<Materi Khutbah Jumat Maulid Nabi Muhammad SAW: Tauladan Sifat Kerasulan Bagi Kepemimpinan Aparatur Negara> Setiap jatuhnya tanggal 12 Rabiul Awal umat Islam selalu merayakan datangnya maulid Nabi Muhammad SAW. demikian itu tidak lain merupakan sebuah warisan budaya atau peradaban Islam yang diperingati secara turun-temurun oleh umatnya. Jika dikaji dari catatan historis (tarekh), maulid telah dimulai sejak zaman Kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah binti Muhammad. Asal muasal pelaksanaan perayaan maulid ini dilaksanakan atas usulan panglima perang bernama Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran (mulud) Nabi Muhammad SAW. Ending dari perinagatan itu adalah untuk mengembalikan semangat juang umat Islam dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Zionis Yahudi. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara subtansial dapat dikatakan perayaan maulid nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan ketauladanan Nabi Muhammad SAW. atas risalah kerasulan untuk menyiarkan Dinul Islam.
Baca Juga > Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
> Naskah Singkat Maulid Nabi Muhammad SAW dan Kebangkitan Ummat
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam catatan sepanjang sejarah kehidupan, Nabi Muhammad SAW. adalah pemimipin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan tauladan agung bagi umatnya. Dalam konteks ini maulid harus juga diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat Islam. Yaitu sebagai semangat baru (spirit) untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokratisasi seperti adanya sikap toleransi (tasamuh), transparansi (tabligh), anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan hidup, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah sosiologis antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW. dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi satu sama liannya.
Dimensi pertama, dapat dilihat dan dipahami dari perspektif sosial-politik ke-Islaman (siasyah syariah), bahwa Nabi Muhammad SAW. di samping sebagai nabi dan rasul juga sebagai imamul ummah dari sini beliau sebagai sosok politikus ulung dan handal. Sosok individu beliau yang sangat identik sekali dengan sosok seorang pemimpin yang adil, egaliter, toleransi, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial bangsa Arab masa itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera, damai dan tentram di bawah ampunan Rabb (baldatun thayyibatun warabbun ghafuur).
Dimensi kedua, dapat dilihat dan dipahami dari perspektif teologis-religius, bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai sosok nabi sekaligus juga sebagai rasul akhiruzaman dalam tatanan konsep ke-Islaman. Hal ini beliau diposisikan sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang misi utamanya adalah bertugas membawa, menyampaikan, dan mengaplikasikan segala bentuk pesan suci (kudus) dari Tuhan kepada umat manusia secara universal.
Nah dalam kesempatan ini rasanya sudah datang saatnya bagi umat Islam untuk kembali memulai (merekonstruksi) memahami arti tanggal 12 Rabiul Awal yang sering disebut maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik ke-Islaman semata, namun jauh dari itu sesungguhnya menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin yang membawa spirit reformasi dan restorasi menuju perubahan dalam tataran kepemimpinan umumnya dan kepemipinan peradilan khususnya dalam rangka menuju peradilan yang agung. Karena bukan menjadi rahasia lagi bila saat ini bangsa ini sedang membutuhkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana yang pernah dipraktekan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk seluruh umat manusia (rahmatan linnas). Sehingga kontekstualisasi maulid tidak lagi dipahami dari perspektif ke-Islaman semata, melainkan juga harus dipahami dari berbagai perspektif dan dimensi yang menyangkut segala persoalan dalam kehidupan umat manusia, seperti aspek persoalan penegakkan hukum, politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, maupun agama.
Ketauladan Bersumber dari Sifat Kerasulan bagi Seorang Pimpinan
Ketika mengingat sosok Nabi Muhammad SAW. terutama disaat maulid setiap tahun sering diceritakan spektrum tentang latar belakang biografi beliau serta perjalanan hidup dalam memipin umatnya. Sehingga wajar ada yang semakin rindu dengan sosok beliau, apalagi ditengah kedangkalan akhlak serta budi pekerti yang merosot saat ini (dekadensi moralitas), merindukan sosok pemimpin sebagaimana sosok bijaksana dari Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan itu masyarakat sedang membutuhkan dan mengidamkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif.
Salah satu sikap mulia yang lekat dan yang paling menonjol dengan kepribadian Nabi Muhammad SAW. adalah “shiddiq” (kejujuran, integritas). Dengan sifat ini diganjar dengan julukan al Amin oleh masyarakat setempat, baik pengikutnya maupun yang memusuhinya. Selain bakat kepemimpinan yang menonjol, sejak usia belia beliau sudah terlibat gerakan moral Hilful Fudul atau sumpah keutamaan. Sebuah gerakan demi membela rasa keadilan dan kebenaran terhadap siapapun dan dalam kondisi apapun. Jujur dan berani menanggung risiko, itulah warisan mulia kepemimpinan nabi yang mestinya ditauladani para pemimpin dan elite di negeri ini umumnya dan khususnya pimpinan peradilan. Faktanya, kadangkala amat susah menemukan elite negeri ini bersikap dan berperilaku mencontoh kepemiminan nabi. Rasanya untuk menemukan sebuah arti kejujuran saja misalnya sudah sulit, tak obahnya sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Padahal kejujuran dari ungkapan kata-kata saja belum cukup memadai untuk menjadi modal bagi pemimpin. Fakta sulitnya menemukan kejujuran itu berbanding terbalik dengan anjuran meneladani sikap dan perbuatan nabi. Di corong mimbar-mimbar maupun dalam teks-teks tulisan, hampir saban waktu mendengar para pemimpin dan penganjur mengajak untuk mencontoh sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang dijumpai akhir-akhir ini justru kian lekatnya hipokrisi atas fakta yang sudah telanjang. Kadangkala masyarakat masih saja dipertunjukkan bahwa kejujuran masih terus dikalahkan oleh kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek, kebenaran hukum telah dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat, hukum telah dijungkarbalikan oleh kemauan elit politik sehingga hukum tidak lagi menjadi panglima.
