<Macam Macam Jenis Najis dan Cara Mensucikannya Membersihkannya dan Menghilangkannya> Tingkatan Najis ada tiga: najis ringan (kencing bayi laki-laki yang masih minum ASI eksklusif), najis menengah, najis berat (anjing dan babi). Jenis najis ada dua: najis ainiyah dan najis hukmiyah. Cara menuyucikan najis ainiyah harus dihilangkan benda najisnya lalu dibasuh dengan air. Sedangkan najis hukmiyah cukup disiram sekali dengan air. Adapun najis anjing dan babi harus disiram dengan air tujuh kali salah satunya dicampur dengan debu atau tanah.
Najis adalah sesuatu yang harus dijauhi saat seorang muslim melakukan ritual ibadah tertentu seperti shalat baik shalat wajib 5 waktu atau shalat sunnah, thawaf saat haji dan umrah, dan lain-lain. Tuntunan berikut berkaitan dengan perkara najis menurut madzhab Syafi'i. Banyak penjelasan di internet seputar najis yang menggunakan uraian madzhab lain seperti Hanbali atau Hanafi. Panduan ini khusus mengambil perspektif madzhab Syafi'i agar tidak membingungkan masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi'i sejak lahir.
Definisi/Pengertian Najis
Najis (Arab, النجاسة) berasal dari bahasa Arab dari akar kata masdar (verbal noun) najasah yang secara etimologis bermakna kotor (qadzarah- القذارة). Sedangkan dalam terminologi fiqh (syariah), najis adalah sesuatu yang kotor yang diperhntahkan oleh syariah untuk suci darinya dan menghilangkannya dari baju dan badan dan dari segala sesuatu yang disyaratkan sucinya saat memakai. Seperti sucinya baju dan badan pada saat melaksanakan shalat dan tawaf umarah dan haji.
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (تحفة المحتاج في شرح المنهاج) menyatakan bahwa najis dalam definisi syariah adalah perkara kotor yang mencegah sahnya shalat.
Perkara Najis
Perkaran atau sesuatu yang dianggap najis menurut syariah Islam sebagai berikut:
1. Kencing baik kencing bayi atau kencing orang dewasa.
2. Tinja (kotoran manusia) atau kotoran hewan
3. Khamr (mimunam beralkohol).
2. Bangkai hewan yang mati tanpa disembelih secara syariah dan seluruh anggota badannya seperti daging, tulang, tanduk, kuku, dll kecuali,
(a) belalang, hewan laut dan hewan sangat kecil yang darahnya tidak mengalir seperti lalat dan sejenisnya. Khusus untuk lalat dan sejenisnya apabila masuk ke air yang sedikit (kurang 2 qullah) dalam keadaan hidup kemudian mati dalam air, maka airnya tetap suci.
(b) bangkai manusia, hukumnya suci baik muslim atau nonmuslim (kafir).
3. Darah.
4. Nanah.
5. Muntah.
6. Anjing dan Babi
7. Madzi yaitu cairan putih encer yang keluar bukan karena syahwat. .
8. Wadi yaitu cairan pekat kental yang keluar setelah kencing atau setelah membawa beban berat.
9. Mani (sperma) anjing dan babi.
10. Susu hewan yang tidak halal dagingnya kecuali susu manusia.
Catatan:
- Tulang bangkai suci menurut madzhab Hanafi. Rambut dan bulu bangkai suci menurut madzhab Maliki.
- Kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan hukumnya suci menurut madzhab Hanbali.
- Harus dibedakan antara najis dan mutanajjis. Najis adalah perkara najis. Sedang mutanajjis adalah benda yang terkena atau tersentuh perkara najis. Najis tidak bisa suci. Sedang mutanajjis dapat suci kalau dihilangkan najisnya.
Tingkatan Tingkatan Najis
Menurut madzhab Syafi'i, tingkatan najis terbagi menjadi 3 (tiga) macam. Yaitu, najis ringan (mukhaffafah), najis sedang/pertangahan (mutasswithah) dan najis berat (mughallazhah).
- 1). Najis Mukhaffafah (Ringan)
Najis mukhaffafah adalah najis ringan yang cara menghilangkannya cukup dengan menyiramkan air pada najis tersebut. Najis mukhaffafah terdapat pada kencingnya anak kecil laki-laki yang belum berusia 2 tahun dan tidak makan apa-apa kecuali ASI (air susu ibu).
- 2). Najis Mutawassithah (Sedang)
Najis mutawasithah adalah najis yang umum seperti darah, bangkai, kotoran manusia atau hewan, muntah, kencing, dll yang cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan benda najis tersebut dan setelah hilang baru disiram dengan air. Kalau benda najisnya sudah hilang, maka penyiraman air cukup dilakukan sekali saja.
- 3). Najis Mughallazhah (Berat)
yaitu najis anjing dan babi. Yang cara mensucikannya adalah dengan (a) menghilangkan benda najisnya; (b) menyiramkan air sebanyak 7 (tujuh) kali salah satunya dicampur dengan debu atau tanah.
Ada dua jenis najis yaitu najis hukmiyah (النجاسة الحكمية) dan najis ainiyah (النجاسة العينية).
- 1). Najis Hukmiyah (النجاسة الحكمية)
Najis hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan warnanya, baunya dan rasanya. Kalau suatu najis sudah dibuang dan sudah tidak kelihatan, maka tempat najis tersebut statusnya menjadi najis hukmiyah. Cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan air satu kali. Adapun bekas siraman air dari najis hukmiyah adalah mutakmal atau suci tapi tidak bisa untuk menyucikan barang najis atau untuk berwudhu.
- 2). Najis 'Ainiyah (النجاسة العينية)
Najis ainiyah adalah sebaliknya najis hukmiyah yaitu najis yang kelihatan warnanya, baunya dan rasanya. Dengan kata lain, najis ainiyah adalah najis itu sendiri. Misalnya, anda melihat air kencing di lantai, maka air kencing itu namanya najis ainiyah. Kalau air kencing itu dibuang dengan kain atau tisu sampai tidak tampak lagi, maka status tempat yang terkena najis kencing tadi disebut najis hukmiyah. Jadi, tempat bekas najis itu belum suci kecuali setelah disiram dengan air.
Cara Menghilangkan Najis
Adapun cara menghilangkan najis adalah tergantung dari tingkatan (ringan, sedang, berat) dan jenis najisnya (ainiyah atau hukmiyah).
- 1). Cara Menghilangkan/Menyucikan Najis Ringan (Mukhaffafah)
Najis mukhaffafah adalah terdapat pada kencing anak laki-laki usia di bawah 2 tahun dan belum memakan makanan apapun kecuali ASI (Air Susu Ibu). Adapun kencing bayi perempuan status najisnya sama dengan kencing orang dewasa.
Cara menghilangkan atau mensucikan najis tersebut adalah dengan menyiramkan air suci pada kencing anak tersebut sampai merata walaupun air itu tidak mengalir. Siraman cukup dilakukan satu kali.
- 2). Cara Menghilangkan/Menyucikan Najis Sedang (Mutawassithah)
Najis mutawassitah (sedang) adalah seluruh najis selain najis anjing babi dan najis bayi laki-laki.
Cara menyucikan najis mutawassitah ainiyah adalah dengan menghilangkan perkara yang najis yakni rasa, warna dan baunya dengan air yang suci dan mensucikan. Apabila sulit menghilangkan warna atau baunya, maka tidak apa-apa (معفو عنه).
Apabila air untuk menyucikan kurang dari 2 (dua) qullah maka harus dengan mengalirkan/menyiramkan air tersebut ke benda yang najis. Apabila air sampai 2 qullah atau lebih, maka tidak disyaratkan mengalirkan air ke benda najis tersebut bahkan boleh memasukkan benda najis tersebut ke air yang sampai 2 qullah atau lebih. Kecuali apabila berubah salah satu dari 3 sifatnya (warna, bau dan rasa) maka air tersebut tetap suci.
- 3). Cara Menghilangkan/Menyucikan Najis Berat (Mughallazhah)
Najis mughalladzah (mugholadhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannya adalah dengan membasuh najis sebanyak 7 (tujuh) kali dan salah satu dari tujuh itu dicampur dengan debu atau tanah yang suci.
Cara Membasuh Dengan Debu
Adapun cara membasuh najis dengan debu bisa dilakukan dengan tiga metode, yaitu:
- Membasuh dengan air lalu kita letakkan debu di atasnya untuk membersihkan.
- Meletakkan debu/tanah di tempat yang terkena najis lalu dibasuh dengan air.
