PENGAMALAN ISIM FAA'IL

–·•Ο•·–

إعْمَالُ اسْمِ الْفَاعِلِ

PENGAMALAN ISIM FA’IL

كَفِعْلِهِ اسمُ فَاعلٍ فِي الْعَمَلِ ¤ إنْ كَانَ عَنْ مُضِيِّهِ بِمَعْزِلِ

Isim Fa’il beramal seperti Fi’il-nya. Dengan syarat jika Isim Fa’il tsb menempati jauh dari zaman Madhi (yakni jika menempati zaman Hal atau Istiqbal) 

وَوَلِيَ اسْتِفْهَاماَ أوْ حَرْفَ نِدَا ¤ أوْ نَفْياً أوْ جَا صَفَةً أوْ مُسْنَداَ

Dan disyaratkan juga Isim Fi’il tsb mengiringi Istifham, Huruf Nida’ atau Nafi, atau datang sebagai Sifat (Na’at) atau sebagai Musnad (Khobar). 

وَقَدْ يَكُونُ نَعْتَ مَحْذُوفٍ عُرِفَ ¤ فَيَسْتَحقُّ الْعَمَلَ الَّذِي وُصِف

Dan terkadang Isim Fa’il tsb menjadi Na’at dari Man’ut terbuang yang telah dimaklumi, maka ia berhak juga terhadap amalan yang telah disebut diatas.  
–·•Ο•·–
Bab ini menerangkan bagian kedua dari bagian Isim-isim yang beramal seperti pengamalan Fi’ilnya yaitu: ISIM FA’IL termasuk didalamnya SHIGHAT MUBALAGHAH.
Pengertian Isim Fa’il:
Adalah Isim musytaq untuk menunjukkan kejadian baru dan sebagai si pelaku.
Penjelasan definisi:
Isim Musytaq : yakni hasil bentukan secara tashrif dari bentuk asal Mashdar tiga huruf menjadi bentuk Isim Fa’il, contoh:

نادم

NAADIMUN = yang menyesal
Atau dari bentuk asal Mashdar lebih dari tiga huruf menjadi bentuk Isim Fa’il, contoh:

مكرم

MUKRIMUN = yang menghormati
Menunjukkan kejadian : yakni hanya menunjukkan kejadian tanpa penunjukan zaman semisal berdiri dan duduk.
Kejadian baru : yakni kejadian yang bersifat aridhi, sekali-kali berubah dan hilang. Demikian ini membedakan dengan Shifat Musyabahah atau Isim Tafdhil, karena keduanya menunjukkan kejadian yang bersifat tetap bukan sekali-kali atau bukan yang bersifat baru.
Sebagai Pelaku : yakni subjek yang mengerjakan pekerjaan yang mana pekerjaan timbul darinya, contoh DHOORIBUN = yang memukul. Demikian ini berbeda dengan definisi Isim Maf’ul yakni Isim Musytaq untuk menunjukkan sebagai objek pekerjaan atau sesuatu yang dikenai pekerjaan.
Penampakan Isim Fa’il ada dua :
1. Isim Fa’il yang bersambung dengan AL: Hukumnya akan diterangkan pada Bait selanjutnya.
2. Isim Fa’il yang tidak bersambung dengan AL, maka:
A. Beramal merofa’kan Fa’il secara mutlak tanpa syarat.
Contoh:

الله عالم ببواطن الأمور

ALLAHU ‘AALIMUN BI BAWAATHINIL-UMUURI = Allah Maha mengetahui terhadap perkara yang tersembunyi.
lafazh AALIMUN = Isim Fa’il didalamnya terdapat Fa’il Dhamir Mustatir dirofa’kan sebagai Fa’ilnya.
Contoh ayat dalam Al-Qur’an:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ

WA MINANNAASI WAD-DAWAABI WAL-AN’AAMI MUKHTALIFUN AL-WAANUHU = di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). (QS. Al-Faathir :28)
Lafazh AL-WAANU dirofa’kan menjadi Fa’il dari Isim Fa’il lafazh MUKHTALIFUN.
B. Beramal menashobkan Maf’ul Bih dengan dua syarat:
1. Diharuskan dalam penggunaannya untuk suatu yang Hal (yang sedang terjadi) atau Istiqbal (yang akan terjadi). Alasan pengamalannya disini -menurut Ulama Nuhat- adalah karena sejalan dengan kalimah Fi’il sebagai sandaran maknanya. yakni sejalan dengan FI’IL MUDHARI’ yakni mencocoki dalam harkat dan sukunnya. dalam artian sukun atau harkat pada Isim Fail sebanding/sehadapan dengan sukun atau harkat yang ada pada susunan huruf Fi’il Mudhari’nya. contoh:

معلم

MU’ALLIMUN = pengajar
sehadapan/sebanding dengan susunan Fi’il Mudhari:

يعلم

YU’ALLIMU = sedang/akan mengajar.
Demikian juga contoh Isim Fa’il:

نادم

NAADIMUN = yang menyesal
sehadapan/sebanding dengan susunan Fi’il Mudhari:

يندم

YANDAMU = sedang/akan menyesal.
2. Harus ada penopang yakni lafazh yang menjadi awalannya :
a. Berawalan ISTIFHAM, contoh:

أبالغ أنت قصدك

A BAALIGHUN ANTA QOSDAKA? = apakah kamu sampai pada tujuanmu?
lafazh BAALIGHUN = Mubtada’
lafazh ANTA = Fa’il yg menempati kedudukan Khobar (Masaddal-khobar)
lafazh QOSDA = Maf’ul Bih
lafazh KA = Mudhaf Ilaih.
b. Berawalan NAFI, contoh:

ما حامد السوق إلا من ربح

MAA HAAMIDUN AS-SAUQA ILLA MAN ROBIHA = tidak akan memuji pasar kecuali dia yang telah mendapat keuntungan.
HAAMIDUN = menjadi Mubtada’
AS-SAUQA = menjadi Maf’ul Bih dari Isim Fa’il (Haamidun)
ILLA = Adat Istitsna’ Mulgha
MAN = Isim Maushul mabni sukun mahal Rofa’ menjadi Fa’il sadda-masaddal khobar.
ROBIHA = Shilah Maushul.
d. Berawalan NIDA’, contoh:

يا سائقا سيارة تمهل

YAA SAA’IQON SAYYAAROTAN TAMAHHAL! = wahai sopir mobil pelan-pelanlah.
YAA = Huruf Nida’
SAA’IQON = Munada Manshub Fa’ilnya berupa Dhamir Mustatir
SAYYAAROTAN = Maf’ul Bih dinashabkan oleh Isim Fa’il.
e. Menjadi NA’AT dari Man’ut yg disebut atau Man’ut yg dibuang
contoh Naat dari Man’ut yang disebut :

صحبت رجلا عارفا آداب السفر

SHAHIBTU RAJULAN ‘AARIFAN AADAABAS-SAFARI = aku menemani seorang yang mengerti adab-adab perjalanan.
RAJULAN = Man’ut
AARIFAN = Na’at
AADAABA = Maf’ul Bih dinashabkan oleh Isim Fa’il (Aarifan)
contoh Naat dari Man’ut yang dibuang karena ada qarinah:

كم معذب نفسه في طلب الدنيا يرى أنه أسعد الناس

KAM MU’ADZDZIBUN NAFSAHU FIY THOLABID-DUN-YAA YAROO ANNAHU AS’ADAN-NAASA = betapa banyak orang yang menyiksa diri dalam mencari dunia dan beranggapan bahwa dunia membahagiankan manusia.
MA’ADZDZIBUN = Isim Fa’il yg menjadi Na’at dari Man’ut yg dibuang.
NAFSAHU = Maf’ul Bihnya.
takdirannya adalah:

كم شخص معذب نفسه

KAM “SYAKHSHUN” MU’ADZDZIBUN NAFSAHU = banyak “orang/individu” yang menyiksa dirinya.
f. Menjadi HAAL Contoh:

جاء خالد راكبا فرسا

JAA’A KHAALIDUN RAAKIBAN FAROSAN = Khalid datang dengan mengendarai kuda
Contoh ayat Al-Qur’an:

فاعبد الله مخلصا له الدين

FA’BUDILLAAHA MUKHLISHON LAHUD-DIIN = Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (QS. Azzumar :2)
g. Menjadi KHABAR dari Mubtada’ atau Amil Nawasikh
Contoh Khabar dari Mubtada':

أنت حافظ غيبة جارك

ANTA HAAFIZHUN GHAIBATA JAARIKA = kamu harus menjaga omongan tetangga kamu.
Contoh Khabar dari Amil Nawasikh:

إنك حافظ غيبة جارك

INNAKA HAAFIZHUN GHAIBATA JAARIKA
Contoh Ayat dalam Al-Qur’an:

ما كنت قاطعة أمرا حتى تشهدون

MAA KUNTU QAATHI’ATAN AMRAN HATTAA TASYHADUUN = aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku). (QS. An-Naml :32).
o0o
Jika Isim Fa’il tersebut digunkan untuk suatu yang telah terjadi (Madhiy), maka ia tidak beramal. Maka tidak dibenarkan mengatakan misal:

محمد كاتب واجبه أمس

MUHAMMADUN KAATIBUN “WAAJIBAHUU” AMSI
lafazh WAAJIBA tidak boleh dinashabkan sebagai Maf’ul Bih dari Isim Fa’il KAATIBUN. Tapi wajib disusun secara Idhofah, maka yang benar mengatakannya adalah:

محمد كاتب واجبه أمس

MUHAMMADUN KAATIBU “WAAJIBIHII” AMSI = Muhammad mencatat kewajibannya kemarin.
lafazh KAATIBU = mudhaf
lafazh WAAJIBI = mudhaf ilaih
Khilaf dalam hal ini :
  1. Menurut Al-Kasa’i : Isim Fa’il tersebut boleh beramal sekalipun ditujukan untuk zaman Madhiy.
  2. Menurut Al-Akhfash : Isim Fa’il tersebut  sekalipun tidak ada penopang yang menjadi awalannya tetap bisa beramal.

Subscribe to receive free email updates: