjalanan darat yang melelahkan, mengarungi samudera luas bergelombang besar, dan menembus lapisan atmosfer berawan tebal, berdatangan ke tanah suci memenuhi panggilan Ilahi. LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. Kulan ya Gusti, kulan. Inilah saya ya Allah, inilah saya, datang memenuhi panggilan-Mu.
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Perintah mengerjakan haji tercantum dalam Surat Ali Imran ayat 97 yang berbunyi: Wa li l-Laahi `alaa n-naasi hijju l-baiti man istathaa`a ilaihi sabiilaa. Wa man kafara fa inna l-Laaha ghaniyyun `ani l-`aalamiin (“Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.”)
Panggilan Ilahi kepada manusia untuk berhaji sudah berlangsung ribuan tahun sebelumnya, sejak perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. sekitar 4000 tahun yang silam, sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Hajj ayat 27 dan 28: Wa adzdzin fi n-naasi bi l-hajj. Ya’tuuka rijaalan wa `alaa kulli dhaamir. Ya’tiina min kulli fajjin `amiiq, li yasyhaduu manaafi`a lahum (“Panggillah manusia untuk berhaji. Mereka akan mendatangimu dengan berjalan kaki dan dengan berkendaraan. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh, agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.”)
Ibadah haji dipenuhi oleh manasik-manasik (tatacara dan upacara) yang jika disadari dan dihayati akan menimbulkan rasa kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta rasa persatuan dan persaudaraan di kalangan sesama manusia. Para jemaah haji melakukan tawaf mengelilingi Ka`bah, meniru gerakan elektron-elektron yang bertawaf mengelilingi inti atom serta meniru gerakan planet-planet yang bertawaf mengelilingi matahari. Seluruh isi jagad raya, dari partikel-partikel penyusun materi sampai benda-benda langit, senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Allah yang mengatur mereka. Dengan melakukan ibadah tawaf yang melambangkan ketaatan alam semesta, diharapkan manusia sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka seharusnya tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan bumi. Firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 83: Afa ghaira diini l-Laahi yabghuun, wa lahuu aslama man fi s-samaawaati wa l-ardhi thau`an wa karhan wa ilaihi yurja`uun (“Apalagi yang mereka cari selain agama Allah, padahal kepadaNya telah tunduk-patuh segala yang di langit dan di bumi dengan rela atau terpaksa, dan kepadaNya mereka akan dikembalikan.”)
Dalam menunaikan ibadah haji, beraneka ragam umat manusia yang berbeda-beda warna kulit, bahasa dan adat-istiadat, semuanya memakai pakaian ihram yang sama, melakukan tatacara dan upacara yang sama. Di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata kecuali ketaqwaan mereka. Para jemaah haji melakukan wuquf di Padang Arafah, melakukan upacara gladi resik Padang Mahsyar di hari akhirat nanti, sekaligus melakukan reuni di tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari Taman Eden (Jannatun `Adn). Itulah sebabnya tempat itu dinamai Padang Arafah, artinya “Padang Pengenalan”, agar manusia menghayati persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13: Yaa ayyuhaa n-naas, innaa khalaqnaakum min dzakarin wa untsaa, wa ja`alnaakum syu`uuban wa qabaa’ila li ta`aarafuu. Inna akramakum `inda l-Laahi atqaakum. Inna l-Laaha `aliimun khabiir (“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi.”)
Dengan penegasan Allah SWT ini maka segala bentuk diskriminasi tidak mendapat tempat dalam masyarakat Islam. Agama Islam menentang habis-habisan faham rasialisme dan chauvinisme. Para penganut faham rasialisme memiliki rasa keunggulan ras dengan merendahkan ras-ras lainnya. Inilah yang dipraktekkan oleh bangsa Yahudi dan kaum Nazi, atau yang diperbuat oleh orang Amerika terhadap Indian dan Negro, atau seperti pernah dilakukan orang kulit putih di Afrika Selatan dengan politik apartheidnya terhadap kulit berwarna. Yang identik dengan faham rasialisme adalah faham chauvinisme, yaitu faham kebangsaan yang sempit dan fanatik sehingga menganggap bangsanya lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain. Faham inilah yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme, penjajahan bangsa atas bangsa, serta menyeret manusia ke dalam dua kali Perang Dunia.