- Mencampur debu dengan air lalu dipakai untuk membasuh tempat najis. (Lihat dalam Al-Wasit, 1/407).
Apakah Sabun Sama Dengan Debu?
Ulama berbeda pendapat dalam soal ini:
- Pendapat pertama, bahwa selain debu itu tidak bisa dipakai sebagai pengganti debu secara mutlak: baik ada debu atau tidak ada. Ini pendapat paling kuat dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali.
- Pendapat kedua, bahwa selain debu itu bisa jadi pengganti debu secara mutlak baik karena tidak ada debu atau ada. Ini suatu pendapat dalam mazhab Syafi'i yang dipilih Imam Muzani. Ini pendapat masyhur dalam mazhab Hanbali.
- Pendapat ketiga, bahwa selain debu itu bisa jadi pengganti debu apabila tidak ada debu atau apabila debu dapat merusak tempat yang yang najis itu. Ini satu pendapat dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali.
Kesimpulan: Yang utama adalah memakai debu dalam menghilangkan najis anjing. Akan tetapi selain debu, seperti sabun, itu juga berfungsi membersihkan dan menjadi pengganti debu terutama apabila sulit memakai debu baik karena tidak adanya atau karena dapat merusak tempat yang akan disucikan seperti adanya najis pada pakaian. (Lihat dalam Al-Wasit, 1/407).
Status Air Bekas Membasuh Najis Anjing Babi Pada Basuhan Pertama Sampai Keenam
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310 membagi pendapat ulama madzhab Syafi'i dalam tiga kategori yaitu najis, suci, najis untuk bekas basuhan pertama s/d keenam, sedang bekas basuhan ketujuh suci.
Bagi yang berpendapat najis, apakah najisnya mugholadzah atau mutawassithoh dan berapa kali harus dibasuh supaya suci ada dua pendapat. Berikut keterangan Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310:
فصل : الماء المتبقي من غسلات إناء ولوغ الكلب
فأما المنفصل من الماء في الغسلات السبع إذا أفردت كل غسلة منهن وميزت فقد اختلف فيه أصحابنا على ثلاثة مذاهب :
أحدها : وهو مذهب أبي القاسم الأنماطي أن جميعه نجس بناء على أصله في أن ما أزال النجاسة نجس .
والوجه الثاني : وهو مذهب أبي القاسم الداركي وطائفة أن جميعه طاهر : لأنه ماء مستعمل ، ولكل غسل حظ من تطهير الإناء .
والوجه الثالث : وهو قول أبي إسحاق المروزي وجمهور أصحابنا أن ماء الغسلة السابعة طاهر : لأن بها طهر الإناء ، وما قبل السابعة ، من الأولى إلى السادسة نجس لانفصاله [ ص: 310 ] عن المحل مع بقاء نجاسته ، فإذا قيل بنجاسة ذلك وجب غسل ما أصابه ذلك الماء من بدن أو ثوب وفي قدر غسله وجهان :
أحدهما : يغسله مرة واحدة : لأنه ماء نجس ، ولأنه أيسر من سائر الأنجاس لتأثيره في تطهير غيره .
والوجه الثاني : أن يغسل بعدد ما بقي إلى السبع من الغسلة التي أصابته ، فإن كان من الغسلة الأولى وجب أن يغسله ستا : لأن سبع الولوغ قد يسقط بالغسلة الأولى وهي ستة أسباعه ، وإن كان من الغسلة الثانية ، وجب أن يغسله خمسا وإن كان من الثالثة غسله أربعا وإن كان من الرابعة غسله ثلاثا ، وإن كان من الخامسة غسله مرتين وإن كان من السادسة غسله مرة ، ولأن الباقي سبع الولوغ ، وإن كان من السابعة غسله مرة ويكون حكم الولوغ ساقطا ، وحكم النجاسة باقيا ، هذا إذا قيل إن المنفصل نجس ، فأما إذا قيل إن المنفصل عن الإناء طاهر ، ففي وجوب غسل ما أصاب وجهان :
أحدهما : لا يجب : لأن غسل الظاهر لا يلزم .
والوجه الثاني : يجب غسله لما تعلق عليه من غسل الولوغ المستحق الغسل فعلى هذا في قدر غسله وجهان :
أحدهما والثاني : بعدد ما بقي إلى السبع من الغسلة التي أصابت على ما وصفناه .