Menjadi seorang pemimpin yang katanya menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai tauladan terdepan sudah seharusnya berani pula mengambil segala risiko dan bertanggungjawab atas segala akibat kepemimpinan. Bukan justru malah sebaliknya buang badan dan melemparkan tanggung jawab itu kepada anak buah, tepatlah dikatakan oleh orang bijak “ibarat lempar batu sembunyi tangan”. Bukan pula pemimpin yang gemar menyebut orang lain telah memfitnahnya padahal yang hendak disuarakan oleh orang itu adalah kebenaran sesungguhnya, atau justru malah tidak tahu akan kebijakan yang telah diperbuat oleh bawahannya sehingga lepas tanggung jawab ketika muncul persoalan. Maulid nabi bukan sekadar peringatan untuk seruan dan ajakan, maulid nabi merupakan momentum untuk merenung dan mulai berbuat sesuai apa yang diajarkan dan diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk para pemimpin di negeri ini, maulid nabi seyogianya menggerakkan hati nurani terbentuk pola diri untuk jujur, berani mengambil risiko, dan bertanggungjawab atas akibat dari kepemipinannya.
Sifat shiddiq artinya benar, bukan hanya sekedar perkataannya saja yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar, sehingga antara perbuatan sama dengan ucapannya. Jangan sampai pemimpin yang hanya kata-katanya yang manis di mulut, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Nabi Muhammad SAW. merupakan satu sosok figur yang sangat mempesona, sopan dalam bertutur kata, jujur manakala bicara sepanjang hayatnya, tidak pernah berdusta serta luhur budi pekertinya. Hal inilah yang membuat orang-orang terkagum-kagum kepada beliau bahkan dari dulu sampai saat ini semua orang di penjuru dunia mengagumi profil beliau, memiliki integritas kepribadian yang sangat luar biasa. Beliau mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umatnya tanpa membedakan atau memandang seseorang dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan tertentu. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat sekalipun atau orang yang tidak suka kepadanya.
Eksistensi sifat shiddiq, memiliki pengertian bahwa pemimpin selalu dianggap berada dalam tataran slogan kebenaran dan jujur dalam ucapan dan perbuatannya. Segala sesuatu yang diucapkan jangan pernah ada punya tendensuis pribadi atau didasari oleh interest dan emosional pribadi, tetapi semua yang diucapkan oleh didasari atas panduan bisikan hati nurani. Integritas adalah sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika kepemimpinan, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan, yang menganggap konsistensi internal sebagai suatu kebajikan, dan menyarankan bahwa pihak-pihak yang memegang nilai-nilai yang tampaknya bertentangan harus account untuk perbedaan atau mengubah keyakinan mereka. Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain memiliki integritas sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Integritas (shiddiq) seorang penegak hukum adalah landasan penting dari setiap sistem berdasarkan supremasi dan objektivitas hukum.
Menurut Burt Nanus dalam “The Seven Keys to Leadership in a Turbulent World”, integritas itu dimana seorang pemimpin berlaku fair, jujur, terpecaya, peduli, terbuka, loyal, dan punya komitmen yang tinggi. Melakukan yang benar dalam pekerjaan adalah benar (haq) meskipun orang lain tidak melakukannya, sedangkan melakukan yang salah (bathil) adalah tetap salah meskipun orang lain melakukannya. Disinilah seorang pemimpin dituntut untuk memiliki moralitas yang tinggi dalam menjalankan kepemimpinannya. Karena sesungguhnya tindakan itulah yang dapat menjamin kemajuan. Bekerja juga harus membuang prinsip hanya mencari keuntungan besar semata atau hanya sekedar lepas dari tanggung jawab. Pekerjaan yang baik dengan sifat shiddiq adalah manajemen yang dijalankan secara jujur, adil, sehat dan tidak sampai mezalimin bawahannya bahkan jangan sampai merugikan negara.
Karakteristik sebuah integritas ini wajib dibangun dalam tiap pimpinan dalam level apapun hingga menyatu dalam karakter kepemimpinannya. Tekad untuk mewujudkan karya terbaik berdasarkan karakter integritas merupakan landasan utama keberhasilan sebuah instansi menghadapi sebuah kemajuan maupun menjadikan dirinya sebagai yang terpuji dan terpercaya. Suatu tekad yang bukan saja strategis tapi juga semakin langka diterapkan dalam budaya kerja saat ini.
