Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah”
diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu,
tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang
ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam
untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat
kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam
dirinya: “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka
jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam
air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut
tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan
karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan
tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus
air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap
arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan
bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau
berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!).
Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru
ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah
kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari
hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi
kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula
dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia.
Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di
sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala
pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab
yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam
lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat
berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam.
Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum”
atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah
contohnya:
Bersatu kita terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’berarti
tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga
kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak
mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di
antara bangsa dan umat lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah”
(Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus
memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il
(aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan
tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak
berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya
orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan
katakanlah (hai Muhammad): Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan
kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il
(mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat
derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia
menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita
dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat
tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan
para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan
hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus
Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di
jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para
pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut
nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu
saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh
sejarah.
3. Mubtada (pioneer),
orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya
di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia
adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang
siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya
pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi)
itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu
komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak
ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak
mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun
buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak
itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5. Tawabi’ Marfu’
(Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar
tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka
yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah
berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda
(kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di
sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat
tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh
bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan
mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan,
tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap
dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau
bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh
Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa
suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala
sedang menyantap makanan. Para sahabat
bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab:
“Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian
seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh
kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian
penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan
penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang
diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang
pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di
antara sesama ummat Islam.
Di
samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan
terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam
yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar
(faktor yang menyeret-menyeretnya) . Karena itu, hendaknya ummat Islam
selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera
terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika
ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai
keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan
lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah).
Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah
untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya.
Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجر لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan
Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya
Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam
bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang
berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak,
bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang
kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka
ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini
terletak pada bersusah payah.
Bahkan
al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di
tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan,
cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
فاذا فرغت فانصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun).
Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan
merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar
seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami
kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak
mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita
agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat
ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu
pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya”
(Ar Rum: 21).
Wallahu’alam