Artinya: Fashal air sisa membasuh wadah yang dijilat anjing
Adapun air yang dipakai dalam basuhan yang tujuh apabila disendirikan dari tiap-tiap basuhan, maka ulama madzhab Syafi'i terbagi dalam 3 pendapat. Pertama, masing-masing air bekas basuhan itu najis berdasarkan pada hukum asal air bekas menghilangkan najis adalah najis.
Kedua, masing-masing bekas basuhan yang tujuh itu suci. Karena ia air mustakmal. Dan masing-masing basuhan itu memiliki bagian dalam menyucikan wadah.
Ketiga, air basuhan yang ketujuh hukumnya suci. Sedangkan basuhan sebelumnya dari pertama sampai keenam hukumnya najis karena terpisah dari tempat sedang najisnya masih ada.
Apabila mengikuti pendapat ini, maka wajib membasuh benda atau badan yang terkena bekas air basuhan ini. Adapun jumlah basuhan yang harus dilakukan ada dua pendapat: Pertama, cukup dibasuh satu kali saja. Kedua, harus dibasuh menurut jumlah yang tersisa dari tujuh pada basuhan yang terkena. (Misalnya, apabila cipratan air itu pada basuhan yang pertama, maka membasuhnya enam kali, dst.)
- 3). Cara Menghilangkan Najis Hukmiyah (النجاسة الحكمية)
Adapun menghilangkan atau menyucikan najis hukmiyah adalah sama dengan menyucikan najis ringan (mukhaffafah) yaitu dengan menyiramkan air suci pada najis hukmiyah tersebut sampai merata walaupun air itu tidak mengalir.
Najis Anjing Menurut Empat Madzhab
Madzhab yang empat yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali memiliki perbedaan pendapat tentang najisnya anjing sebagai berikut:
1). Madzhab Syafi'i: menghukumi bahwa seluruh bagian anjing adalah najis baik badan, bulu, lendir, keringat dan air liurnya.
Adapun cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan 7 kali air salah satunya dicampur dengan tanah. Namun ada pendapat dalam madzhab Syafi'i yang menyatakan yang wajib dibasuh 7 kali itu adalah yang terkena air ludah anjing sedangkan yang selain itu cukup dibasuh satu kali ini berdasar pendapat Imam Nawawi dalam kitab Raudhah dan Al-Majmuk seperti dikutip dari kitab Kifayatul Akhyar 1/63.
قال النووي في أصل الروضة : وفي وجه شاذ أنه يكفي غَسل ما سوى الولوغ مرة ، كغسل سائر النجاسات ، وهذا الوجه قال في شرح المهذب : إنه مُتَّجَه وقوي من حيث الدليل ؛ لأن الأمر بالغسل سبعًا إنما كان ليُنَفرهم عن مؤاكلة الكلاب
Artinya: Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudah: Menurut pendapat yang langka (syadz), cukup membasuh satu kali pada najis anjing selain bekas jilatan sebagaimana membasuh najis yang lain. Pendapat ini dikatakan Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab: Pendapat ini diunggulkan dan kuat dari sisi dalil karena perintah membasuh tujuh kali itu untuk membersihkan dari bekas makan anjing.
Adapun sabun dapat berfungsi sebagai pengganti tanah untuk menyucikan najis anjing menurut salah satu pendapat seperti dikutip dalam kitab Kifayatul Akhyar 1/63 sbb:
وهل يقوم الصابون والأشْنَان مقام التراب ؟ فيه أقوال ، أحدها : نعم ، كما يقوم غير الحجر مقامه في الاستنجاء ، وكما يقوم غير الشَّب والقَرْظ في الدباغ مقامه ، وهذا ما صححه النووي في كتابه (رءوس المسائل) . والأظهر في الرافعي والروضة وشرح المهذب أنه لا يقوم ؛ لأنها طهارة متعلقة بالتراب فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم . والقول الثالث : إن وُجد التراب لم يَقُمْ ، وإلا قام . وقيل : يقوم فيما يفسده التراب كالثياب دون الأواني .