Disamping sifat shiddiq sifat amanah (akuntabel) yaitu jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Makkah dengan gelar al Amin yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi nabi dan rasul. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Makkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Akuntabel mempunyai pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW. selalu menjaga amanah yang diembannya dan bisa dipertanggunjawabkan. Beliau tidak pernah menggunakan wewenang (kompetensi) dan otoritasnya sebagai nabi dan rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk kepentingan pribadi, keluarga dan sukunya, namun yang dilakukan beliau semata untuk kepentingan Islam semata. Sebagai contoh dalam suatu riwayat diceritakan bahwa salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah pernah memberikan sebidang tanah yang subur kepada beliau tapi beliau tidak menggunakan tanah itu dengan seenaknya, tetapi beliau mencari sanak saudara Abu Thalhah yang berkehidupan kurang layak dan memberikan tanah itu untuk mereka, supaya taraf perekonomian mereka meningkat.
Bahwa amanah merupakan salah satu dari sifat wajib bagi para nabi dan rasul. Amanah artinya dapat dipercaya, lawannya adalah khianat. Pemimipin yang dipercaya artinya segala kegiatan baik ucapan maupun perbuatannya selalu dipercaya dan diyakini oleh bawahannya suatu kebenaran. Seseorang pimpinan dapat dikatakan dapat dipercaya, apabila ia dapat melaksanakan amanah atau kepercayaan dari orang lain kepadanya. Sifat amanah ini sejak kecil dimiliki oleh nabi, karena sifat amanahnya ini dipercaya menggembala kambing milik pamannya dan tetangganya. Atau ketika dipercaya membawa barang dagangan Siti Khadijah. Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja, tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Nabi Muhammad SAW. dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh memegang janji. Jika ada orang yang hendak menitipkan barang, maka yang dicari adalah Nabi Muhammad SAW. Ia sering mengorbankan kepentingan sendiri hanya untuk menepati janji. Suatu hari beliau pernah menjual beberapa ekor unta. Setelah terjual dan pembelinya pergi, beliau teringat bahwa ada di antara unta yang dijual itu yang cacat. Beliau segera menyusul pembeli tersebut dan mengembalikan uangnya. Oleh karena itu, tidak heran jika semua penulis sejarah mengatakan bahwa beliau ini mendapat gelar al Amin.
Seorang pimpinan baru dapat dikatakan amanah jika hasil pekerjaan tidak ada penyelewengan atas jabatannya dan tidak takut ketika diaudit oleh akuntan publik karena memang ia bekerja di jalannya (rel yang benar). Jangan sampai pimpinan ketika tidak menjabat lagi justru malah berurusan dengan aparat penegakkan hukum karena terindikasi adanya penyalahgunaan dan penyelewenangan wewenang selama memangku jabatan, potret kepemimpinan seperti inilah rasa-rasanya terekam dalam benak masyarakat ketika menonton, mendengar dan membaca dari mass media terlalu banyak pembesar negeri ini ketika masih menjabat, atau diakhir masa jabatannya bahkan ketika pensiun malah menjadi penghuni hotel prodeo akibat menjalahi standar operasional prosedur yang telah ditentukan.
Disamping sifat amanah, sifat yang ditonjolkan Nabi Muhammad SAW. adalah tabligh artinya menyampaikan (transparansi). Segala firman Allah SWT. sebagai titipan yang ditujukan untuk manusia, disampaikannya tanpa dipotong atau disunat satu ayatpun. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung persaannya. Tabligh (transpran) sifat ini mempunyai pengertian bahwa beliau selalu menyampaikan segala sesuatu yang diwahyukan Allah SWT. kepadanya meskipun terkadang ada ayat yang substansinya menyindir beliau seperti yang tersurat dalam surat Abbasa, dimana Rasulullah mendapat teguran langsung dari Allah SWT. pada saat beliau memalingkan mukanya dari Abdullah Ummu Maktum yang meminta diajarkan suatu perkara sama sekali tidak disembunyikan oleh beliau. Beliaupun tidak merasa kwatir reputasinya akan rusak dengan sindiran Allah SWT. tersebut, justru sebaliknya para sahabat tambah meyakini akan kerasulan beliau.
Tabligh juga dapat diartikan bahwa sebuah media komunikasi yang memiliki korelasi yang erat sekali dengan kepemimpinan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa komunikasi. Kemampuan berkomunikasi akan menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin memiliki pengikut guna merealisir gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disinilah urgensinya kemampuan berkomunikasi bagi seorang pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku bawahannya. Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi. Nabi Muhammad SAW. dikenal sebagai komunikator ulung. Beliau berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai kadar intelektualitas dan lingkup pengalaman orang yang dihadapinya.
