Kasih sayang merupakan salah satu kesempurnaan yang ada pada diri manusia. Dengan rasa kasih sayang, seseorang dapat merasakan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain. Dan dengan rasa kasih sayang tersebut mereka berusaha untuk menghilangkan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain. Tanpa rasa kasih sayang manusia akan turun derajatnya sehingga setara dengan hewan. Bahkan lebih buruk dari hewan, karena hewan masih memiliki rasa kasih sayang seperti seekor induk ayam rela mengerami telur-telur hingga menetas. Ketika telah lahir, anak-anaknya pun tidak dibiarkan begitu saja. Mereka diajari untuk mencari makan, bertahan untuk hidup, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kekejaman merupakan kemunduran dari fitrah manusia dan merosotkan kedudukannya ke tingkat nafsu hayawaniyah (hewani) dan bahkan lebih jauh lagi ke tingkat benda yang tidak berkesadaran dan tidak bergerak.
Merupakan suatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa sifat ini dapat membuat orang turut serta merasakan penderitaan orang lain, turut merasa gembira bila melihat orang lain senang yang dapat mempersatukan individu manusia menjadi satu tubuh, satu hati, dan satu semangat. Apabila sifat ini telah tertanam dalam jiwa seseorang, maka betatapun besarnya kesulitan yang dihadapi tentu dapat teratasi. Tetapi sebaliknya, betapapun bagus dan rapinya sistem pemerintahan yang ada di dunia ini tidak akan banyak manfaatnya jika tidak didasari dengan rasa kasih sayang.
Sebagai agama, Islam mengakui adanya prinsip-prinsip kemanusiaan. Manusia bukanlah malaikat yang selalu berbuat kebaikan. Dan manusia juga bukan syetan yang selalu melakukan dan mengajak kepada hal-hal yang buruk. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang memiliki daya tanggap dan perasaan, mempunyai keinginan, hasrat dan harapan.
Ungkapan dan ekspresi kasih sayang adakalnya nampak formal dan adakalanya tidak terlihat (abstrak) karena kasih sayang adalah cerminan dan refleksi hati. Kasih sayang bukanlah rasa kasihan tanpa disertai akal pikiran yang sehat (rasional) dan bukan pula rasa kasihan tanpa mengindahkan keadilan dan ketertiban. Bukan kasih sayang yang membabi buta, tanpa batas sehingga menyepelekan norma dan tanpa dasar ajaran yang jelas. Kasih sayang justru merupakan ungkapan perasaan yang wajib mengindahkan dan menghargai kewajiban tersebut di atas.[1]
Idealitas kasih sayang yang dituntut oleh agama ialah seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Beliau telah mengajarkan bahwa ukuran kasih sayang optimal yang semetinya diberikan kepada makhluk Allah adalah seperti kasih sayang pada diri sendiri. Sebaliknya jika kasih saying pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan kasih sayuang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak beriman”. Dengan demikian, kualitas keimanan menunjukkan kepekaan rasa untuk mengasihi orang lain.[2] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ[3]
Bentuk kasih sayang Rasul sangat terlihat dari keseharian beliau. Dalam suatu hadis yang diriwiyatkan oleh Abu Hurairah ra. Nabi bersabda:
حدثنا أبو اليمان: أخبرنا شعيب، عن الزُهري: حدثنا أبو سلمة بن عبد الرحمن: أن أبا هريرة رضي الله عنه قال:
قبل رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن بن علي وعنده الأقرع بن حابس التميمي جالساً، فقال الأقرع: إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحداً، فنظر إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال: من لا يرحم لا يرحم[4]
Tampak jelas rasa kasih sayang atau cinta Rasul yang pada konteks hadis tersebut ditujukan kepada Hasan bin Ali ra. cucu beliau. Ini merupakan suatu pelajaran bagi sahabat Aqra’ bin Habis, karena ia tidak pernah mengekspresikan rasa kasih sayangnya kepada sepuluh anaknya. Sehingga nabi menyimpulkan bahwa orang yang tidak mengasihi orang lain maka ia tidak akan dikasihi. Pernyataan ini memiliki makna yang sangat luas. Manusia sebagai makhluk sosial harus memiliki rasa kasih sayang kepada setiap makhluk yang ada di muka bumi. Sangat aneh kemudian jika ada orang yang tidak memiliki rasa kasih sayang dalam dirinya, karena setiap hari ia pasti berinteraksi dengan lingkungannya, baik itu manusia yang lain, hewan, atau tumbuhan. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya bagi setiap individu untuk memupuk rasa kasih sayang dalam diri agar senantiasa terjadi hubungan timbal balik yang baik antar sesama makhluk.
