Khutbah Jumat yang Bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri: Bersyukur Di Hari Raya Idul Fitri


اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي شَرَعَ لِعِبَادِهِ عِيْدًا يَذْكُرُوْنَهُ فِيْهِ، وَيَشْكُرُوْنَهُ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ يَسْتَوِي عِنْدَهُ مَا فِيْ سِرِّ الْعَبْدِ وَإِعْلاَنِهِ، وََأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِالْحَقِّ وَتِبْيَانِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ، أَمَّا بَعْدُ:

Segala puji bagi Allah swt yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang sempurna. Puji dan syukur kita panjatkan kepada-Nya atas kemudahan agama yang telah dikaruniakan kepada hamba-hamba-Nya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah swt semata, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin yang mengikuti jalannya.

Ma’aasyiral muslimin rahimakumullah,

Marilah kita senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah swt. Karena, dengan sebab pertolongan-Nya kita semua bisa menjumpai seluruh hari di bulan puasa. Mudah-mudahan amal ibadah yang telah kita kerjakan di bulan yang penuh keutamaan tersebut diterima oleh Allah swt. Dan mudah-mudahan seluruh kesalahan serta kekurangan yang kita lakukan di bulan yang mulia tersebut diampuni oleh-Nya.

Hari ini adalah hari yang penuh kebahagiaan bagi kaum mukminin. Betapa tidak. Kaum mukminin telah melewati bulan yang Allah swt istimewakan. Kita juga telah dimudahkan oleh-Nya dalam mengisi hari-hari di bulan tersebut dengan berbagai bentuk ketaatan yang disyariatkan oleh-Nya. Kaum mukminin telah diberi taufiq oleh Allah l untuk meraih berbagai keutamaan yang telah Allah swt curahkan di bulan tersebut. Karena itulah, kaum mukminin pada hari ini berbahagia dan bersyukur kepada Allah swt. Bukan berbahagia karena semata-mata baju baru yang dipakainya. Bukan berbahagia karena beraneka ragam makanan dan minuman yang ada di hadapannya. Kaum mukminin bukanlah orang-orang yang berbangga karena dunia yang telah diperolehnya. Akan tetapi mereka bangga dan bahagia karena pertolongan Allah swt yang dikaruniakan kepadanya, sehingga bisa menjalankan berbagai amal ketaatan selama hari-hari yang dilaluinya di bulan Ramadhan. Allah swt berfirman :

“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’.” (Yunus: 58)
https://aang-zaeni.blogspot.com/2018/08/khutbah-jumat-yang-bertepatan-dengan.html

Hari ini adalah hari untuk bersyukur kepada Allah swt dan berdzikir kepada-Nya. Sekaligus hari ini adalah hari untuk makan dan minum. Kaum muslimin dilarang berpuasa pada hari yang penuh kegembiraan ini. Berpuasa pada hari ini berarti telah menyelisihi syariat Allah swt. Adapun bagi kaum muslimin yang hendak berpuasa 6 hari di bulan Syawwal, maka baru bisa dilakukan setelah masuk pada hari yang kedua dan seterusnya. Rasulullah n bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadhan dan kemudian dia mengikutkannya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka dia seperti orang yang berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim)

Perlu diketahui, hari raya bukanlah hari untuk berfoya-foya dengan menghambur-hamburkan harta yang tidak pada tempatnya. Bukan pula sebagai hari untuk menikmati hiburan-hiburan yang dipenuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat. Berhari raya bagi kaum muslimin bukanlah saat untuk berhura-hura dengan membanggakan dunia dan menyombongkan diri, sebagaimana yang dilalukan oleh orang-orang kafir dalam mengisi hari raya mereka. Hari raya kaum muslimin adalah saat untuk berbahagia dan bersyukur kepada Allah swt dengan menjalankan berbagai ketaatan.

Di antaranya, kaum muslimin mengeluarkan zakat fitrah pada hari ini sebelum menjalankan shalat ‘Ied, meskipun boleh juga untuk mengeluarkannya dua atau tiga hari sebelumnya. Selanjutnya, pada hari ini pula kaum muslimin keluar dari rumahnya masing-masing sembari bertakbir menuju ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat ied, setelah sebelumnya disunnahkan bagi mereka untuk mandi, memakai wewangian serta pakaian yang bagus dan makan sebelum mendatangi shalat. Shalat ‘Ied ini lebih utama dilakukan di tanah lapang, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n. Kemudian disunnahkan pula bagi kaum muslimin ketika pulang menuju ke rumah setelah selasai dari shalat ied untuk melalui jalan lain (yang berbeda), bukan jalan yang dilaluinya saat berangkat menuju tanah lapang.