Adapun ajaran Islam sejak semula meniadakan dinding rasial dan jenis manusia lalu mengembalikan manusia itu kepada asal yang satu. Semua manusia berhak untuk berhimpun di bawah perlindungan ajaran Islam tanpa memandang warna kulit dan asal-usul keturunan, bahkan juga tanpa memandang agama dan keyakinan. Islam tidak mengenal batas teritorial, sebab bumi seluruhnya kepunyaan Allah dan segala isinya disediakan Allah untuk manusia. Namun hal ini tidaklah berarti Islam menghapuskan idea nasionalisme. Menurut Surat Al-Hujurat ayat 13 tadi, adanya manusia berbangsa-bangsa adalah kehendak Allah. Dalam ajaran Islam faham nasionalisme dipelihara dengan makna yang baik, yaitu bersatu untuk mencapai tujuan bersama dari seluruh anggota bangsa itu, serta menjalin hubungan baik dan saling membantu dengan bangsa-bangsa lain.
Allahu Akbar, wa lillahil-hamd.
Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah SWT,
Pada hari raya Idul Adha yang bersejarah ini, kita juga mengenang Peristiwa Qurban yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim a.s. dan putra beliau, Nabi Isma`il a.s. Kita mengenang peristiwa itu sebagai lambang puncak ketaqwaan dan kesabaran.
Perintah Allah kepada hambaNya, Ibrahim, bukanlah perintah untuk menyembelih hewan sembelihan, melainkan perintah untuk menyembelih anak kandungnya sendiri, yaitu pemuda Isma`il yang baru berusia 13 tahun dan sangat dikasihi oleh sang ayahanda. Di samping sebagai anak kesayangan, Isma`il merupakan anak satu-satunya bagi Ibrahim saat itu (sebab Ishaq belumlah lahir pada saat perintah Allah itu datang). Isma`il merupakan anak yang diperoleh Ibrahim pada hari tuanya, melalui doa demi doa yang dipanjatkan Ibrahim dalam jangka waktu yang lama, dengan maksud agar memperoleh keturunan yang akan melanjutkan penyebaran ajaran Allah. Isma`il, seorang anak yang dibesarkan dan dididik secara sempurna sehingga tumbuh menjadi pemuda yang hampir tiada cacat dari segala aspeknya, kini diperintahkan untuk disembelih oleh tangan ayahnya sendiri.
Sungguh suatu cobaan yang amat sangat berat bagi seorang ayah, kita dapat merasakan dan membayangkannya. Namun karena yang memerintahkan itu adalah Allah, maka perintah penyembelihan itu disanggupi Ibrahim tanpa ragu-ragu. Ketika perintah Allah itu disampaikan oleh Ibrahim kepada sang anak, dan ketika Isma`il ditanyai pendapatnya oleh sang ayah, maka Isma`il yang masih dalam usia remaja itu menjawab: Yaa abati ‘f`al maa tu’mar. Sa tajidunii insyaa’a l-Laahu mina sh-shaabiriin (“Wahai ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah, ayah akan mendapatiku sebagai anak yang shabar.”) (As-Shaffat 102)
Maka Ibrahim membawa Isma`il ke daerah Mina, ke suatu bukit yang kini disebut Jabal Qurban. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk membatalkan niatnya, dan tiga kali pula Ibrahim menolak rayuan Iblis dengan lontaran kerikil. Penolakan terhadap godaan syaithan ini diabadikan Allah berupa syari`at melontar tiga jumrah di Mina bagi para jemaah haji. Setelah Isma`il direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang ayahnya telah siap hendak menyentuh lehernya, maka ketika itu Allah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana berfirman agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba yang besar. Firman Allah SWT: Inna haadzaa la huwa l-balaa’u l-mubiin, wa fadainaahu bi dzibhin `azhiim (“Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar.”) (As-Shaffat 106 – 107)
Peristiwa Qurban ini melukiskan perpaduan keinginan yang teguh dari ayah dan anak, generasi pendahulu dan generasi penerus, yang sama-sama menempatkan pengabdian dan ketaatan kepada Allah di atas segala-galanya. Peristiwa Qurban ini menggambarkan sifat keteguhan iman, ketabahan hati serta kerelaan berkorban, yang dilandasi sikap menumpahkan kecintaan hanya kepada Allah semata-mata. Istilah ‘qurban’ berasal dari kata sifat qarib (dekat) dan kata kerja qaraba (mendekat). Pengertian ini erat hubungannya dengan proses taqarub, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. “Mendekat” artinya “memperkecil jarak”, dan hal ini akan terlaksana jika seseorang memiliki kecintaan apa yang akan dia dekati. Tanpa adanya rasa cinta, tidak mungkin kita tergerak untuk mendekati sesuatu. Oleh karena itu ibadah qurban merupakan manifestasi kecintaan yang luhur kepada Sang Maha Kekasih, yaitu Allah SWT.
Setelah melaksanakan shalat Idul Adha, kita diperintahkan Allah untuk menyembelih hewan qurban, kemudian sebagian dagingnya boleh kita ambil dan sebagian yang lebih banyak kita bagikan kepada kaum fakir miskin di sekitar kita. Menyembelih hewan qurban, di samping untuk menunjukkan ketaatan kepada Allah, juga untuk menyatakan rasa syukur kita atas segala nikmat kurnia yang senantiasa dilimpahkan Allah kepada kita.
Sudah tentu Allah tidak akan menerima daging dan darah hewan yang kita sembelih, seperti tradisi sesajen dalam kebudayaan primitif, tetapi ketaqwaan yang mendorong kita berqurban itulah yang akan diterima oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam Surat Al-Hajj ayat 37: Layyanaala l-Laaha luhuumuhaa wa laa dimaa’uhaa, walaakin yanaaluhu t-taqwaa minkum. Ka dzaalika sakhkharahaa lakum, li tukabbiru l-Laaha `alaa maa hadaakum, wa basysyiri l-muhsiniin (“Daging dan darah qurban itu takkan sampai kepada Allah, melainkan taqwa kalian yang sampai kepadaNya. Demikianlah Allah menyediakan daging qurban itu bagi kalian, agar kalian mengagungkan Allah atas segala petunjukNya kepada kalian, dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”)
Semangat dan kerelaan berqurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma`il a.s. hendaklah menjiwai sikap hidup kita, sehingga kita dapat menunaikan perintah Allah untuk berjuang dijalanNya dengan amwal wa anfus (harta dan potensi diri). Marilah kita jadikan Idul Adha sekarang ini sebagai momen penggugah kesadaran kita untuk secara bersama-sama mencurahkan pikiran, tenaga dan dana untuk membantu saudara-saudara kita yang saat ini tengah dilanda berbagai kesulitan hidup, misalnya tertimpa bencana alam atau pun yang putra-putrinya tidak dapat bersekolah karena kekurangan biaya.
Mudah-mudahan rasa persaudaraan di antara seluruh anggota masyarakat senantiasa terealisasi dengan perbuatan nyata, sehingga kita menjadi pribadi-pribadi taqwa, yaitu orang-orang yang “memberikan apa yang dia miliki untuk mensucikan diri, meski tidak seorang pun menganugerahinya balas jasa, melainkan semata-mata mencari Wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan pasti dia akan memperoleh ridha” (Al-Lail 18–21).
Allahu Akbar wa Lillahil-hamd.
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Sudah lebih dari seperempat abad kita berada pada abad ke-15 Hijriyah, dan sudah tujuh tahun kita menginjak abad ke-21 Masehi. Dengan penuh optimisme kita kaum Muslimin mendambakan agar alaf (millennium) ketiga ini merupakan Zaman Kebangkitan Kembali Peradaban Islam. Kalau kita meninjau perjalanan sejarah, dari abad ke-7 sampai ke-15 Masehi (abad ke-1 sampai ke-9 Hijriyah) umat Islam memimpin peradaban dunia. Universitas-universitas Islam di Baghdad, Qahirah (Cairo) dan Qurthubah (Cordova) merupakan tempat menuntut ilmu pengetahuan mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru, termasuk dari Eropa yang waktu itu masih berada dalam kebodohan. Kekuasaan Islam di bidang politik membentang dari Spanyol sampai Xinjiang, serta umat Islam menguasai bidang ekonomi dan perdagangan dari Mediterrania sampai Nusantara.
Sejak abad ke-16 Masehi atau ke-10 Hijriyah, Dunia Islam perlahan-lahan meluncur ke lembah kemunduran. Sementara itu bangsa-bangsa Eropa yang tadinya belajar ilmu kepada umat Islam mengambil alih supremasi tersebut, sehingga akhirnya pada abad ke-19 Masehi atau ke-13 Hijriyah, sebagian besar Dunia Islam berada dalam penjajahan bangsa-bangsa Eropa.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT, Dunia Islam pada abad ke-20 Masehi atau ke-14 Hijriyah bangkit dari tidurnya yang nyenyak, bergolak memutuskan belenggu penjajahan. Jika pada hari ini kita membuka peta dunia, maka kita melihat suatu bagian wilayah bumi yang sangat strategis dan sambung-menyambung menjadi satu. Itulah Dunia Islam, yaitu wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, meliputi 58 negara, hampir sepertiga dari total jumlah negara di dunia, membentang dari Maroko sampai Merauke, melintang dari Chechnia sampai Tanzania.