Artinya: Apakah sabun dan lumut bisa berfungsi sama dengan debu? Ada beberapa pendapat. Pertama, iya. Sebagaimana berfungsinya selain batu sama dengan batu dalam istinjak (Jawa, cewok)... Ini adalah pendapat yang disahihkan Nawawi dalam kitabnya Ru'us al-Masa'il. Yang paling dhahir dalma pendapat Rofi'i, Raudah dan Al-Majmuk adalah tidak karena kesuciannya berkaitan dengan debu maka yang lain tidak bisa disamakan. Pendapat ketiga, apabila ada debu maka yang lain tidak dianggap. Kalau tidak ada debu, maka sabun bisa dijadikan pengganti. Menurut satu pendapat: sabun bisa berfungsi seperti debu pada benda yang bisa rusak dengan debu seperti baju, bukan wadah.
2). Madzhab Maliki: berpendapat bahwa anjing yang hidup adalah suci baik badannya, bulunya maupun air liurnya. Adapun mencuci wadah yang bekas dijilat anjing maka hukumnya ta'abhudi (sunnah).
3). Madzhab Hanafi: berpandangan bahwa badan dan bulu anjing itu suci. Sedang air liur anjing adalah najis. Cara menyucikannya cukup 3 (tiga) kali.
4). Madzhab Hanbali: ada dua pendapat di antara ulama madzhab Hanbali yaitu (a) anjing itu najis baik badannya, bulunya maupun air liurnya; (b) Badan dan bulu anjing itu suci. Hanya air liurnya yang najis.
Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah menyatakan:
ومنها الكلب . والخنزير المالكية قالوا : كل حي طاهر العين ولو كلبا . أو خنزيرا ووافقهم الحنفية على طهارة عين الكلب ما دام حيا على الراجح إلا أن الحنفية قالوا بنجاسة لعابه حال الحياة تبعا لنجاسة لحمه بعد موته فلو وقع في
بئر وخرج حيا ولم يصب فمه الماء لم يفسد الماء وكذا لو انتفض من بلله فأصاب شيئا لم ينجسه ) وما تولد منهما أو من أحدهما ولو مع غيره أما دليل نجاسة الكلب فما رواه مسلم عن النبي صلى الله عليه و سلم وهو " إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات وأما نجاسة الخنزير فبالقياس على الكلب لأنه أسوأ حالا منه لنص الشارع على تحريمه وحرمة اقتنائه
Artinya: Anjing dan babi. Madzhab Maliki berpendapat setiap sesuatu yang hidup itu suci walaupun anjing atau babi. Madzhab Hanafi sepakat atas kesucian anjing selagi hidup menurut pendapat yang rajih (unggul) kecuali bahwa Hanafi berpendapat atas najisnya air liur anjing saat hidup karena mengikuti pada najisnya daging anjing setelah matinya. Apabila ada anjing jatuh ke dalam sumur lalu keluar dalam keadaan hidup sedang mulutnya tidak mengenai air sumur,maka airnya tidak najis. Begitu juga basahnya anjing tidak najis apabila menimpa sesuatu. Hewan yang dilahirkan dari kedua anjing dan babi atau dari salah satunya walaupun dengan hewan lain. Adapun dalil najisnya anjing adalah hadits riwayat Muslim dari Nabi: "Apalagi anjing menjilat wadah kaliah, maka alirkan air dan basuhlah wadah itu tujuh kali." Adapun najisnya babi maka itu berdasarkan pada analogi (qiyas) pada najis anjing karena babi lebih buruk perilakunya dibanding anjing dan karena ada teks Quran atas keharamannya dan haramnya memilikinya.
Hukum Memelihara Anjing
Hukum memelihara anjing sebagai binatang peliharaan (pet) adalah haram kecuali untuk keperluan menjaga atau berburu yang terakhir ini boleh karena darurat. Ini kesepakatan ulama termasuk mereka yang menganggap anjing tidak najis berdasarkan pendapat ulama yang dikutip Al-Jaziri di atas dan juga pandangan Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim 3/186 sebagai berikut:
رخص النبي صلى الله عليه وسلم في كلب الصيد وكلب الغنم، وفي الرواية الأخرى وكلب الزرع ونهى عن اقتناء غيرها، وقد اتفق أصحابنا وغيرهم على أنه يحرم اقتناء الكلب لغير حاجة، مثل أن يقتني كلباً إعجاباً بصورته أو للمفاخرة به، فهذا حرام بلا خلاف
Artinya: Nabi memberi dispensasi atau keringanan (rukhsoh) pada anjing pemburu, anjing penggembala kambing, dan dalam riwayat hadits yang lain anjing penjaga tanaman. Nabi melarang memelihara lainnya. Ulama madzhab Syafi'i dan lainnya sepakat bahwa haram memelihara anjing tanpa ada keperluan seperti memiliki anjing karena takjub pada bentuknya atau untuk kebanggaan. Ini semua haram tanpa perbedaan ulama.