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah SWT,

Di antara kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah saling berjabat tangan dan mengucapkan doa serta ucapan selamat hari raya. Kebiasaan tersebut, sebagaimana diterangkan oleh sebagian ulama adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Kebiasaan ini justru bisa menumbuhkan rasa saling mencintai dan menghilangkan rasa permusuhan di antara kaum muslimin. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut boleh dilakukan. Hanya saja, tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya untuk saling berjabat tangan. Adapun kebiasaan mengkhususkan hari raya untuk melakukan ziarah ke kubur, maka hal ini tidaklah ada dasarnya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang shahih. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan hari ini sebagai saat untuk berziarah kubur.

Pada hari raya ini, marilah kita merenungkan, betapa banyak saudara-saudara kita kaum muslimin yang pada tahun-tahun yang lalu ikut shalat ied dan ikut menikmati hari raya bersama kita. Namun saat ini mereka tidak berada lagi di muka bumi ini. Mereka telah berpindah dari tempat beramal di kehidupan dunia yang sesaat ini, menuju ke tempat pembalasan amalan di kehidupan yang abadi di akhirat. Mereka meninggalkan keluarga, rumah, dan harta mereka. Tidak ada yang mereka bawa untuk kehidupan akhiratnya kecuali amalan-amalan yang telah dikerjakan saat di dunia. Harta, anak, jabatan, dan lain-lainnya tidak bisa menghalangi datangnya kematian. Maka janganlah seseorang tertipu dengan gemerlapnya dunia. Pakaian yang indah, kendaraan yang mewah, dan perhiasan dunia yang lainnya tidaklah menjadi jaminan bahwa dirinya akan menjadi orang yang berbahagia. Semua itu, kalaulah tidak menjadikan dirinya menjadi orang yang bertakwa kepada Allah l, maka tidaklah berguna. Karena, sebaik-baik yang kita pakai adalah pakaian takwa. Allah swt berfirman:

“Wahai anak Adam (yaitu umat manusia), sungguh Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Namun pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, agar mereka selalu ingat.” (Al-A’raf: 26)

Oleh karena itu, setiap muslim semestinya senantiasa mengingat bahwa harta, keluarga, dan seluruh perhiasan dunia yang sekarang bersamanya pasti akan berpisah dengannya. Setiap orang juga harus mengingat bahwa tubuhnya akan ditimbun dan dikubur dalam tanah serta akan dimakan oleh binatang-binatang yang ada di dalamnya. Maka, akankah seorang muslim menjadikan hari rayanya untuk berhura-hura serta membuang-buang harta untuk acara-acara yang bercampur dengan maksiat?

Sungguh, seandainya seseorang tahu bahwa ibadah yang dia lakukan di bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT, maka semestinya dia bersyukur dan bukan berhura-hura. Karena berhura-hura adalah akhlak orang-orang kafir dalam merayakan hari rayanya. Adapun kalau dirinya tahu bahwa amalannya tidak diterima, maka bagaimana dirinya sanggup untuk berhura-hura pada hari ini?

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah SWT,

Ketahuilah, bahwa kita telah dikaruniai nikmat yang paling besar, yaitu nikmat Islam. Nikmat yang tidak tertandingi oleh seluruh nikmat-nikmat Allah swt lainnya yang besar. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mensyukuri nikmat yang paling besar ini. Yaitu dengan senantiasa mempelajari agama Islam melalui ahlinya agar kita menjadi orang-orang yang paham terhadap ajaran Islam dan bisa menjalankan agama dengan benar. Karena sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Nabi n, bahwa pahamnya seseorang terhadap agamanya menunjukkan bahwa Allah swt menginginkan kebaikan untuk dirinya.

Ketahuilah, bahwa Islam bukanlah sekadar sebuah pengakuan semata tanpa ada pengamalan terhadap ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Namun Islam adalah agama yang mewajibkan pemeluknya untuk beribadah kepada Al-Khaliq, yaitu Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Islam juga mewajibkan pemeluknya berbuat baik kepada makhluk yang diciptakan-Nya. Persaksian seorang muslim terhadap kalimat La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah mengandung konsekuensi yang mengharuskan orang yang mengucapkannya untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah l tanpa ada syirik sedikitpun, serta beribadah hanya dengan syariat yang dibawa Rasulullah n tanpa mengada-adakan ibadah baru atau bid’ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah swt.

