<Puasa Menjaga Kata> Saya ber-ittifaq dengan sosiolog Akbar S Ahmed bahwa musuh umat beragama yang berbahaya itu jangan-jangan bukan kuam fundamentalistik yang selalu hidup dalam fantasi arkaik, tetapi ketidak-sigapan menahan godaan iklan untuk hidup dalam binalitas tamak. Musuh muslimah itu bukan perempuan berlainan keyakinan, tetapi tubuh telanjang yang setiap saat terpampang di jalanan dibalut iklan, kemolekan hawa yang dijadikan sampul majalah lengkap dengan pesan sponsor, pantat sintat yang berkorespondensi dengan impor budaya yang belum jelas kiblatnya. Musuh itu adalah lipstik yang tidak sekedar sebagai alat pemerah bibir, tetapi metafora bagaimana di seberangnya gambaran tidak berdayanya kita (baik laki-laki maupun perempuan) menghadapi gempuran gurita ekonomi kapitalis global yang datang menunggangi ekonomi pasar bebas.
Justru sebaliknya, puasa lahir dari kekhawatiran manusia tersekap larut dalam nafsu hedonisme-konsumeristik. Puasa bukan hanya memindahkan jam makan dari sesuatu yang bersifat "daging'', tetapi adalah kebaktian ilahiyah dan kesediaan mentransformasikan diri menuju keutamaan hidup baik secara personal ataupun komunal.
Menjaga Kata
Ini juga yang menjadi alasan utama mengapa dalam literasi sufistik yang dipuasakan itu tidak saja perut, tetapi juga kata. Kata ini menjadi penting diberi catatan tersendiri, salah satu problem terbesar bangsa ini adalah surplus kata-kata dan defisit makna. Setiap hari, apalagi suasana pilpres, kita serupa dikepung mikrofon dan setiap pemimpin merasa tidak bersalah melemparkan kata-kata yang sama sekali tidak memiliki nilai. Setiap tim sukses berteriak merasa paling benar sendiri seakan frekuensi publik ini adalah warisan nenek moyangnya.
Bangsa ini seolah terkena kutukan, ditakdirkan sebagai negara dengan kepandaian para pemimpin bersilat lidah dan menyusun pidato lengkap dengan retorikanya, tetapi gagap ketika harus bekerja. Bangsa dengan nasib paradoksal, ambiguitas dan serba terbalik, seharusnya bekerja malah berkata yang semestinya malah bekerja. Bahwa pemimpin besar itu tidak dilihat dari perkataannya yang besar, tetapi dari konsistensi antara apa yang dikatakannya dan apa yang menjadi tindakan politik hariannya. Ini juga yang menjadi latar utama mengapa tempo hari seorang guru besar filsafat yang rajin berpuasa Socrates lebih memilih meminum racun daripada melacurkan diri dengan kekuasaan. Meminum racun sebagai lambang sosok agung Socrates yang tidak mau mencabut renungan filsafatnya yang dikukuhi sebagai kebenaran, sebagai kemestian menghidupkan kembali logika kaum muda yang telah berkompromi dengan kemapanan.
Seandainya Socrates mengambil pilihan menyelamatkan nyawanya dengan menerima tawaran sang Qadi, kemungkinan dia bukan hanya tidak akan pernah dikenang, tetapi menjadi objek umpatan. Bisa jadi kaum muda tidak lagi berani berfikir merayakan kebebasan yang menjadi fitrah kemanusiannya. Itu juga yang menjadi alasan dasar seorang Ibrahim tidak menghianati Tuhan ketika Dia meminta menunaikan seluruh sumpahnya membawa anak semata wayangnya ke lapangan mina yaitu untuk di sembelih. Sumpahnya tidak lantas menjadi sampah, tetapi dikukuhinya biarpun tagihan tuahn itu sekedar datang lewat senarai mimpi-mimpinya. Menunaikan sumpah itu jauh lebih penting ketimbang menyelamatkan sang anak ketimbang berkompromi dengan nafsu yang tidak berhenti menebar godaan bahwa mimpi itu adalah palsu.
Iman Ibrahim dengan keteguhan memegang kata sumpah ini yang dikelompokkan filsuf Soren Kierkegaard sebagai model manusia religius. Nalar Socrates dengan keberanian mempertaruhkan nyawanya yang disebut sang filsuf Denmark itu sebagai manusia etik. Di luar itu, adalah manusia estetik : kata-kata yang mencekik dirinya, sumpah yang dilanggarnya, dan daging yang mengotori kesucian rohnya. Seperti Don Yuan yang seluruh hidupnya dipersembahkan demi memburu kesenangan seksualitas dan menuntaskan kenikmatan ragawi.
Ditulis oleh Ang Zaenal Alfian