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي قَابُوسَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ[5]
Merupakan suatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa sifat ini dapat membuat orang turut serta merasakan penderitaan orang lain, turut merasa gembira bila melihat orang lain senang yang dapat mempersatukan individu manusia menjadi satu tubuh, satu hati, dan satu semangat. Apabila sifat ini telah tertanam dalam jiwa seseorang, maka betatapun besarnya kesulitan yang dihadapi tentu dapat teratasi. Tetapi sebaliknya, betapapun bagus dan rapinya sistem pemerintahan yang ada di dunia ini tidak akan banyak manfaatnya jika tidak didasari dengan rasa kasih sayang.
Sebagai agama, Islam mengakui adanya prinsip-prinsip kemanusiaan. Manusia bukanlah malaikat yang selalu berbuat kebaikan. Dan manusia juga bukan syetan yang selalu melakukan dan mengajak kepada hal-hal yang buruk. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang memiliki daya tanggap dan perasaan, mempunyai keinginan, hasrat dan harapan.
Ungkapan dan ekspresi kasih sayang adakalnya nampak formal dan adakalanya tidak terlihat (abstrak) karena kasih sayang adalah cerminan dan refleksi hati. Kasih sayang bukanlah rasa kasihan tanpa disertai akal pikiran yang sehat (rasional) dan bukan pula rasa kasihan tanpa mengindahkan keadilan dan ketertiban. Bukan kasih sayang yang membabi buta, tanpa batas sehingga menyepelekan norma dan tanpa dasar ajaran yang jelas. Kasih sayang justru merupakan ungkapan perasaan yang wajib mengindahkan dan menghargai kewajiban tersebut di atas.[1]
Idealitas kasih sayang yang dituntut oleh agama ialah seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Beliau telah mengajarkan bahwa ukuran kasih sayang optimal yang semetinya diberikan kepada makhluk Allah adalah seperti kasih sayang pada diri sendiri. Sebaliknya jika kasih saying pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan kasih sayuang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak beriman”. Dengan demikian, kualitas keimanan menunjukkan kepekaan rasa untuk mengasihi orang lain.[2] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ[3]
Bentuk kasih sayang Rasul sangat terlihat dari keseharian beliau. Dalam suatu hadis yang diriwiyatkan oleh Abu Hurairah ra. Nabi bersabda:
حدثنا أبو اليمان: أخبرنا شعيب، عن الزُهري: حدثنا أبو سلمة بن عبد الرحمن: أن أبا هريرة رضي الله عنه قال:
قبل رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن بن علي وعنده الأقرع بن حابس التميمي جالساً، فقال الأقرع: إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحداً، فنظر إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال: من لا يرحم لا يرحم[4]
Tampak jelas rasa kasih sayang atau cinta Rasul yang pada konteks hadis tersebut ditujukan kepada Hasan bin Ali ra. cucu beliau. Ini merupakan suatu pelajaran bagi sahabat Aqra’ bin Habis, karena ia tidak pernah mengekspresikan rasa kasih sayangnya kepada sepuluh anaknya. Sehingga nabi menyimpulkan bahwa orang yang tidak mengasihi orang lain maka ia tidak akan dikasihi. Pernyataan ini memiliki makna yang sangat luas. Manusia sebagai makhluk sosial harus memiliki rasa kasih sayang kepada setiap makhluk yang ada di muka bumi. Sangat aneh kemudian jika ada orang yang tidak memiliki rasa kasih sayang dalam dirinya, karena setiap hari ia pasti berinteraksi dengan lingkungannya, baik itu manusia yang lain, hewan, atau tumbuhan. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya bagi setiap individu untuk memupuk rasa kasih sayang dalam diri agar senantiasa terjadi hubungan timbal balik yang baik antar sesama makhluk.
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي قَابُوسَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ[5]
“Para pengasih akan dikasihi oleh Allah Yang Maha Pengasih, Mahasuci, dan Mahatinggi. Kasihilah makhluk yang ada di muka bumi, niscaya yang ada di langit (malaikat) akan mengasihi kalian.”
Dalam buku Nasaihul ‘Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan makhluk yang ada di muka bumi itu tidak hanya manusia, tetapi juga termasuk binatang yang kita tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Kita dianjurkan untuk mengasihi sesama manusia juga makhluk hidup lainnya dengan memberikan kasih sayang dan mendoakan mereka supaya mendapat rahmat Allah serta ampunan-Nya. Dengan begitu, malaikat yang ada di langit, yang jumlahnya lebih banyak daripada penduduk bumi akan mengasihi kita.
Namun, kita tidak diperkenankan untuk mendoakan seluruh kaum muslim supaya diampuni seluruh dosanya. Begitu pula kita dilarang mendoakan seorang yang sangat fakir agar memperoleh uang sebanyak 100 dinar, sementara tidak ada jalan atau upaya yang mudah baginya untuk bisa meraih uang tersebut, dengan mengatakan bahwa itu termasuk bentuk kasih sayang terhadap sesama makhluk, sebab yang demikian jelas bertentangan dengan nash-nash syara’.[6]
Selanjutnya, yang menjadi hal yang menjadi titik tekan adalah korelasi antara iman dan kasih sayang atau cinta. Dalam suatu teks hadis yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[7]
Tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah adalah sebagai berikut:
1) Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ali Imran: 31, yang artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2) Ia senantiasa ikhlas dalam mematuhi segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya, karena ikhlas merupakan ruhnya ibadah. Cinta kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlas, yakni tidak merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.[9]
Cinta kepada Nabi Muhammad saw. merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam. Cinta kepada nabi merupakan kelanjutan dari rasa iman kepada-Nya. Keimanan seseorang seakan masih diragukan jika belum bisa mencintai beliau. Cinta kepada nabi bisa menjadi inner power bagi seorang muslim untuk memperjuangkan misi-misinya. Dengan cinta, seseorang mau berkorban demi kekasihnya. Jangankan hanya harta, waktu, dan pikiran, nyawa pun akan dikorbankan demi kekasihnya. Begitu pula para sahabat nabi ketika mencintai Rasulullah pada zaman dahulu.[10]
Hal yang paling membahagiakan adalah kala kita bisa saling mencintai dengan sesama kita, dimana cinta itu berdasarkan kemuliaan dan keagungan. Dengan cinta tersebut, kita akan diantarkan menuju singgasana tertinggi yang penuh kenikmatan. Singgasana itu berada di dalam istana di atas istana, cinta di atas cinta, yaitu cinta yang tumbuh karena cinta dan ketaatan kepada-Nya. “Niscaya akan mendapatkan kecintaan-Ku untuk dua insan yang saling menyayangi karena Aku, dua insan yang duduk bersama karena Aku, dua insan yang saling mengunjungi karena Aku, dan dua insan yang tolong menolong karena Aku.” Ini adalah sebuah hadis Qudsi yang memberikan kabar baik tentang hikmah dan manfaat cinta yang berlandaskan kebaikan yang meniatkan segala yang dilakukan untuk mengharapkan ridha Allah swt.[11]
Cinta seharusnya dapat menjadi jembatan bagi iman, karena dengan cinta hati dan jiwa manusia yang begitu beragam warna dan rasa serasa terhubung dengannya. Cintalah yang kemudian membawa kita pada silaturahim dan saling bertaaruf satu sama lain.[12] Allah telah menjamin hamba-Nya yang mampu mencintai seseorang semata-mata mengharap ridha-Nya dengan keteduhan dan kenyamanan kelak di hari kiamat. Salah satu tanda kebesaran Allah adalah diciptakannya segala sesuatu dengan sistem keteraturan dan keseimbangan yang sangat hebat, apalagi tentang cinta. Cinta telah dilahirkan untuk sebuah konsistensi dan teratur bersemayam dalam hati. Keindahan cinta akan terus terpancarkan bila sistem hati dijaga dengan baik keteraturannya, sehingga cemburu, curiga dan patah hati tidak akan pernah ada.