Sudah banyak diakui para ilmuwan dan cendekiawan di dunia ini bahwa peradaban Barat (Western civilization) sekarang sudah sampai kepada “jalan buntu”. Perkembangan ekonomi dan teknologi yang mengikis habis sumber daya alam dan mencemari lingkungan hidup serta tujuan hidup yang konsumtif dan materialistis, telah menyebabkan umat manusia rindu terhadap nilai-nilai keruhanian atau spiritual. Sejarawan terkenal Prof.Dr. Arnold Toynbee pernah mengemukakan bahwa Islam is the future wave of the world, and the Islamic revival is a historical necessity (“Islam merupakan gelombang dunia masa depan, dan kebangkitan kembali Islam adalah suatu keharusan sejarah”). Itulah sebabnya di berbagai belahan dunia yang sudah makmur dari segi kehidupan dunia, terutama di Eropa dan Amerika, makin banyak orang yang memeluk agama Islam. Majalah termasyhur di dunia, National Geographic, edisi Januari 2002 dalam artikel berjudul “The World of Islam”, mengomentari Islam sebagai the fastest growing and most misunderstood religion on earth, lalu mengemukakan data bahwa pemeluk Islam di Amerika Serikat kini sudah mencapai enam juta orang.
Memang kita umat Islam harus senantiasa optimistis dengan masa depan Islam yang gemilang, dengan berpedoman kepada wahyu Allah bahwa wa la l-aakhiratu khairun laka mina l-uulaa (“sungguh masa depan akan lebih baik bagimu daripada sekarang”)(Surat Ad-Dhuha) serta inna ma`a l-`usri yusraa (“sesungguhnya masa kesukaran akan diikuti masa kemudahan”)(Surat Al-Insyirah). Akan tetapi janganlah kita terbuai oleh mimpi-mimpi indah, sehingga kita melalaikan tugas kita untuk mencerdaskan dan memajukan umat. Kita jangan mengharapkan terjadinya mukjizat ke arah kemajuan Islam tanpa jihad (perjuangan) dan sa`i (usaha) yang bersungguh-sungguh dari umat Islam itu sendiri. Salah satu hikmah yang terkandung dalam ibadah sa`i yang dilakukan jemaah haji adalah bahwa ternyata Allah SWT baru menganugerahkan air zamzam setelah Siti Hajar melakukan sa`i (usaha) secara maksimal. Sungguh Maha Benar firman Allah dalam Surat An-Najm ayat 39 dan 40: Wa an laisa li l-insaani illaa maa sa`aa, wa anna sa`yahuu saufa yuraa (“Manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali yang diusahakannya, dan apa yang diusahakannya itu akan dia lihat hasilnya.”)
Allahu Akbar wa lillahil-hamd.
Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah SWT,
Allah SWT telah menakdirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang umat Islamnya paling banyak di muka bumi. Suatu hal yang sering dilupakan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah adalah kenyataan dan fakta-fakta tak terbantah bahwa agama Islam telah menanamkan benih-benih integrasi di kalangan suku-suku di Nusantara, yang buahnya kita nikmati hari ini berupa “Persatuan Indonesia” yang sering kita banggakan. Setelah Islam tersebar di Nusantara, mulailah berlangsung persaudaraan dan pembauran antar suku yang belum pernah ada sebelumnya. Baru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an bahwa “sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”.
Sebagai contoh, Fatahillah dari Pasai menjadi panglima balatentara Demak, lalu mendirikan kota Jakarta. Ki Geding Suro dari Demak mendirikan Kesultanan Palembang. Syaikh Yusuf dari Makassar menjadi mufti Kesultanan Banten. Beberapa sultan Aceh adalah orang suku Melayu dan Bugis, bahkan ada yang keturunan Arab! Masih banyak lagi contoh yang lain. Pada zaman pra-Islam hal ini belum pernah terjadi, sebab belum ada rasa persaudaraan antar suku. Itulah sebabnya mengapa di Bandung ada Jalan Diponegoro dan Jalan Sultan Agung, tapi tidak kita jumpai Jalan Gajah Mada!