Oleh karena itu, seorang muslim harus menjadi orang yang bertauhid, yaitu orang yang beribadah hanya kepada Allah swt dan meninggalkan seluruh perbuatan syirik. Karena dengan tauhid inilah, amalan ketaatan yang lainnya akan bernilai ibadah. Adapun tanpa tauhid, maka ibadah sebesar dan sebanyak apapun tidak akan bernilai di sisi Allah swt. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

Sebanyak dan sebesar apapun ibadah yang dilakukan oleh seseorang –meskipun dikerjakan dengan ikhlas–tidak akan diterima oleh Allah l, bila amalan tersebut tidak sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Rasul-Nya n. Hal ini sebagaimana dalam sabda beliau n:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada syariatnya dari kami, maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Disamping itu, seorang muslim juga harus menundukkan jiwanya untuk menjalankan ketaatan kepada Allah swt. Di antaranya adalah kewajiban yang paling besar setelah menjalankan dua kalimat syahadat yaitu kewajiban shalat lima waktu serta menjalankan rukun Islam yang lainnya. Begitupula, dia pun menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya, seperti bertaubat, menunaikan amanah, jujur, dan kewajiban lainnya serta menjauhi larangan-larangan Allah swt seperti berkhianat, berdusta, ghibah, namimah, memakai pakaian yang menampakkan aurat, dan kemaksiatan lainnya.

Disamping menjalankan kewajibannya kepada Allah swt, agama Islam juga memerintahkan kepada pemeluknya untuk berbuat baik kepada orang lain. Islam memerintahkan pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik kepada orangtuanya, kerabatnya, tetangganya, fakir miskin, anak yatim, dan yang lainnya. Oleh karena itu, ketika seorang muslim berbicara dengan orangtuanya, dia akan berkata dengan kata-kata yang baik dan tidak menyakitkan keduanya. Begitupula, dia membantu kebutuhan-kebutuhan mereka dan tidak menyombongkan diri di hadapan kedua orangtuanya.

Seorang muslim juga sosok yang menyambung hubungan dengan kerabatnya atau yang diistilahkan dengan silaturahim. Dia juga orang yang berbuat baik dan tidak menyakiti tetangganya. Selanjutnya, agama Islam juga memerintahkan kepada para suami untuk berbuat baik kepada istrinya, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah swt:

“Dan bergaullah (kalian wahai suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)

Sebaliknya, seorang istri juga diperintahkan untuk menaati dan berkhidmat kepada suaminya, dengan cara membantu keperluan-keperluan suaminya. Karena dia tahu bahwa Allah swt telah menetapkan suaminya sebagai pemimpin bagi dirinya. Allah swt berfirman:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34)


Ma’aasyiral muslimin rahimakumullah,

Agama Islam juga melarang pemeluknya untuk menyakiti harta, jiwa, dan kehormatan saudaranya. Allah l menyebutkan di dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)

Bahkan meskipun kaum muslimin membenci orang-orang kafir karena orang-orang kafir adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah swt, mereka tidaklah diperbolehkan untuk berbuat zalim kepada orang-orang kafir. Sehingga apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saat-saat ini, dengan melakukan aksi bom bunuh diri di beberapa tempat, meskipun dengan alasan berjihad melawan orang kafir, adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan syariat Islam. Karena perbuatan tersebut pada dasarnya adalah perbuatan bunuh diri yang merupakan salah satu dosa yang sangat besar. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi n:

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa dengan sesuatu (yang digunakan untuk membunuh dirinya di dunia tersebut) pada hari kiamat.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Disamping itu, aksi bom bunuh diri tersebut juga melanggar syariat Allah swt, yang melarang hamba-Nya untuk membunuh jiwa yang diharamkan-Nya. Di antara jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, selain jiwa kaum muslimin, adalah jiwa orang-orang kafir yang telah mendapat jaminan keamanan atau melakukan perjanjian untuk tidak diperangi. Apalagi pada kenyataannya, di antara korban yang meninggal akibat pengeboman-pengeboman tersebut sebagiannya adalah kaum muslimin. Maka sangat jelas bahwa perbuatan tersebut adalah dosa besar dan sangat jauh dari amalan jihad yang disyariatkan dalam Islam. Allah swt berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Al-An’am: 151)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِيْ غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang terikat perjanjian (dengan kaum muslimin) sebelum waktunya, maka Allah swt haramkan baginya surga.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah SWT,

Akhirnya, marilah kita senantiasa menjaga diri-diri kita dari kemarahan Allah swt, dengan berhati-hati dalam memahami dan mengamalkan agama kita. Jalannya tidak lain adalah dengan kembali kepada para ulama, sehingga kita bisa memahami agama Islam sebagaimana yang dipahami oleh manusia-manusia terbaik yang telah mempelajari agama ini secara langsung dari Rasulullah n, yaitu para sahabat Nabi g.

Kita memohon kepada Allah swt agar memberikan hidayah-Nya kepada kita semuanya, juga kepada para pemimpin bangsa kita untuk berjalan di atas syariat-Nya. Kita memohon kepada Allah swt agar menjadikan negeri kita dan negeri seluruh kaum muslimin menjadi negeri yang aman dan tenteram serta diberi rahmat oleh-Nya. Sesungguhnya Allah swt adalah Rabb Yang Maha mengabulkan doa.

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِينَ.

Subscribe to receive free email updates: