Puasa Bayi (Baby Fasting)

Puasa bayi Dalam surat Albaqarah ayat 183 disebutkan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang beriman. Menurut Prof Dr Quraish Shihab, dalam ayat tersebut objek perintah puasa, yaitu orang-orang beriman, diungkapkan dengan menggunakan kata kerja ''-aamanuu'' dan bukan menggunakan kata benda atau isim faa'il ''mu-minun'', ini menunjukan bahwa puasa itu diwajibkan bagi mereka yang sedang berupaya menyempurnakan imannya, dan bukan hanya mereka yang sudah sempurna keimanannya. Karenanya, puasa tidak hanya menjadi bukti keimanan seseoang tapi juga menjadi media untuk menguji dan memperkuat iman seseorang. Ini mengasumsikan bahwa puasa memang bukan ibadah yang mudah untuk dijalani.

Menjalankan puasa merupakan sebuah tantangan. Banyak disebutkan bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan haus saja yang terasa berat, tapi yang dianggap lebih berat adalah menahan diri dari emotional outburst atau ledakan emosi. Mungkin saja bagi umat Muslim Indonesia demikian. Namun bagi mereka yang menjalani puasa dinegara-negara yang memiliki banyak musim, dan kebetulan bulan Ramadhan jatuh pada musim panas, menahan makan dan minum bisa menjadi tantangan yang tidak mudah. Bayangkan saja, dibeberapa negara di Amerika Utara, misalnya, puasa misalnya pukul 4 pagi sampai 8 malam. Belum lagi mereka di tengah-tengah mayoritas masyarakat non muslim, meskipun tidak ada larangan, tentu saja tingkat kesulitan dan tantangan dari sisi itu menjadi berlipat.
https://aang-zaeni.blogspot.com/2014/12/puasa-bayi-baby-fasting.html

Puasa dinegeri orang ternyata tidak mudah. Namun pernahkah kita membayangkan bagaimana dengan orang asing nonmuslim yang berada di Indonesia selama bulan Ramadhan?... Kawan saya bercerita tentang pengalamannya bekerja bareng dengan orang asing saat puasa. Dia bercerita, suatu siang, kawannya orang asing itu memijat-mijat kepalanya seperti sakit. Rupanya dia belum makan apa-apa darp pagi. Ketika ditanya mengapa, dia bilang dia ikut ''puasa'' untuk menghormati kawan-kawannya yang puasa. Ketika disarankan untuk makan saja, dia tetap menolak dengan alasan dia merasa tidak nyaman untuk makan di tengah-tengah mereka yang sedang berpuasa. Ada lagi  kawan warga asing yang saat itu ikut dalam sebuah pertemuan sambil buka bersama. Saat adzan Maghrib berkumandang, dia terlihat semangat juga berbuka seperti kawan-kawan lain yang berpuasa. Rupanya dia seharian juga tidak makan. Walaupun dia bilang puasa, ia juga masih minum air putih, karena takut dehidrasi. Saya senang ikut puasa untuk menghormati kawan-kawan yang berpuasa, tapi saya hanya bisa melakukan baby fasting (puasa bayi).

Saya kira istilah baby fasting ini sangat menarik untuk direnungkan. Ada dua makna yang bisa ditarik dari istilah ini. Pertama, istilah ini bermakna puasa yang secara kualitas, tingkat kemampuan' dan kesanggupannya masih tingkatan bayi, belum dewasa. Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya 'Uluumiddin mengategorikan puasa seperti ini sebagai puasa tingkat awam, yaitu puasa yang hanya dimaknai sekedar menahan lapar, dahaga, dan nafsu birahi. Ini adalah kategori terendah setelah puasa khawasul khawas dan khawas. Ada baiknya setelah ini kita introspeksi diri, jangan-jangan puasa kita selama ini masih bersifat baby fasting. Sebab kalaupun tidak makan dan minum, berapa sering kita tidak mampu menahan hawa nafsu dalam ucapan dan tindakan? Berapa banyak ucapan yang telah dilontarkan yang membuat tidak nyaman dan menyakiti? Berapa sering gerak-gerik dan tindakan kita membuat orang lain merasa sakit hati, marah dan tersinggung selama berpuasa?  Puasa bayi seperti inilah mungkin yang dalam suatu hadits disinyalir sebagai ibadah puasa, tapi yang mengerjakannya tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan haus saja. Kedua, kata baby atau bayi dalam istilah diatas merujuk pada tindakan yang dilakukan tanpa disadari oleh pengetahuan atau hanya sekedar meniru. Menurut filosof Aristoteles, meniru itu merupakan salah satu insting yang dimiliki manusia mendapatkan rasa senang dari meniru atau imitasi (mimesis) ini. Sampai-sampai manusia dianggap sebagai mahkluk yang banyak meniru, the most imitative living creatures.

Manusia secara alamiah dianugerahi dorongan untuk mencipta atau membuat (create) dan membuat kembali (re-create) sesuatu yang merepresentasikan realitas atau alam. Maka lihatlah, bayi akan makan, minumdan berbicara melalui proses meniru ibunya. Sesungguhnya insting mimetic inilah yang mendorong lahirnya beragam karya seni seperti sastra, drama, lukisan, film dan lain-lain. Oleh karena pada dasarnya semua karya itu merupakan tiruan atau representasi dari realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam konteks imitasi inilah, istilah ''puasa bayi'' dapat dimaknai sebagai puasa yang dilakukan hanya karena mengikuti kebiasaan yang ada di lingkungan sekitarnya.

Berpuasa bukan karena ingin mensucikan diri, meningkatkan kualitas iman, atau menjalankan perintah agama, tapi karena orang disekitarnya berpuasa, dan jikalau dia tidak, akan merasa tidak enak dan risih. Dengan alasan seperti ini, maka tak heran kalau antara puasa dan kualitas keimanan serta kesalehan tindakan tak ada kaitannya. Puasa, tapi masih mengggunjing, memfitnah, tawuran, mencelakai orang, mencuri, berbuat sewenang-wenang, bahkan menghilangkan nyawa orang lain ataupun dirinya sendiri. Persoalannya adalah Apakah puasa kita selama beberapa hari ini masih masuk kategori puasa ini?... Kalau jawabannya Ya, tidak perlu berkecil hati. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Semoga kita diberi petunjuk dan kekuatan untuk belajar menjadi lebih baik. Wallaahu 'Alamu Bishshawwaab

Subscribe to receive free email updates: