Pengertian Korupsi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam > Allah SWT menurunkan Syari’at Islam kepada Nabi Muhammad SAW yang bertugas untuk menyampaikan Syariat Islam kepada umat manusia di dunia. Tujuan diturunkan dan diterapkan Syari’at Islam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yakni kebahagiaan di dunia dan di akhirat sekaligus, sebagaimana diindikasikan dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat:107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Kemaslahatan direalisasikan dengan cara mengambil manfaat (Jalb al-manaafi’/al-mashaalih) dan menolak kerusakan (dar-u al-mafaasid). Kemaslahatan (pengambilan manfaat dan penolakan kerusakan) berpijak pada pemeliharaan lima hal pokok (al-kuliyat al-khams), yang meliputi agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-aql), keturunan (al-nasl), dan harta (al-mal).
Lima hal pokok ini merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus ada dalam mengarungi kehidupan dunia. Dengan kata lain, kehidupan manusia di dunia ditegakkan dengan lima hal pokok tersebut. Untuk menegakkan lima hal pokok itu, Islam menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipedomani dan dipatuhi manusia. Ketentuan-ketentuan itu dapat berupa tuntutan-tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan (perintah, al-amr) atau tuntutan-tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan, al-nahy).
Adapun sanksi (hukuman) di dunia bermacam-macam sesuai dengan jenis perbuatan yang dilanggarnya; misalnya perbuatan pidana, Islam memberikan sanksi di dunia berupa ketentuan yang secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu : qishash, hadd, diyat, dan kaffarat, sedangkan perbuatan pidana yang tidak secara tegas ditentukan sanksinya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan sanksinya, yakni dengan hukuman ta’zir.
Dalam hal penegakan dan pemeliharaan harta, Islam menetapkan ketentuan tentang tata cara memperoleh harta dan konsekuensinya (akibat hukumnya). Banyak cara dan jalan untuk memperoleh dan menguasai harta yang benar dan sah dalam Islam. Harta bisa dimiliki dengan cara mendapatkan dan mengambil harta yang dipastikan bukan milik orang lain atau biasa dikatakan harta tidak bertuan. Harta juga bisa dimiliki dengan menemukan harta di suatu tempat yang diduga milik orang lain, tetapi tidak berada dalam kekuasaan orang lain; harta seperti ini biasa disebut dengan barang hilang. Harta ini baru dapat dimiliki kalau memenuhi persyaratan, yakni harta yang ditemukan diumumkan kepada publik; setelah diumumkan dalam jangka waktu tertentu dan ternyata tidak ada yang mengaku kepemilikan harta itu, maka harta tersebut menjadi harta milik orang yang menemukan. Selain itu, harta bisa diperoleh dengan cara menerima harta orang lain yang diberikan secara suka rela. Harta dapat diperoleh melalui kewarisan. Harta dapat diperoleh dengan cara melakukan transaksi jual beli.
Baca Juga > Hukum Merokok Menurut Islam
Harta yang diperoleh dengan cara yang benar dan sah menurut hukum menjadi milik orang yang memperolehnya. Dia berkuasa atas harta itu dan bebas menggunakannya sesuai dengan kehendaknya. Meskipun demikian, pemiliknya tidak bisa sewenang-wenang dan sebebas-bebasnya tanpa batas menggunakan harta tersebut. Islam melarang perbuatan yang menyia-nyiakan harta, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra ayat 26-27:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dalam surat al-A’raf ayat 31 juga diperintahkan untuk memanfaatkan harta secara tidak berlebih-lebihan (israf).
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Di samping larangan secara umum itu, Islam juga menetapkan sanksi (hukuman) bagi orang yang mendapatkan harta melalui cara-cara yang tidak dibenarkan dan melanggar hukum. Di antara perbuatan yang melanggar hukum berkenaan dengan harta adalah pencurian (al-sariqah) dan perampokan (al-hirabah).
Dalam Al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 38 ditetapkan sanksi bagi pencuri, sebagai berikut :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Perampokan (perampasan dengan kekerasan) diatur sanksinya dalam surat al-Ma’idah ayat 33, sebagai berikut:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
[414] Maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
Dalam perjalanan historis kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, perbuatan untuk mendapatkan harta secara tidak benar dan tidak sah selalu muncul dalam kehidupan sosial dan tidak terkecuali komunitas muslim. Bentuk-bentuk perbuatan pidana dalam persoalan harta terus bekembang. Di zaman sekarang ini, ada satu bentuk perbuatan untuk mendapatkan harta yang kelihatannya benar; namun, sebenarnya perbuatan itu sangat merugikan orang lain. Kerugian yang diderita tidak hanya dialami oleh satu individu, tetapi dirasakan secara umum oleh komunitas sosial.
Bahkan berakibat merusak dan memporak-porandakan tatanan sosial dan pada titik ekstrim bisa berakibat runtuhnya sebuah bangunan komunitas sosial dalam sebuah negara. Tidak seperti halnya pada kasus pencurian dan perampokan dalam bentuknya yang “biasa”, kerugian hanya dialami oleh satu individu (pribadi) atau beberapa individu dan tidak menyangkut orang banyak (publik). Dengan demikian, perbuatan itu mempunyai akibat negatif yang lebih besar dibandingkan dengan akibat kasus pencurian dan perampokan dalam bentuknya yang “biasa” dilakukan orang.
Perbuatan yang dimaksudkan adalah apa yang dikenal orang dengan istilah ‘Korupsi’. Fenomena korupsi di Indonesia telah lama tumbuh dan mengakar dalam kultur masyarakat Indonesia. Pemerintahan masa Orde Baru yang bertahan sampai lebih dari tiga puluh tahun merupakan masa tumbuh suburnya korupsi. Orang-orang yang menduduki jabatan dalam pemerintahan atau lembaga negara berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan melalui korupsi.
Mereka dengan leluasa melakukan korupsi tanpa beban dan merasa aman karena objek korupsi di bawah kekuasaannya sehingga tindakan korupsi sulit dideteksi oleh rakyat (publik); disamping itu, sistem dan kontrol yang ada menguntungkan mereka untuk memuluskan jalan melakukan tindakan korupsi. Mereka dengan liciknya mengelabuhi masyarakat untuk menutupi tindakan mereka yang sangat jahat dan busuk. Mereka berpenampilan serta mengaku taat agama, bahkan kadang-kadang mereka tidak segan-segan berupaya mendekati tokoh agama (ulama) dengan dalih shilah al-rahim, mengundang untuk tasyakuran, memberikan hadiah atau sumbangan, dan bentuk-bentuk lain untuk mendapatkan kepercayaan publik.
Tindakan yang memprihatinkan dan ironis ini pada akhirnya terbongkar dan rakyat terus menerus berjuang untuk memberantas korupsi sampai muncul gerakan reformasi yang salah satu agenda utamanya adalah memberantas korupsi. Gerakan reformasi dapat menumbangkan rezim Orde Baru yang korup. Dengan tumbangnya rezim Orde Baru yang korup, rakyat mempunyai harapan akan pemerintahan dan masyarakat yang bersih dari korupsi di era reformasi.
Namun, di era reformasi ternyata korupsi tidak berkurang dan terus berlanjut dengan sistem, pola, dan cara-cara warisan Orde Baru. Korupsi tidak lagi didominasi oleh pelaku korupsi yang bercokol di pusat, seperti yang terjadi di masa Orde Baru, melainkan telah menyebar ke daerah-daerah dengan adanya otonomi daerah (desentralisasi wewenang pemerintahan). Otonomi daerah membuka kesempatan para elit lokal, baik dalam hal eksekutif maupun legislatif untuk melakukan aksi korupsi terhadap sumber-sumber ekonomi daerah.
Virus korupsi yang mengganas terus menyebar dan menyerang kehidupan sosial Indonesia. Problem dan tantangan ini harus diatasi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam yang merupakan mayoritas warga negara Indonesia. Sebagai mayoritas warga negara Indonesia, umat Islam tidak bisa mengelak akan terjadinya banyak korupsi yang dilakukan oleh orang-orang Islam. Realitas tragis ini menjadi persoalan, beban moral, dan tanggung jawab umat Islam tersendiri.
Secara epistimologi, korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap harta. Sebagaimana tindak kejahatan terhadap lima pilar pokok dalam kehidupan manusia, maka bentuk kejahatan ini dikategorikan sebagai jarimah yang harus mendapatkan sanksi.
Istilah korupsi dalam diskursus keislaman termasuk istilah yang belum memiliki kejelasan makna. Untuk memahami makna korupsi tentu saja tidak cukup hanya melihat definisi yang termuat dalam perundang-undangan. Al-Naim dalam bukunya, sebagaimana dikutip Abu Hapsin, memberikan pemahaman umum tentang korupsi sebagai suatu tindakan melanggar hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindakan melanggar hukum ini tentu saja berwujud suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah atau pemberian, penggelapan, kolutif, nepotisme, penyalahgunaan jabatan, wewenang serta fasilitas negara.
Dalam diskursus Hukum Pidana Islam istilah korupsi belum dikenal dan dipahami secara formal sebagai sebuah jarimah, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penyebabnya, diantaranya bahwa secara teknis operasional, Al-Qur’an dan hadist tidak merumuskan secara khusus tentang korupsi sehingga secara empirik jarimah ini tidak dikenal pada masa legislasi Islam awal.
Korupsi sendiri dikategorikan dalam kejahatan maliyah, yang memiliki tiga unsur; 1) adanya tasharruf, yakni perbuatan hukum dalam bentuk mengambil, menerima, dan memberi; 2) adanya unsur pengkhianatan terhadap amanat publik yang berupa kekuasaan; 3) adanya kerugian yang ditanggung oleh masyarakat luas atau publik