Aqiqah berasal dari kata ‘Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa ia adalah rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.[1] Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan.[2]
Hukum Aqiqah dalam Islam
Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, berdasarkan anjuran Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan praktek langsung beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَأَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلأَذَىْ
مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسِكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
Hikmah Aqiqah dalam Islam
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: Dia tergadai dari aqiqahnya diartikan ia akan terbebas dari memberikan syafaat kepada orang tuannya.
Hewan yang dibolehkan disembelih untuk aqiqah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk qurban, dari sisi usia dan kriteria.[6]
Imam Malik rahimahullah berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembelihan denda larangan haji) dan udhhiyah (qurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit.[7]
Imam Asy Syafi’iy rahimahullah berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.[8]
Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata: Para ulama telah ijma bahwa di dalam aqiqah ini tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba, sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap.[9]
Namun di dalam aqiqah tidak diperbolehkan berserikat sebagaimana dalam udhhiyah, baik kambing/domba, atau sapi atau unta.[10] Sehingga bila seseorang aqiqah dengan sapi atau unta, itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.
Kadar Jumlah Hewan Aqiqah
Kadar aqiqah yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَاالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا
Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَقَّ عَنِ االْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
أَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَقَّ عَنِ االْغُلاَمِ شَاتَان مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ االْجَارِيَةِ شَاةٌ
Dan ketika menyembelihnya si tukang sembelih mengatakan: Bismillah laka wa ilaika, Allahumma hadzihi ‘aqiqatu fulan (disebut nama si anak), berdasarkan perkataan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ‘Aisyah radliyallahu ‘anha:
اِذْبَحُوْا عَلَى اسْمِهِ فَقُوْلُوْا: بِسْمِ اللهِ لَكَ وَإِلَيْكَ اَللَّهُمَّ هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلاَنٍ
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحَلَّقُ وَيُسَمَّى
اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَلأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَلإِحْدَىْ وَعِشْرِيْنَ
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.[16]
Aqiqah adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum disembelihkan hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri.
Pembagian Daging Aqiqah
Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi.
Syaikh Jibrin hafidhahullah berkata: Sunnahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya.[17]
Hal-Hal Lain Yang Disyari’atkan Di Saat Anak Dilahirkan
[1] Subulussalam 4/189, dan Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/33.
[2] Ibid, dan Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600.
[3] Subulussalam 4/190.
[4] Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil Maulud, Ibnu Al Qayyim 46-47.
[5] Al As’ilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/39-40.
[6] Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600.
[7] Tuhfatul Wadud 97.
[8] Tuhfatul Wadud 94.
[9] Ibid.
[10] Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600
[11] Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/35.
[12] Al Ajwibah 3/41, Tufatul Wadud 111.
[13] Tufatul Wadud 111.
[14] Al Ajwibah 3/34, Al Muntaqaa 5/195, Mukhtashar Al Fiqhil Islamiy 600, Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318, Fatawa Islamiyyah 2/325.
[15] Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318.
[16] Fatawa Islamiyyah 2/327.
[17] Fatawa Islamiyyah 2/325.
[18] Irwaul Ghalil 4/405.
[19] Subulussalam 4/194.
[20] Irwaul Ghalil4/389.
Hukum Aqiqah dalam Islam
Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, berdasarkan anjuran Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan praktek langsung beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَأَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلأَذَىْ
Perkataannya: ”maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu:“Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya)”. (HR. Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسِكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
Perkataan beliau: ”ingin menyembelihkan,” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.[3]“Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anaknya, maka silahkan lakukan”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Hikmah Aqiqah dalam Islam
- 1). Salah satu hikmah Aqiqah dalam Islam yaitu menjalankan sunnah Nabi Ibrahim saat ia menebus ankanya Nabi Ismail.
- 2). Dalam aqiqah terdapat maksud untuk mengusir syaithan yang menggangu anak saat ia lahir, hal ini didasari oleh hadis:
Maksudnya tergadai oleh aqiqahnya menurut Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah[4] yaitu ia terbebas dari gangguan syetan.“Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya”. (Hadits shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Dan Ibnu Majah)
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: Dia tergadai dari aqiqahnya diartikan ia akan terbebas dari memberikan syafaat kepada orang tuannya.
- 3). Merupakan bentuk taqarrub kepada Allah ta’ala dari si anak di saat awal dia keluar di dunia, dan si anak sangat mengambil manfaat darinya sebagaimana dia mengambil manfaat dengan doa.[5]
- 4). Dan sebagai ungkapan syukur nikmat atas dikaruniakan anak.
Hewan yang dibolehkan disembelih untuk aqiqah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk qurban, dari sisi usia dan kriteria.[6]
Imam Malik rahimahullah berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembelihan denda larangan haji) dan udhhiyah (qurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit.[7]
Imam Asy Syafi’iy rahimahullah berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.[8]
Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata: Para ulama telah ijma bahwa di dalam aqiqah ini tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba, sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap.[9]
Namun di dalam aqiqah tidak diperbolehkan berserikat sebagaimana dalam udhhiyah, baik kambing/domba, atau sapi atau unta.[10] Sehingga bila seseorang aqiqah dengan sapi atau unta, itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.