Najis Babi Menurut Empat Madzhab
Hukum babi sama statusnya dengan anjing. Mayoritas madzhab menganggapnya najis kecuali madzhab Maliki. Lihat detailnya di Hukum Najis Anjing Menurut Empat Madzhab. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa najis babi hanyalah najis biasa seperti hewan yang lain sebagaimana pendapat berikut ini:
Apa Najis Babi Sama Dengan Najis Anjing?
Babi adalah najis. Allah berfirman dalam QS Al-An'am 145. Rijs dalam ayat tersebut bermakna najis menurut mayoritas ulama. Namun apakah najis babi sama dengan najis anjing? Ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, 1/448 menyatakan:
وذهب أكثر العلماء إلى أن الخنزير لا يفتقر إلى غسله سبعاً، وهو قول الشافعي، وهو قوي في الدليل
Artinya: Kebanyakan ulama berpendapat bahwa najis babi tidak perlu dibasuh 7 kali. Ini pendapat Imam Syafi'i dan pendapat ini cukup kuat dalilnya.
Kaidah Fiqih Terkait Najis
أما الثوب فإن زالت النجاسة ولم يبق أثر لها (طعم، ريح، لون) فهو طاهر، وإن بقي لون فقط، أو ريح فقط عسر زوالهما، فطاهر أيضا وإن بقي طعم عسر زواله، أو لون وريح معا فالثوب متنجس
Artinya: Baju apabila hilang najisnya dan tidak ada bekasnya (rasa, bau, warna), maka hukumnya suci. Apabila tampak warna (najis)-nya saja, atau baunya saja yang sulit dihilangkan, maka suci. Apabila masih ada rasa dan sulit hilang; atau warna dan bau secara bersamaan, maka hukumnya mutanajjis (terkena najis).
Baca Juga> Air Ghusalah (Air bekas mencuci najis).
Cara Menghilangkan Atau Menyucikan Najis Menurut Empat Madzhab
- 1). Menghilangkan Najis Dengan Benda Cair Selain Air
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Pendapat kedua, najis tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Ini pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad dan Zafar dari madzhab Hanafi.
- 2). Menghilangkan Najis Dengan Alat Modern
Dalam mazhab Syafi'i, air adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan najis dan menyucikan sesuatu yang terkena najis. Namun ada ulama dalam mazhab lain menyatakan bahwa najis bisa dhilangkan dengan selain air.
- 3). Menghilangkan Najis Dengan Uap
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis. Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis. Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan memakai air untuk menghilangkan najis.
- 4). Menghilangkan Najis Dengan Digaruk Dan Digosok
Ada tiga pendapat ulama dalam soal ini:
Pertama: Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggosok najis dapat menyucikan pada sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus kaki khusus musim dingin). Maka menggosok tidak dapat menyucikan baju kecuali mani (sperma) saja. Mereka mensyaratkan najis tersebut harus berupa benda padat (jazm). Apabila berupa kencing maka tidak dapat disucikan dengan digosok atau dikerik dan harus dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua tentang apakah disyaratkan dalam benda padat itu kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri mensyaratkan harus kering. Kalau basah maka harus dibasuh dengan air. Sedangkan Abu Yusuf tidak mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat yang basah juga bisa disucikan dengan digosok atau dikerik.
Kedua, Madzhab Maliki membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Apabila kaki terkena najis, maka harus disucikan dengan air. Adapun sandal dan muza (khuf), maka menggosok hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan dan kencingnya baik kering atau basah. Apabila najisnya itu selain dari kotoran hewan dan kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.
Ketiga, wajib membasuh kaki perempuan dan muza secara mutlak. Ini pendapat Qaul Jadid dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim dari madzhab Syafi'i adalah membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Maka, kaki wanita harus dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak perlu membasuh najis yang mengenai bagian bawah sandal setelah digosok apabila dalam keadaan kering.