Setiap orang yang dilanda cinta sesama makhluk tentu merasa sangat bahagia, meski tidak jarang ada juga yang berakhir dengan duka dan kecewa. Oleh sebab itu, harus bisa mengendalikan cintanya agar cintanya kepada sesama makhluk tidak sampai mengabaikan cintanya kepada sang Pencipta, Allah swt.
Cinta adalah perwujudan dari naluri mempertahankan jenis atau dalam bahasa Arab dikenal dengan gharizah al-nau’. Naluri ini jelas berbeda dengan kebutuhan jasmani dalam soal pemenuhannya. Pemenuhannya untuk kebutuhan jasmani mutlak dipenuhi. Seperti harus makan ketika lapar atau harus minum ketika haus. Lain halnya dengan naluri, pemenuhannya tidak mutlak. Meskipun tidak dipenuhi, tidak akan menyebabkan kematian. Hal yang mungkin timbul hanyalah gelisah. Akan tetapi, sebenarnya seseorang tidak perlu gelisah ketika kebutuhan nalurinya tidak terpenuhi, karena kegelisahan dapat berpengaruh pada kemampuan konsentrasi pikiran. Ketika seseorang gelisah, pikiran akan terpecah-pecah.
Selanjutnya, mengenai asal pengaruh rangsangannya juga berbeda. Kebutuhan jasmani ada dalam tubuh, sedangkan naluri dari luar. Oleh karena itu, naluri mempertahankan jenis ini tidak akan meluap-luap jika belum ada pengaruh dari luar. Contohnya, seseorang tidak akan jatuh cinta kepada lawan jenis bila ia tidak pernah tahu informasi tentang orang tersebut. Pada intinya, tidak diperbolehkan mendasari perilaku atas nama cinta sehingga mengakibatkan kelalaian terhadap aturan dari Allah dan rasul-Nya.[13]
Mencintai dan dicintai adalah fitrah manusia. Pada umumnya, tidak seorangpun di dunia ini yang tidak ingin dicintai. Manusia yang normal tentu menginginkan kedua hal tersebut. Namun, yang menjadi persoalan ialah tidak setiap orang mampu mengendalikan dan menyikapi rasa cinta yang ada. Bahkan, tidak sedikit orang yang akhirnya diperbudak oleh cinta. Cinta adakalanya kepada Allah dan rasul-Nya, kepada orang tua, sahabat, dan juga kekasih. Lalu, kemana seharusnya cinta sejati itu ditujukan?
Sahabat Anas bin Malik pernah meriwayatkan hadis yang artinya, “seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada Rasulullah. Bilakah berlakunya kiamat? Rasulullah bersabda: apakah persediaan kamu untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab: cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian Rasulullah menjawab: kamu akan tetap bersama orang-orang yang kamu cintai.” Cinta sejati, cinta yang suci adalah kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada yang lain. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa dilarang mencintai kepada selain Allah dan rasul-Nya. Asalkan cinta tersebut didasarkan pada dorongan cinta kepada Allah dan rasul-Nya, berarti itu merupakan hal yang baik.[14]
Catatan Kaki
[1] Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kaijaga, 2008), hlm. 87.
[2] Muhammad Yusuf, hlm. 91.
[3] Hadis Riwayat Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Iman, No. 12, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[4] Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Kitab Iman, No. 5651, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[5] Hadis Riwayat At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Birr wa al-Shilah ‘an Rasulillah, No. 1847, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif
[6] Imam Nawawi al-Bantani, Nashaihul ‘Ibad, (Semarang: Toha Putra, t.t), hlm. 3.
[7] Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Kitab Iman, No. 63, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[8] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf: Jalan Menuju Revolusi Spiritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 20.
[9] Tim Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Akhlak/Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 123. Selengkapnya, lihat Ahmad Rifa’i, Abyan al-Hawaij vol 2-4, (t.p. 1261 H), hlm. 155.
[10] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf..., hlm. 27-28.
[11] Muhammad Akrom, Cinta dalam Kaidah Fisika, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hlm. 49-50.
[12] Muhammad Akrom, hlm. 15.
[13] M. Nazhif Masykur dan Evi Ni’matuzzakiyah, Cinta Kita Beda!!, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2005), hlm. 28-31.
[14] M. Nazhif Masykur dan Evi Ni’matuzzakiyah, hlm 39-40.
[15] Islah Gusmian, Surat Cinta dari Tuhan: Hadis-hadis Qudsi Penerang Hati, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 94.
[16] Islah Gusmian, hlm. 99.
[17] Islah Gusmian, hlm. 103.
Namun, kita tidak diperkenankan untuk mendoakan seluruh kaum muslim supaya diampuni seluruh dosanya. Begitu pula kita dilarang mendoakan seorang yang sangat fakir agar memperoleh uang sebanyak 100 dinar, sementara tidak ada jalan atau upaya yang mudah baginya untuk bisa meraih uang tersebut, dengan mengatakan bahwa itu termasuk bentuk kasih sayang terhadap sesama makhluk, sebab yang demikian jelas bertentangan dengan nash-nash syara’.[6]
Selanjutnya, yang menjadi hal yang menjadi titik tekan adalah korelasi antara iman dan kasih sayang atau cinta. Dalam suatu teks hadis yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[7]
Artinya: “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sehingga Aku lebih dicintai olehnya dibanding anak, orang tua, dan manusia lainnya.” (HR. Muslim)
- A) Mencintai Allah
Tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah adalah sebagai berikut:
1) Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ali Imran: 31, yang artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2) Ia senantiasa ikhlas dalam mematuhi segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya, karena ikhlas merupakan ruhnya ibadah. Cinta kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlas, yakni tidak merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.[9]
- B) Mencintai Nabi
Cinta kepada Nabi Muhammad saw. merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam. Cinta kepada nabi merupakan kelanjutan dari rasa iman kepada-Nya. Keimanan seseorang seakan masih diragukan jika belum bisa mencintai beliau. Cinta kepada nabi bisa menjadi inner power bagi seorang muslim untuk memperjuangkan misi-misinya. Dengan cinta, seseorang mau berkorban demi kekasihnya. Jangankan hanya harta, waktu, dan pikiran, nyawa pun akan dikorbankan demi kekasihnya. Begitu pula para sahabat nabi ketika mencintai Rasulullah pada zaman dahulu.[10]
- C) Cinta Kepada Selain Allah dan Rasul-Nya
Hal yang paling membahagiakan adalah kala kita bisa saling mencintai dengan sesama kita, dimana cinta itu berdasarkan kemuliaan dan keagungan. Dengan cinta tersebut, kita akan diantarkan menuju singgasana tertinggi yang penuh kenikmatan. Singgasana itu berada di dalam istana di atas istana, cinta di atas cinta, yaitu cinta yang tumbuh karena cinta dan ketaatan kepada-Nya. “Niscaya akan mendapatkan kecintaan-Ku untuk dua insan yang saling menyayangi karena Aku, dua insan yang duduk bersama karena Aku, dua insan yang saling mengunjungi karena Aku, dan dua insan yang tolong menolong karena Aku.” Ini adalah sebuah hadis Qudsi yang memberikan kabar baik tentang hikmah dan manfaat cinta yang berlandaskan kebaikan yang meniatkan segala yang dilakukan untuk mengharapkan ridha Allah swt.[11]
Cinta seharusnya dapat menjadi jembatan bagi iman, karena dengan cinta hati dan jiwa manusia yang begitu beragam warna dan rasa serasa terhubung dengannya. Cintalah yang kemudian membawa kita pada silaturahim dan saling bertaaruf satu sama lain.[12] Allah telah menjamin hamba-Nya yang mampu mencintai seseorang semata-mata mengharap ridha-Nya dengan keteduhan dan kenyamanan kelak di hari kiamat. Salah satu tanda kebesaran Allah adalah diciptakannya segala sesuatu dengan sistem keteraturan dan keseimbangan yang sangat hebat, apalagi tentang cinta. Cinta telah dilahirkan untuk sebuah konsistensi dan teratur bersemayam dalam hati. Keindahan cinta akan terus terpancarkan bila sistem hati dijaga dengan baik keteraturannya, sehingga cemburu, curiga dan patah hati tidak akan pernah ada.
- D) Mengendalikan Cinta
Setiap orang yang dilanda cinta sesama makhluk tentu merasa sangat bahagia, meski tidak jarang ada juga yang berakhir dengan duka dan kecewa. Oleh sebab itu, harus bisa mengendalikan cintanya agar cintanya kepada sesama makhluk tidak sampai mengabaikan cintanya kepada sang Pencipta, Allah swt.