Dalam teori komunikasi itu disebut sebagai frame of reference (kerangka dasar ilmu pengetahuan) dan field of experience (lingkup pengalaman). Jauh sebelumnya, yakni empat belas abad yang lalu, beliau sudah menganjurkan kepada para sahabat tentang pentingnya kedua faktor itu dalam menjalin komunikasi yang efektif. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari mengungkapkan bahwa Nabi bersabda “Ajaklah mereka berbicara sesuai dengan apa yang mereka ketahui”, inilah yang disebut field of experience. Sedangkan pada sebuah hadis lain yang diriwayatkan Ad-Dailami, Nabi bersabda “Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan berfikir mereka”, inilah yang diistilahkan field of reference.
Dalam rangka menghindari terjadinya distorsi atau salah pengertian yang merupakan hambatan komunikasi, selalu berbicara dengan tenang dan jelas. Istri beliau, Aisyah, menceritakan, “Rasulullah tidaklah berbicara seperti yang biasa kamu lakukan (yaitu berbicara dengan nada cepat). Namun beliau berbicara dengan nada perlahan dan dengan perkataan yang jelas dan terang lagi mudah dihafal oleh orang yang mendengarnya.”(HR.Abu Daud). Dalam kesempatan lain Aiysah juga berkata, “Tutur kata Rasulullah sangat teratur, untaian demi untaian kalimat tersusun dengan rapi, sehingga mudah dipahami oleh orang yang mendengarkannya.”(HR.Abu Daud). Bahkan beliau sering melakukan penegasan dengan menaikkan nada (affirmation) dan pengulangan (repetition) agar ucapannya dapat dimengerti dan difahami dengan baik. Sebagaimana diriwayatkan, Anas bin Malik mengatakan: “Rasulullah sering mengulangi perkataannya tiga kali agar dapat dipahami.”(HR.Bukhari).
Sebagai seorang pimpinan juga sebagai komunikator, harus memiliki dua faktor penting yang harus ada pada komunikator yakni kepercayaan audiens/lawan bicara kepada komunikator (source credibility) dan daya tarik komunikator (source attraction). Dalam komunikasi, tidak hanya mengandalkan bahasa verbal, tetapi juga melalui bahasa tubuh (body language), bahasa imajerial, bahasa isyarat dan berbagai bahasa non-verbal lainnya, senantiasa berpikir. Pimpinan seharusnya lebih banyak diam, dan berbicara seperlunya serta lebih banyak berbuat. Ucapannya selalu padat, detail, dan jelas, tidak lebih dan tidak kurang, tidak kasar serta tidak merendahkan bahwannya. Jika kebenaran dilanggar tidak akan diam hingga kebenaran itu ditegakkan. Tidak pernah marah dan tidak pula memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Ketika menunjuk dan memerintahkan sesuatu, seharusnya selalu menggunakan seluruh telapak tangannya.
Sebagai pelengkap dari ketiga sifat di atas, adalah fathonah (profesional) artinya cerdas, mustahil Nabi itu bodoh atau jahil. Dalam menyampaikan 6.666 ayat al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus mampu menjelaskan firman-firman Allah SWT. dan maksud firman itu kepada umatnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya. Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa.
Sifat fathonah (cerdas, intelek) adalah suatu keniscayaan untuk para nabi dan rasul karena tidak mungkin Rasulullah bisa menyampaikan wahyu yang berupa al Qur’an yang sedemikian banyaknya hingga mencapai 6.666 ayat tanpa ada yang salah dan keliru satupun. Jika beliau tidak mempunyai fondasi intelektual yang tinggi hal itu mustahil terjadi. Kecerdasan Rasulullah tidak hanya intelektual semata tetapi juga cerdas dari segi emosional dan spiritual. Kualifikasi seorang pemimpin, salah satu diantaranya adakah profesional yakni memiliki kemampuannya dalam mengelola emosi dirinya dan emosi orang yang dipimpinnya atau dikenal dengan Emotional Intelligence sehingga seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dituntut mampu memahami emosi dirinya, emosi orang yang dipimpinnya serta mampu mengelola emosi-emosi tersebut dalam hubungan sosial untuk mewujudkan tujuan bersama. Kemampuan tersebut diperlukan dalam merespon kondisi dan situasi, dan hanya pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi yang akan diterima dan memberi harapan kepada orang yang dipimpinnya.
.
Meneladani prinsip Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari, yaitu jujur/integritas (siddiq), tanggung jawab/akuntabel (amanah), transparan (tabligh), dan bersifat professional (fathonah) merupakan kunci sukses dalam setiap bidang kehidupan dan kepemimpinan.
Kepemimpinan yang berintegritas merupakan kepemimpinan yang mampu memberi insipirasi kepada yang dipimpinnya untuk menyumbangkan fikiran, tenaga dan kemampuan mereka yang terbaik demi tercapainya tujuan bersama. Pemimpin yang berintegritas dalam konsepsi Islam mempunyai sejumlah karakteristik atau ciri tertentu antara lain: (a) Shiddiq; mempunyai akhlaq yang mulia, jujur, (b) Amanah; beriman, bertaqwa dan akuntabel, dipercaya, (c) Tabligh; terbuka, kebersamaan, dan komunikatif. (d) Fathonah; cerdas, mempunyai kompetensi, mempunyai visi ke depan yang jelas.