- 5). Menghilangkan Najis Dengan Dibakar Api
Pendapat ulama dalam soal ini terbagi dua:
Pertama, Madzhab Maliki dan sebagian madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran apabila merubah benda yang najis dari segi sifatnya sampai menjadi benda lain seperti bangkai apabila dibakar menjadi abu, maka ia suci. Apalagi apabila benda ini asalnya suci lalu terkena najis seperti baju apabila terkena najis, maka ia menjadi suci dengan dibakar dengan syarat berubah sifat-sifatnya.
Kedua, Madzhab Syafi'i, sebagian Maliki, sebagian Hanafi, dan pendapat masyhur dari madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran tidak menjadikan suatu benda menjadi benda lain. Ia tetap najis baik benda itu asalnya najis atau terkena najis. Karena yang tersisa dari pembakaran itu merupakan bagian dari benda najis.
Kedua, Madzhab Syafi'i, sebagian Maliki, sebagian Hanafi, dan pendapat masyhur dari madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran tidak menjadikan suatu benda menjadi benda lain. Ia tetap najis baik benda itu asalnya najis atau terkena najis. Karena yang tersisa dari pembakaran itu merupakan bagian dari benda najis.
- 6). Menghilangkan Najis Dengan Sinar Matahari
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini.
Pertama, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi apabila terkena najis lalu kering oleh sinar matahari maka ia menjadi suci dengan kesucian yang bersifat dugaan (dzanni) yakni boleh melakukan shalat di tempat itu tapi tidak boleh bertayammum dengannya karena salah satu syarat tayammum harus dengan tanah yang pasti sucinya (QS An-Nisa 4:43).
Kedua, Madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Zafar dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering. Maka tidak boleh melaksanakan shalat di tempat itu juga tanahnya tidak boleh dibuat tayammum.
- 7). Menghilangkan Najis Dengan Samak
Ada empat perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Perbedaan ini timbul dari perbedaan mereka dalam menyikapi soal najis atau sucinya hewan yang hidup. Yang berpendapat hewan hidup itu najis, maka samak tidak menyucikan dan tidak halal mengambil manfaat darinya. Bagi yang berpendapat bahwa hewan hidup itu suci, maka samak itu menyucikan dan boleh mengambil manfaat darinya.
Pertama, samak itu menyucikan seluruh kulit bangkai kecuali kulit babi. Ini pendapat madzhab Hanafi.
Kedua, samak itu tidak menyucikan kulit. Ini pendapat madzhab Maliki dan sebagian pendapat dalam madzhab Hanbali.
Ketiga, samak itu menyucikan kulit bangkai kecuali anjing dan babi dan yang lahir dari salah satunya. Ini pendapat madzhab Syafi'i.
Keempat, samak menyucikan kulit bangkai hewan yang dapat dimakan dagingnya dan tidak dapat menyucikan yang lain. Ini pendapat lain dari madzhab Hanbali.
=========================
DAFTAR PUSTAKA
1. أبو زكريا يحيى بن شرف النووي dalam kitab روضة الطالبين وعمدة المفتين
2. أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي dalam kitab تحفة المحتاج في شرح المنهاج
3. شِهَابُ الدينِ أحمدُ بنُ الحسينِ بنِ أحمدَ أبو شجاعٍ الأصفهانيُّ العبَّاداني dalam kitab متن الغاية والتقريب المعروفِ بـ(متنِ أبي شجاع
4.محمد بن شهاب الدين الرملي dalam kitab نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج
5. محمد بن إدريس الشافعي dalam kitab الأم
6. عبدِ الله الهَرَرِيِّ dalam kitab بغية الطالب
7. فتح القريب المجيب ابن القاسم الغزي
8. Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah
9. Kifayatul Akhyar
10. Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim
12. Kitab-kitab yang dipakai rujukan dalam soal menghilangkan najis menurut madzhab empat antara lain:
بدائع الصنائع
البحر الرائق شرح كنز الدقائق
مراقي الفلاح
مجموع الفتاوى
إقامة الدليل على إبطال التحليل
شرح خليل للخرشي
القوانين الفقهية لابن جزى
أسنى المطالب في شرح روض الطالب
الحاوي الكبير للماوردي
المجموع شرح المهذب
حاشية الروض المربع
الإنصاف
المحيط البرهاني للإمام برهان الدين ابن مازة
زفر بن الهذيل بن قيس العنبري