Kadar Jumlah Hewan Aqiqah
Kadar aqiqah yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَاالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا
Ini adalah kadar cukup dan boleh, namun yang lebih utama adalah mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor, ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini:“Sesungguhnya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Hasan dan Husain satu domba satu domba”. (Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud)
Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَقَّ عَنِ االْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata:“Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor”. (Hadits sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
أَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَقَّ عَنِ االْغُلاَمِ شَاتَان مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ االْجَارِيَةِ شَاةٌ
Dan karena kebahagian dengan mendapatkan anak laki-laki adalah berlipat dari dilahirkannya anak perempuan, dan dikarenakan laki-laki adalah dua kali lipat wanita dalam banyak hal.[11]“Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor. (Shahih Riwayat At Tirmidzi)
Dan ketika menyembelihnya si tukang sembelih mengatakan: Bismillah laka wa ilaika, Allahumma hadzihi ‘aqiqatu fulan (disebut nama si anak), berdasarkan perkataan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ‘Aisyah radliyallahu ‘anha:
اِذْبَحُوْا عَلَى اسْمِهِ فَقُوْلُوْا: بِسْمِ اللهِ لَكَ وَإِلَيْكَ اَللَّهُمَّ هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلاَنٍ
Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: Dan bila telah berniat aqiqah dan dia tidak mengucapkan ucapan itu maka itu juga cukup Insya Allah.[13]“Sembelihlah atas namanya, maka katakanlah: Dengan nama Allah, karena-Mu dan untuk-Mu, Ya Allah ini aqiqah sifulan”.(HR. Ibnu Al Mundzir, beliau berkata: Ini hasan)[12]
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحَلَّقُ وَيُسَمَّى
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:“Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَلأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَلإِحْدَىْ وَعِشْرِيْنَ
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu,[14] karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.[15]“Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu”. (HR. Al Baihaqiy dan Ibnu As Sunniy serta Al Hafidh menyebutkannya dalam At Talkhish dan tidak mencelanya)
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.[16]
Aqiqah adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum disembelihkan hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri.
Pembagian Daging Aqiqah
Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi.
Syaikh Jibrin hafidhahullah berkata: Sunnahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya.[17]
Hal-Hal Lain Yang Disyari’atkan Di Saat Anak Dilahirkan
- 1). Disyari’atkan memberi nama anak yang lahir dengan nama yang baik, baik pada hari yang ketujuh sebagaimana hadits di atas atau pada saat dilahirkan langsung karena Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menamai putranya yang baru lahir dengan nama Ibrahim, beliau berkata: “Tadi malam telah dilahirkan anak laki-laki bagiku, maka saya menamainya dengan nama bapakku Ibrahim”. (HR. Muslim)
- 2). Mencukur (menggundul) semua rambutnya tanpa tersisa, berdasarkan hadits di atas, bukan sebagiannya saja. Dan bersedekah perak seberat rambut yang digundul itu, berdasarkan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah radliyallahu ‘anha tatkala Hasan dilahirkan, “Gundulilah rambutnya, dan bersedekahlah dengan perak seberat rambut itu kepada orang-orang miskin”. (HR Ahmad dan dihasankan oleh Al Albaniy dalam Irwaul Ghalil 4/403)[18].
- 3). Men-tahnik dengan kurma bila ada (yaitu meletakan kurma pada rongga mulut bagian atas si bayi seraya mengoles-olesnya) atau makanan lainnya, berdasarkan hadits Al Bukhari dan Muslim, dan sebaiknya yang melakukan adalah orang yang shalih.[19]
- 4). Adzan pada telinga bayi yang baru lahir, Abu Rafii’ radliyallahu ‘anhu berkata: “Saya melihat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan adzan seperti (adzan) shalat pada telinga Hasan tatkala dilahirkan oleh Fathimah radliyallahu ‘anha. (HR Ahmad dan yang lainnya dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan An Nawawiy dalam Al Adzkar, dihasankan oleh Al Albaniy dalam Irwaul Ghalil 4/400 karena ada syahid dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma).
- 5).Mengolesi kepalanya si bayi dengan minyak wangi sebagai pengganti apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yang mengolesi kepala bayi dengan darah hewan aqiqah, kebiasaan mereka ini tidak benar sehingga Islam meluruskannya dengan mengoleskan minyak wangi dikepalanya, sebagaimana dalam hadits Buraidah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Al Albaniy.[20]
[1] Subulussalam 4/189, dan Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/33.
[2] Ibid, dan Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600.
[3] Subulussalam 4/190.
[4] Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil Maulud, Ibnu Al Qayyim 46-47.
[5] Al As’ilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/39-40.
[6] Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600.
[7] Tuhfatul Wadud 97.
[8] Tuhfatul Wadud 94.
[9] Ibid.
[10] Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600
[11] Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/35.
[12] Al Ajwibah 3/41, Tufatul Wadud 111.
[13] Tufatul Wadud 111.
[14] Al Ajwibah 3/34, Al Muntaqaa 5/195, Mukhtashar Al Fiqhil Islamiy 600, Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318, Fatawa Islamiyyah 2/325.
[15] Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318.
[16] Fatawa Islamiyyah 2/327.
[17] Fatawa Islamiyyah 2/325.
[18] Irwaul Ghalil 4/405.
[19] Subulussalam 4/194.
[20] Irwaul Ghalil4/389.