Khutbah Kedua :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
[1] Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Abstraksi mendalam Sebuah sistem nilai dan berbagai interaksi yang berlaku juga dapat berfungsi sebagai faktor penting dalam mengidentifikasi integritas karena kongruensi atau kurangnya kongruensi dengan pengamatan. Sistem nilai yang dapat berkembang dari waktu ke waktu sementara tetap mempertahankan integritas jika mereka yang mendukung account nilai untuk dan menyelesaikan inkonsistensi.
Baca Juga > Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
> Naskah Singkat Maulid Nabi Muhammad SAW dan Kebangkitan Ummat
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam catatan sepanjang sejarah kehidupan, Nabi Muhammad SAW. adalah pemimipin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan tauladan agung bagi umatnya. Dalam konteks ini maulid harus juga diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat Islam. Yaitu sebagai semangat baru (spirit) untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokratisasi seperti adanya sikap toleransi (tasamuh), transparansi (tabligh), anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan hidup, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah sosiologis antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW. dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi satu sama liannya.
Dimensi pertama, dapat dilihat dan dipahami dari perspektif sosial-politik ke-Islaman (siasyah syariah), bahwa Nabi Muhammad SAW. di samping sebagai nabi dan rasul juga sebagai imamul ummah dari sini beliau sebagai sosok politikus ulung dan handal. Sosok individu beliau yang sangat identik sekali dengan sosok seorang pemimpin yang adil, egaliter, toleransi, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial bangsa Arab masa itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera, damai dan tentram di bawah ampunan Rabb (baldatun thayyibatun warabbun ghafuur).
Dimensi kedua, dapat dilihat dan dipahami dari perspektif teologis-religius, bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai sosok nabi sekaligus juga sebagai rasul akhiruzaman dalam tatanan konsep ke-Islaman. Hal ini beliau diposisikan sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang misi utamanya adalah bertugas membawa, menyampaikan, dan mengaplikasikan segala bentuk pesan suci (kudus) dari Tuhan kepada umat manusia secara universal.
Nah dalam kesempatan ini rasanya sudah datang saatnya bagi umat Islam untuk kembali memulai (merekonstruksi) memahami arti tanggal 12 Rabiul Awal yang sering disebut maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik ke-Islaman semata, namun jauh dari itu sesungguhnya menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin yang membawa spirit reformasi dan restorasi menuju perubahan dalam tataran kepemimpinan umumnya dan kepemipinan peradilan khususnya dalam rangka menuju peradilan yang agung. Karena bukan menjadi rahasia lagi bila saat ini bangsa ini sedang membutuhkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana yang pernah dipraktekan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk seluruh umat manusia (rahmatan linnas). Sehingga kontekstualisasi maulid tidak lagi dipahami dari perspektif ke-Islaman semata, melainkan juga harus dipahami dari berbagai perspektif dan dimensi yang menyangkut segala persoalan dalam kehidupan umat manusia, seperti aspek persoalan penegakkan hukum, politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, maupun agama.
Ketauladan Bersumber dari Sifat Kerasulan bagi Seorang Pimpinan
Ketika mengingat sosok Nabi Muhammad SAW. terutama disaat maulid setiap tahun sering diceritakan spektrum tentang latar belakang biografi beliau serta perjalanan hidup dalam memipin umatnya. Sehingga wajar ada yang semakin rindu dengan sosok beliau, apalagi ditengah kedangkalan akhlak serta budi pekerti yang merosot saat ini (dekadensi moralitas), merindukan sosok pemimpin sebagaimana sosok bijaksana dari Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan itu masyarakat sedang membutuhkan dan mengidamkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif.
Salah satu sikap mulia yang lekat dan yang paling menonjol dengan kepribadian Nabi Muhammad SAW. adalah “shiddiq” (kejujuran, integritas). Dengan sifat ini diganjar dengan julukan al Amin oleh masyarakat setempat, baik pengikutnya maupun yang memusuhinya. Selain bakat kepemimpinan yang menonjol, sejak usia belia beliau sudah terlibat gerakan moral Hilful Fudul atau sumpah keutamaan. Sebuah gerakan demi membela rasa keadilan dan kebenaran terhadap siapapun dan dalam kondisi apapun. Jujur dan berani menanggung risiko, itulah warisan mulia kepemimpinan nabi yang mestinya ditauladani para pemimpin dan elite di negeri ini umumnya dan khususnya pimpinan peradilan. Faktanya, kadangkala amat susah menemukan elite negeri ini bersikap dan berperilaku mencontoh kepemiminan nabi. Rasanya untuk menemukan sebuah arti kejujuran saja misalnya sudah sulit, tak obahnya sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Padahal kejujuran dari ungkapan kata-kata saja belum cukup memadai untuk menjadi modal bagi pemimpin. Fakta sulitnya menemukan kejujuran itu berbanding terbalik dengan anjuran meneladani sikap dan perbuatan nabi. Di corong mimbar-mimbar maupun dalam teks-teks tulisan, hampir saban waktu mendengar para pemimpin dan penganjur mengajak untuk mencontoh sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang dijumpai akhir-akhir ini justru kian lekatnya hipokrisi atas fakta yang sudah telanjang. Kadangkala masyarakat masih saja dipertunjukkan bahwa kejujuran masih terus dikalahkan oleh kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek, kebenaran hukum telah dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat, hukum telah dijungkarbalikan oleh kemauan elit politik sehingga hukum tidak lagi menjadi panglima.
