إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى أَيْضًا: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah!
Sebagai seorang muslim, kita selalu diarahkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah agar senantiasa meningkatkan makrifat atau pengenalan diri kita kepada Dzat Pemelihara alam semesta, Allah swt. Bermakrifat kepada Allah merupakan salah satu bagian dari ibadah /yang paling mulia dan luhur bagi setiap muslim. Mengenal Allah dengan makrifat yang sempurna merupakan pondasi yang teramat kokoh bagi seluruh keyakinan dan kehidupan rohani seseorang.
Bermakrifat kepada Allah merupakan sumber dari kepercayaan dan keimanan yang diajarkan Islam, seperti kepercayaan kepada malaikat, para nabi dan rasul, kitab-kitab suci, hari akhirat dan kepercayaan lain yang harus diyakini oleh setiap pribadi mukmin. Mengenal Allah swt bisa dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan cara memahami asma (nama-nama) Allah yang mulia dan agung, yang biasa dikenal dengan sebutan al-asma al-husna, atau bermakrifat dengan menggunakan akal fikiran.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibekali akal dan fikiran oleh Allah swt diarahkan agar selalu menggunakan karunia yang agung ini sesuai dengan fungsinya yang sangat dominan. Seluruh anggota tubuh manusia mempunyai tugas masing-masing yang berbeda (job description). Tugas tersebut harus terus dipikul oleh setiap insan dan tidak pernah berhenti selama hayat masih dikandung badan.
Tugas akal fikiran adalah memikirkan, menganalisa, memeriksa, mengamati, dan meneliti hal-hal yang perlu diperhatikan. Apabila akal dan fikiran yang kita miliki dan amat berharga itu tidak digunakan dengan semestinya, maka akan sia-sialah karunia yang mulia itu, sehingga akan menyebabkan kebekuan dan kejumudan dalam menjalani rona-rona kehidupan.
Ajaran Islam menghendaki agar akal yang dimiliki setiap insan itu digunakan sebaik-baiknya, segera bekerja melepaskan belenggu yang mengekangnya, cepat bangkit dari tidur nyenyaknya, kemudian mulai memikirkan, menganalisis, memperhatikan, dan meneliti setiap hal yang ada di sekitarnya. Kegiatan seperti ini termasuk dalam inti peribadatan yang bermutu terhadap Allah swt, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Katakanlah, perhatikanlah olehmu segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi...” (QS. Yunus, 10:101).
Seorang mukmin dibimbing oleh al-Qur’an agar selalu mengadakan pemikiran terhadap segala sesuatu yang dijumpainya, kemudian dari pemikiran itu akan diperoleh pelajaran-pelajaran yang berharga bagi dirinya dan bagi masyarakatnya. Di samping mengadakan penyelidikan dan penelitian dalam segala bidang kehidupan, seorang mukmin juga diharapkan agar menyertakan niat yang tulus dan ikhlas untuk beribadah kepada Allah selama dalam proses penelitian tersebut. Dengan demikian, seorang mukmin yang diridhai oleh Allah adalah orang yang senantiasa menjaga keseimbangan (balance) antara beribadah dan berfikir. Setiap orang yang senantiasa menjaga keseimbangan antara berfikir, beribadah (mahdhah), dan beraktifitas, ia akan menjumpai bahwa kegiatan-kegiatan yang rutin dilakukannya itu ada yang bersifat ta’abbudi (ritual) dan ta’aqquli (rasional). Allah swt berfirman, “Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (QS. Saba, 34:46).
Orang-orang yang mengingkari karunia akal dan fikiran yang agung itu dengan tidak menggunakannya sebaik mungkin, maka mereka akan tercampakkan dalam lembah kehinaan dan kenistaan. Kerendahan dan kehancuran akan menimpa mereka dalam kehidupan di dunia sekarang ini, lebih-lebih di akhirat nanti. Manusia yang berkarakter seperti di atas sungguh sangat dicela oleh al-Qur’an yang mengemban nilai-nilai kebenaran. Di samping itu mereka pun akan dicemooh dan disingkirkan oleh orang-orang cerdik-cendekia karena sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai peradaban yang semakin berkembang. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lewati, tetapi mereka tidak memperhatikannya.” (QS. Yusuf, 12:105)
Dalam realita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang ini, banyak dijumpai orang-orang yang berpaling dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, padahal tanda-tanda tersebut sering bahkan selalu mereka dapati dengan jelas di depan mata. Kendati peringatan demi peringatan terus berkali-kali diarahkan, mereka tetap saja tidak mau menolehnya. Mata hati mereka telah tertutup dengan kesombongan, dosa, dan kemunafikan. Inilah maksud ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.” (QS. Yasin, 36:46).
Tidak berfungsinya akal fikiran seseorang menurut cara yang semestinya, akan menjadikan status dan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berakal menurun, dari makhluk yang terpuji menjadi makhluk yang paling rendah dan hina, sebagaimana yang disinggung dalam ayat al-Qur’an, “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. al-Tin, 95:1-6).