Cinta adalah perwujudan dari naluri mempertahankan jenis atau dalam bahasa Arab dikenal dengan gharizah al-nau’. Naluri ini jelas berbeda dengan kebutuhan jasmani dalam soal pemenuhannya. Pemenuhannya untuk kebutuhan jasmani mutlak dipenuhi. Seperti harus makan ketika lapar atau harus minum ketika haus. Lain halnya dengan naluri, pemenuhannya tidak mutlak. Meskipun tidak dipenuhi, tidak akan menyebabkan kematian. Hal yang mungkin timbul hanyalah gelisah. Akan tetapi, sebenarnya seseorang tidak perlu gelisah ketika kebutuhan nalurinya tidak terpenuhi, karena kegelisahan dapat berpengaruh pada kemampuan konsentrasi pikiran. Ketika seseorang gelisah, pikiran akan terpecah-pecah.
Selanjutnya, mengenai asal pengaruh rangsangannya juga berbeda. Kebutuhan jasmani ada dalam tubuh, sedangkan naluri dari luar. Oleh karena itu, naluri mempertahankan jenis ini tidak akan meluap-luap jika belum ada pengaruh dari luar. Contohnya, seseorang tidak akan jatuh cinta kepada lawan jenis bila ia tidak pernah tahu informasi tentang orang tersebut. Pada intinya, tidak diperbolehkan mendasari perilaku atas nama cinta sehingga mengakibatkan kelalaian terhadap aturan dari Allah dan rasul-Nya.[13]
Mencintai dan dicintai adalah fitrah manusia. Pada umumnya, tidak seorangpun di dunia ini yang tidak ingin dicintai. Manusia yang normal tentu menginginkan kedua hal tersebut. Namun, yang menjadi persoalan ialah tidak setiap orang mampu mengendalikan dan menyikapi rasa cinta yang ada. Bahkan, tidak sedikit orang yang akhirnya diperbudak oleh cinta. Cinta adakalanya kepada Allah dan rasul-Nya, kepada orang tua, sahabat, dan juga kekasih. Lalu, kemana seharusnya cinta sejati itu ditujukan?
Sahabat Anas bin Malik pernah meriwayatkan hadis yang artinya, “seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada Rasulullah. Bilakah berlakunya kiamat? Rasulullah bersabda: apakah persediaan kamu untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab: cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian Rasulullah menjawab: kamu akan tetap bersama orang-orang yang kamu cintai.” Cinta sejati, cinta yang suci adalah kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada yang lain. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa dilarang mencintai kepada selain Allah dan rasul-Nya. Asalkan cinta tersebut didasarkan pada dorongan cinta kepada Allah dan rasul-Nya, berarti itu merupakan hal yang baik.[14]
- E) Mencintai Dunia
- F) Cinta dan Sopan Santun
Catatan Kaki
[1] Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kaijaga, 2008), hlm. 87.
[2] Muhammad Yusuf, hlm. 91.
[3] Hadis Riwayat Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Iman, No. 12, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[4] Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Kitab Iman, No. 5651, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[5] Hadis Riwayat At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Birr wa al-Shilah ‘an Rasulillah, No. 1847, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif
[6] Imam Nawawi al-Bantani, Nashaihul ‘Ibad, (Semarang: Toha Putra, t.t), hlm. 3.
[7] Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Kitab Iman, No. 63, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[8] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf: Jalan Menuju Revolusi Spiritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 20.
[9] Tim Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Akhlak/Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 123. Selengkapnya, lihat Ahmad Rifa’i, Abyan al-Hawaij vol 2-4, (t.p. 1261 H), hlm. 155.
[10] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf..., hlm. 27-28.
[11] Muhammad Akrom, Cinta dalam Kaidah Fisika, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hlm. 49-50.
[12] Muhammad Akrom, hlm. 15.
[13] M. Nazhif Masykur dan Evi Ni’matuzzakiyah, Cinta Kita Beda!!, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2005), hlm. 28-31.
[14] M. Nazhif Masykur dan Evi Ni’matuzzakiyah, hlm 39-40.
[15] Islah Gusmian, Surat Cinta dari Tuhan: Hadis-hadis Qudsi Penerang Hati, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 94.
[16] Islah Gusmian, hlm. 99.
[17] Islah Gusmian, hlm. 103.