Menjadi seorang pemimpin yang katanya menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai tauladan terdepan sudah seharusnya berani pula mengambil segala risiko dan bertanggungjawab atas segala akibat kepemimpinan. Bukan justru malah sebaliknya buang badan dan melemparkan tanggung jawab itu kepada anak buah, tepatlah dikatakan oleh orang bijak “ibarat lempar batu sembunyi tangan”. Bukan pula pemimpin yang gemar menyebut orang lain telah memfitnahnya padahal yang hendak disuarakan oleh orang itu adalah kebenaran sesungguhnya, atau justru malah tidak tahu akan kebijakan yang telah diperbuat oleh bawahannya sehingga lepas tanggung jawab ketika muncul persoalan. Maulid nabi bukan sekadar peringatan untuk seruan dan ajakan, maulid nabi merupakan momentum untuk merenung dan mulai berbuat sesuai apa yang diajarkan dan diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk para pemimpin di negeri ini, maulid nabi seyogianya menggerakkan hati nurani terbentuk pola diri untuk jujur, berani mengambil risiko, dan bertanggungjawab atas akibat dari kepemipinannya.
Sifat shiddiq artinya benar, bukan hanya sekedar perkataannya saja yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar, sehingga antara perbuatan sama dengan ucapannya. Jangan sampai pemimpin yang hanya kata-katanya yang manis di mulut, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Nabi Muhammad SAW. merupakan satu sosok figur yang sangat mempesona, sopan dalam bertutur kata, jujur manakala bicara sepanjang hayatnya, tidak pernah berdusta serta luhur budi pekertinya. Hal inilah yang membuat orang-orang terkagum-kagum kepada beliau bahkan dari dulu sampai saat ini semua orang di penjuru dunia mengagumi profil beliau, memiliki integritas kepribadian yang sangat luar biasa. Beliau mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umatnya tanpa membedakan atau memandang seseorang dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan tertentu. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat sekalipun atau orang yang tidak suka kepadanya.
Eksistensi sifat shiddiq, memiliki pengertian bahwa pemimpin selalu dianggap berada dalam tataran slogan kebenaran dan jujur dalam ucapan dan perbuatannya. Segala sesuatu yang diucapkan jangan pernah ada punya tendensuis pribadi atau didasari oleh interest dan emosional pribadi, tetapi semua yang diucapkan oleh didasari atas panduan bisikan hati nurani. Integritas adalah sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika kepemimpinan, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan, yang menganggap konsistensi internal sebagai suatu kebajikan, dan menyarankan bahwa pihak-pihak yang memegang nilai-nilai yang tampaknya bertentangan harus account untuk perbedaan atau mengubah keyakinan mereka. Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain memiliki integritas sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Integritas (shiddiq) seorang penegak hukum adalah landasan penting dari setiap sistem berdasarkan supremasi dan objektivitas hukum.
Menurut Burt Nanus dalam “The Seven Keys to Leadership in a Turbulent World”, integritas itu dimana seorang pemimpin berlaku fair, jujur, terpecaya, peduli, terbuka, loyal, dan punya komitmen yang tinggi. Melakukan yang benar dalam pekerjaan adalah benar (haq) meskipun orang lain tidak melakukannya, sedangkan melakukan yang salah (bathil) adalah tetap salah meskipun orang lain melakukannya. Disinilah seorang pemimpin dituntut untuk memiliki moralitas yang tinggi dalam menjalankan kepemimpinannya. Karena sesungguhnya tindakan itulah yang dapat menjamin kemajuan. Bekerja juga harus membuang prinsip hanya mencari keuntungan besar semata atau hanya sekedar lepas dari tanggung jawab. Pekerjaan yang baik dengan sifat shiddiq adalah manajemen yang dijalankan secara jujur, adil, sehat dan tidak sampai mezalimin bawahannya bahkan jangan sampai merugikan negara.
Karakteristik sebuah integritas ini wajib dibangun dalam tiap pimpinan dalam level apapun hingga menyatu dalam karakter kepemimpinannya. Tekad untuk mewujudkan karya terbaik berdasarkan karakter integritas merupakan landasan utama keberhasilan sebuah instansi menghadapi sebuah kemajuan maupun menjadikan dirinya sebagai yang terpuji dan terpercaya. Suatu tekad yang bukan saja strategis tapi juga semakin langka diterapkan dalam budaya kerja saat ini.