Apabila seorang manusia tidak beriman kepada Allah dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi, maka ia sungguh akan menjadi ‘monster’ yang paling berbahaya dibanding dengan makhluk apapun di muka bumi ini. Kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh orang seperti ini akan menjadi bumerang bagi kelangsungan tatanan hidup yang sudah tertanam beradab-abad tahun lamanya. Asumsi tersebut diperkuat oleh adanya bukti-bukti yang terjadi di masa sekarang ataupun di masa-masa yang telah lampau. Oleh karena itu, kita tidak merasa heran jika tindakan mereka brutal, tanpa perikemanusiaan, dan membabi buta untuk melampiaskan nafsu duniawi sesaat, tanpa berpikir atau memikirkan dampak yang timbul dari perilakunya. Dalam al-Qur’an, mereka dianggap seperti hewan yang tidak menggunakan akal dan fikiran dalam mengambil tindakan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Sebab binatang berkelakuan amoral karena tidak dikarunia akal dan fikiran, sementara manusia yang amoral itu karena mereka tidak menggunakan akal dan fikiran yang telah dikaruniakan kepada mereka. Dalam hal ini, Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7:179).
Bermakrifat kepada Allah dengan akal fikiran artinya adalah bahwa kita harus meningkatkan daya mengenal kita kepada Sang Pencipta (al-Khaliq) dengan memikirkan ayat-ayatnya, baik yang tertulis (yaitu al-Qur’an) maupun yang terhampar (yaitu segala ciptaan-Nya di muka bumi ini). Dengan memikirkan, menganalisis, memperhatikan, meneliti, dan mengkaji itu semua, kita akan memperoleh makrifat atau pengenalan kepada Allah swt yang lebih sempurna.
Kita tidak bisa memikirkan Dzat Allah karena hal itu berada di luar jangkauan akal manusia. Apabila seseorang memikirkan Dzat Allah, maka ia akan tersesat dan terjerembab dalam noda-noda syirik. Sebuah riwayat yang diabadikan oleh al-Qur’an tentang keinginan Nabi Musa as untuk melihat Tuhannya menggambarkan bahwa manusia, hatta setingkat Nabi, tidak akan mampu menjangkau Dzat Tuhannya secara kongkrit. Lebih lengkapnya, ayat al-Qur’an yang bercerita tentang hal ini adalah sebagai berikut, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. al-A’raf, 7:143).
Alangkah baiknya jika kita mencontoh sosok Nabi Ibrahim dalam petualangannya untuk bermakrifat kepada Allah, sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’an, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. al-An’am, 6:76-79). Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang berbunyi, “Renungkanlah semua makhluk Allah dan jangan sesekali memikirkan Dzat-Nya, karena akal fikiranmu tidak akan mampu menjangkau-Nya.”
Makrifat Menuntun Manusia Untuk Bersyukur
Setiap insan yang mempergunakan akalnya untuk bermakrifat kepada Allah, maka kualitas imannya akan lebih sempurna dan lebih tinggi dari iman yang dimiliki orang awam. Seorang dokter yang memahami secara detail bagaimana fungsi dari organ-organ tubuh manusia, ia akan merasakan keagungan dan kekuasaan Allah begitu kuat dalam dirinya. Dengan menghayati keagungan dan kekuasaan Allah itu, maka kualitas imannya akan semakin sempurna. Demikian juga para ilmuwan lainnya dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ahli biologi, geologi, astronomi, fisika, teknologi, dan sebagainya, mereka akan menyelami makrifat kepada Allah dengan melalui bidang ilmu yang ditekuninya. Dan tentu saja ilmu mereka, jika digunakan semestinya, akan mengantarkan kualitas iman mereka pada tingkat yang lebih sempurna.
Orang yang tidak memiliki ilmu dan tidak mau menggunakan akal fikirannya dengan baik, akan sedikit sekali mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Bahkan sebaliknya, mereka sering mengeluh terhadap semua hal yang dialaminya dalam menjalani hidup ini. Ketika hujan turun, mereka mengeluh karena beberapa pekerjaannya terbengkalai. Begitu pula ketika ada terik panas matahari, mereka mengeluhkannya karena panasnya terasa menyengat kulit. Bahkan ketika mereka menemukan buah-buahan yang rasanya asam, maka mereka langsung memaki-makinya, tanpa berfikir bahwa semuanya itu adalah hasil kreasi Allah Sang Maha Pencipta.
Orang yang beriman dan menggunakan akal fikirannya tidak akan berbuat seperti itu. Mereka tidak banyak mengeluhkan hal-hal yang mereka jumpai di alam ini, bahkan mereka selalu menanggapinya dengan penuh bersyukur kepada-Nya. Di saat orang yang berilmu itu menjumpai panas, ia akan merasakan dan mengetahui betapa banyaknya manfaat dari panas matahari itu untuk manusia. Ia menganggap hal itu sebagai karunia Allah yang sangat berharga. Oleh karena itu, ia memanfaatkanya sehingga dapat menghasilkan sumber energi tenaga surya, pertanian, dan manfaat lainnya yang sangat berguna bagi manusia. Ketika ia menjumpai hujan, hal itu ia rasakan sebagai suatu karunia Allah, karena dengan curah hujan tersebut, kelangsungan hidup semua makhluk dapat terjamin dengan baik. Bahkan ketika ia menemukan buah jeruk yang asam sekalipun, ia cepat-cepat bersyukur dan mengetahui betapa banyaknya kandungan vitamin C yang ada di dalamnya, dan hal itu sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Semua yang disebutkan di atas sekedar contoh saja, masih banyak lagi contoh-contoh dan perumpamaan-perumpamaan lainnya di muka bumi ini yang bisa digali dan diselami dari berbagai peristiwa yang sering dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk dicarikan manfaat dari penciptaan itu semua. Yang jelas, sungguh tidak sama antara orang yang berilmu dengan orang yang awam, juga antara mereka yang mempergunakan akalnya dengan yang tidak menggunakannya.
Kumpulan Teks Khutbah Jumat dalam Bahasa Arab Khutbah Jumat Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتًهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