Berabad-abad sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali ditanamkan oleh Islam. Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman dahulu: Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (Pansur), Syaikh Abdussamad al-Jawi al-Falimbani (Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten), Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari (Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi (Sumbawa), Syaikh Yusuf al-Jawi al-Maqashshari (Makassar), dan lain-lain. Semua mengaku Jawi (‘bangsa Jawa’), dari suku mana pun dia berasal. Berabad-abad sebelum istilah ‘Indonesia’ diciptakan oleh ahli geografi James Richardson Logan tahun 1850, nenek moyang kita menamakan diri ‘bangsa Jawa’, sebab orang Arab sejak zaman purba menyebut kepulauan kita Jaza’ir al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji kita masing sering dipanggil ‘Jawa’ oleh orang Arab. “Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh Jawi!” demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah. “Sumatera, Sunda, Sulawesi, semuanya Jawa!”
Sebelum Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran Islam. Para ulama, di samping memperkenalkan agama baru, juga memperkenalkan bahasa baru sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf persatuan digunakan Huruf Arab-Melayu, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi yang tidak ada dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain diberi tiga titik menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya; huruf jim diberi tiga titik menjadi ca; dan huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari Aceh sampai Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.
Dari seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan Islam dalam melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan” itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya di seantero penjuru kepulauan tanah air kita.
Ada baiknya kita renungkan firman Allah dalam Surat Alu Imran ayat 102: “Dan berpegang-teguhlah kamu sekalian (wahai bangsa Indonesia) kepada tali Allah bersama-sama, dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan selalu ingatlah nikmat Allah atas kamu sekalian, ketika dahulunya kamu bermusuhan (antara Majapahit-Jawa dan Pajajaran-Sunda yang bertetangga saja merasa berbeda bangsa), maka Dia mempersatukan di antara hati kamu sekalian (dengan datangnya Islam ke Nusantara), sehingga jadilah kamu dengan nikmat-Nya satu bangsa yang bersaudara.”
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Akhirnya, marilah kita memanjatkan doa kepada Allah `Azza wa Jalla. Semoga Dia berkenan mengabulkan segala permohonan kita.
Allahumma Ya Rabbana, telah banyak Engkau berkahi kami dengan rahmat karunia-Mu, namun kami sering menganiaya diri kami sendiri. Betapa banyak sudah dosa yang kami lakukan, sehingga kami malu berdoa kepada-Mu. Namun, kemana lagi kami harus mengadu dan memohon ampun Ya Allah, kecuali hanya kepada-Mu. Kami tidak putus harapan mengadu pada-Mu. Kami tidak letih meminta dan mengharap pada-Mu. Betapapun besarnya kesalahan dan dosa kami, maaf dan ampunan-Mu meliputi segala sesuatu.
Karena itu Ya Allah, ampunilah segala dosa kami, hapuskanlah segala kesalahan kami, bersihkan hati dan jiwa kami, indahkan akhlaq dan kelakuan kami, sambungkan kembali persaudaraan di antara kami, angkatlah bangsa kami Ya Allah dari jurang kehinaan, berilah kami pemimpin yang mampu membimbing kami ke arah kebaikan, dan tunjukkan bagi kami jalan keselamatan dunia dan akhirat agar kami tidak tersesat. Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Kabulkanlah doa permohonan kami.
Allaahumma innaa nas’aluka l-`afwa wa l-`aafiyah, wa l-mu`aafaata d-daa’imah, fi d-diini wa d-dunyaa wa l-aakhirah, wa l-fauza bi l-jannah, wa n-najaata mina n-naar.
Allaahumma innaa nas’aluka muujibaati rahmatik, wa `azaa’ima maghfiratik, wa s-salaamata min kulli itsm, wa l-ghaniimata min kulli birr, wa l-fauza bi l-jannah, wa n-najaata mina n-naar.
Allaahumma innaa nas’aluka iimaanan kaamilaa, wa yaqiinan shaadiqaa, wa `ilman naafi`aa, wa rizqan waasi`aa, wa qalban khaasyi`aa, wa lisaanan dzaakiraa, wa halaalan thayyibaa, wa taubatan nashuuhaa, wa taubatan qabla l-mauut, wa raahatan `inda l-mauut, wa maghfiratan wa rahmatan ba`da l-mauut, wa l-`afwa `inda l-hisaab, wa l-fauza bi l-jannah, wa n-najaata mina n-naar.
Rabbanaa aatinaa fi d-dunyaa hasanah, wa fi l-aakhirati hasanah, wa qinaa `adzaaba n-naar,wa adkhilna l-jannata ma`a l-abraar, yaa `aziiz, yaa ghaffaar, yaa rabba l-`aalamiin.
Wa s-salaamu `alaikum wa rahmatu l-Laahi wa barakaatuh