Disamping sifat shiddiq sifat amanah (akuntabel) yaitu jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Makkah dengan gelar al Amin yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi nabi dan rasul. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Makkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Akuntabel mempunyai pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW. selalu menjaga amanah yang diembannya dan bisa dipertanggunjawabkan. Beliau tidak pernah menggunakan wewenang (kompetensi) dan otoritasnya sebagai nabi dan rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk kepentingan pribadi, keluarga dan sukunya, namun yang dilakukan beliau semata untuk kepentingan Islam semata. Sebagai contoh dalam suatu riwayat diceritakan bahwa salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah pernah memberikan sebidang tanah yang subur kepada beliau tapi beliau tidak menggunakan tanah itu dengan seenaknya, tetapi beliau mencari sanak saudara Abu Thalhah yang berkehidupan kurang layak dan memberikan tanah itu untuk mereka, supaya taraf perekonomian mereka meningkat.
Bahwa amanah merupakan salah satu dari sifat wajib bagi para nabi dan rasul. Amanah artinya dapat dipercaya, lawannya adalah khianat. Pemimipin yang dipercaya artinya segala kegiatan baik ucapan maupun perbuatannya selalu dipercaya dan diyakini oleh bawahannya suatu kebenaran. Seseorang pimpinan dapat dikatakan dapat dipercaya, apabila ia dapat melaksanakan amanah atau kepercayaan dari orang lain kepadanya. Sifat amanah ini sejak kecil dimiliki oleh nabi, karena sifat amanahnya ini dipercaya menggembala kambing milik pamannya dan tetangganya. Atau ketika dipercaya membawa barang dagangan Siti Khadijah. Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja, tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Nabi Muhammad SAW. dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh memegang janji. Jika ada orang yang hendak menitipkan barang, maka yang dicari adalah Nabi Muhammad SAW. Ia sering mengorbankan kepentingan sendiri hanya untuk menepati janji. Suatu hari beliau pernah menjual beberapa ekor unta. Setelah terjual dan pembelinya pergi, beliau teringat bahwa ada di antara unta yang dijual itu yang cacat. Beliau segera menyusul pembeli tersebut dan mengembalikan uangnya. Oleh karena itu, tidak heran jika semua penulis sejarah mengatakan bahwa beliau ini mendapat gelar al Amin.
Seorang pimpinan baru dapat dikatakan amanah jika hasil pekerjaan tidak ada penyelewengan atas jabatannya dan tidak takut ketika diaudit oleh akuntan publik karena memang ia bekerja di jalannya (rel yang benar). Jangan sampai pimpinan ketika tidak menjabat lagi justru malah berurusan dengan aparat penegakkan hukum karena terindikasi adanya penyalahgunaan dan penyelewenangan wewenang selama memangku jabatan, potret kepemimpinan seperti inilah rasa-rasanya terekam dalam benak masyarakat ketika menonton, mendengar dan membaca dari mass media terlalu banyak pembesar negeri ini ketika masih menjabat, atau diakhir masa jabatannya bahkan ketika pensiun malah menjadi penghuni hotel prodeo akibat menjalahi standar operasional prosedur yang telah ditentukan.
Disamping sifat amanah, sifat yang ditonjolkan Nabi Muhammad SAW. adalah tabligh artinya menyampaikan (transparansi). Segala firman Allah SWT. sebagai titipan yang ditujukan untuk manusia, disampaikannya tanpa dipotong atau disunat satu ayatpun. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung persaannya. Tabligh (transpran) sifat ini mempunyai pengertian bahwa beliau selalu menyampaikan segala sesuatu yang diwahyukan Allah SWT. kepadanya meskipun terkadang ada ayat yang substansinya menyindir beliau seperti yang tersurat dalam surat Abbasa, dimana Rasulullah mendapat teguran langsung dari Allah SWT. pada saat beliau memalingkan mukanya dari Abdullah Ummu Maktum yang meminta diajarkan suatu perkara sama sekali tidak disembunyikan oleh beliau. Beliaupun tidak merasa kwatir reputasinya akan rusak dengan sindiran Allah SWT. tersebut, justru sebaliknya para sahabat tambah meyakini akan kerasulan beliau.
Tabligh juga dapat diartikan bahwa sebuah media komunikasi yang memiliki korelasi yang erat sekali dengan kepemimpinan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa komunikasi. Kemampuan berkomunikasi akan menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin memiliki pengikut guna merealisir gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disinilah urgensinya kemampuan berkomunikasi bagi seorang pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku bawahannya. Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi. Nabi Muhammad SAW. dikenal sebagai komunikator ulung. Beliau berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai kadar intelektualitas dan lingkup pengalaman orang yang dihadapinya.
Dalam teori komunikasi itu disebut sebagai frame of reference (kerangka dasar ilmu pengetahuan) dan field of experience (lingkup pengalaman). Jauh sebelumnya, yakni empat belas abad yang lalu, beliau sudah menganjurkan kepada para sahabat tentang pentingnya kedua faktor itu dalam menjalin komunikasi yang efektif. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari mengungkapkan bahwa Nabi bersabda “Ajaklah mereka berbicara sesuai dengan apa yang mereka ketahui”, inilah yang disebut field of experience. Sedangkan pada sebuah hadis lain yang diriwayatkan Ad-Dailami, Nabi bersabda “Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan berfikir mereka”, inilah yang diistilahkan field of reference.
Dalam rangka menghindari terjadinya distorsi atau salah pengertian yang merupakan hambatan komunikasi, selalu berbicara dengan tenang dan jelas. Istri beliau, Aisyah, menceritakan, “Rasulullah tidaklah berbicara seperti yang biasa kamu lakukan (yaitu berbicara dengan nada cepat). Namun beliau berbicara dengan nada perlahan dan dengan perkataan yang jelas dan terang lagi mudah dihafal oleh orang yang mendengarnya.”(HR.Abu Daud). Dalam kesempatan lain Aiysah juga berkata, “Tutur kata Rasulullah sangat teratur, untaian demi untaian kalimat tersusun dengan rapi, sehingga mudah dipahami oleh orang yang mendengarkannya.”(HR.Abu Daud). Bahkan beliau sering melakukan penegasan dengan menaikkan nada (affirmation) dan pengulangan (repetition) agar ucapannya dapat dimengerti dan difahami dengan baik. Sebagaimana diriwayatkan, Anas bin Malik mengatakan: “Rasulullah sering mengulangi perkataannya tiga kali agar dapat dipahami.”(HR.Bukhari).
Sebagai seorang pimpinan juga sebagai komunikator, harus memiliki dua faktor penting yang harus ada pada komunikator yakni kepercayaan audiens/lawan bicara kepada komunikator (source credibility) dan daya tarik komunikator (source attraction). Dalam komunikasi, tidak hanya mengandalkan bahasa verbal, tetapi juga melalui bahasa tubuh (body language), bahasa imajerial, bahasa isyarat dan berbagai bahasa non-verbal lainnya, senantiasa berpikir. Pimpinan seharusnya lebih banyak diam, dan berbicara seperlunya serta lebih banyak berbuat. Ucapannya selalu padat, detail, dan jelas, tidak lebih dan tidak kurang, tidak kasar serta tidak merendahkan bahwannya. Jika kebenaran dilanggar tidak akan diam hingga kebenaran itu ditegakkan. Tidak pernah marah dan tidak pula memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Ketika menunjuk dan memerintahkan sesuatu, seharusnya selalu menggunakan seluruh telapak tangannya.
Sebagai pelengkap dari ketiga sifat di atas, adalah fathonah (profesional) artinya cerdas, mustahil Nabi itu bodoh atau jahil. Dalam menyampaikan 6.666 ayat al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus mampu menjelaskan firman-firman Allah SWT. dan maksud firman itu kepada umatnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya. Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa.
Sifat fathonah (cerdas, intelek) adalah suatu keniscayaan untuk para nabi dan rasul karena tidak mungkin Rasulullah bisa menyampaikan wahyu yang berupa al Qur’an yang sedemikian banyaknya hingga mencapai 6.666 ayat tanpa ada yang salah dan keliru satupun. Jika beliau tidak mempunyai fondasi intelektual yang tinggi hal itu mustahil terjadi. Kecerdasan Rasulullah tidak hanya intelektual semata tetapi juga cerdas dari segi emosional dan spiritual. Kualifikasi seorang pemimpin, salah satu diantaranya adakah profesional yakni memiliki kemampuannya dalam mengelola emosi dirinya dan emosi orang yang dipimpinnya atau dikenal dengan Emotional Intelligence sehingga seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dituntut mampu memahami emosi dirinya, emosi orang yang dipimpinnya serta mampu mengelola emosi-emosi tersebut dalam hubungan sosial untuk mewujudkan tujuan bersama. Kemampuan tersebut diperlukan dalam merespon kondisi dan situasi, dan hanya pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi yang akan diterima dan memberi harapan kepada orang yang dipimpinnya.
.
Meneladani prinsip Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari, yaitu jujur/integritas (siddiq), tanggung jawab/akuntabel (amanah), transparan (tabligh), dan bersifat professional (fathonah) merupakan kunci sukses dalam setiap bidang kehidupan dan kepemimpinan.
Kepemimpinan yang berintegritas merupakan kepemimpinan yang mampu memberi insipirasi kepada yang dipimpinnya untuk menyumbangkan fikiran, tenaga dan kemampuan mereka yang terbaik demi tercapainya tujuan bersama. Pemimpin yang berintegritas dalam konsepsi Islam mempunyai sejumlah karakteristik atau ciri tertentu antara lain: (a) Shiddiq; mempunyai akhlaq yang mulia, jujur, (b) Amanah; beriman, bertaqwa dan akuntabel, dipercaya, (c) Tabligh; terbuka, kebersamaan, dan komunikatif. (d) Fathonah; cerdas, mempunyai kompetensi, mempunyai visi ke depan yang jelas.
Khutbah Kedua :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
[1] Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Abstraksi mendalam Sebuah sistem nilai dan berbagai interaksi yang berlaku juga dapat berfungsi sebagai faktor penting dalam mengidentifikasi integritas karena kongruensi atau kurangnya kongruensi dengan pengamatan. Sistem nilai yang dapat berkembang dari waktu ke waktu sementara tetap mempertahankan integritas jika mereka yang mendukung account nilai untuk dan menyelesaikan inkonsistensi.