Syarat Sahnya Ibadah

                                        Ikhlas dan Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW

 Syarat sahnya ibadah. Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan penundukan (lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal 17, at-Tauhid al-Muyassar hal 53). Secara termonologi ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definisi itu saling melengkapi. Diantaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya (lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal 17). Syaikh as-Sa'di rahimahullah juga menerangkan bahwa ibadah itu mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta membenarkan berita yang dikabarkan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal 45). Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, ''Sebagaian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.'' (lihat al-Irsyad ilaa shahih al-I'tiqad, hal 34). Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan,''Ibadah yang diperintahkan itu harus mengndung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah itu mengandung tiga pilar ; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus terpadu. Barang siapa yang bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah Swt dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji'ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini jalan-Nya kaum Khawarij.'' (al-Irsyad ilaa shahih al-I'tiqad, hal 35). Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma mengenai maksud firman Allah yang artinya, ''Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian,'' (QS. AL-BAQARAH: 21). Beliau menjelaskan, ''artinya tauhidkanlah Rabb kalian.....'' (tafsir Al-Quran Al-'adhim 1/75).

Didalam kitabnya Al-'Ubudiyah (lihat Al-'Ubudiyah, hal 6 cet. Maktabah Al-Balagh, tahun 1425 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi (Lihat Mawaa-iz Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syaikh Shalih Ahmad As-Syami, hal 54 cet. Al-Maktab Al-Islami tahun 1423 H). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati/bathin dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah (Lihat Al-Irsyad Ilaa Shahih Al-I'tiqad, hal 34).
Syarat Sahnya Ibadah

Dari pengertian-pengertian diatas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan diatas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintah-Nya, seddangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul 'alaihimush sholaatu wassalaam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua ibadah harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad SAW, nabi dan rasul yang terakhir. Ibadah atau amalan akan menjadi benar dan diterima disisi Allah jika memenuhi 2 syarat, yaitu ; Ikhlas dan Ittiba' (Lihat Mazhaahiru Dha'fil 'aqidah fii haadzal 'Ashr wa thuruqu Ilajiha, oleh Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal 10 cet. Kunuz Isybiliya, tahun 1430 H). Sebagian ulama menambahkan syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin Hadi Al-Madkhali dalam Abraz Al-Fawaa-id Syarh Arba' Al-Qawaa'id). Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukan kepada Allah dan tidak dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya dan sum'ah. Riya adalah beribadah karena ingin dilihat oleh orang lain agar mendapatkan suatu pujian, sedangkan sum'ah adalah beribadah karena ingin didengar orang lain agar mendapatkan pujian. Ittiba' maksudnya adalah setia dengan tuntunan/sunnah Nabi Muhammad SAW, tidak mereka-reka tata caraibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat Muhammadar rasuulullah. Lawan dari ittiba' adalah ibtida' atau membuat bid'ah (Silahkan baca Al-Bid'ah Dhawaabhituha wa-atsaruha As-sayyi'fi al-ummah, oleh Syaikh Dr Ali bin Muhammad Nashir Al-faqihi hafizhahullah, cet. Jam'iah AL-Islamiyah bil Madinah al-Munawwarah).

Allah SWT berfirman yang artinya: ''Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal shalih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.'' (QS. Alkahfi: 110). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal shalih ialah amalan yang sesuai dengan syari'at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah. Inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-azhim 5/154 Baca juga Al-Qawaa-id wa Al-Ushul Aj-Jami'ah wa Al-furuq wa at-Taqaasim Al-Badi'ah An-Naafi'ah karya Syaikh As-Sa'di rahimahullah, hal 40-42). Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak ittiba' -alias berbuat bid'ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba' (lihat Bahjat Al-Quluub Al-Abrar wa Qurratu 'Uyun Al-Akhyar Syarh Jawaami' Al-Akhbar karya Syaikh As-Sa'di rahimahullah, hal 14). Oleh sebab itu para ulama, diantaranya Fudhail bin 'Iyad rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu 'amalan (amal yang terbaik) dalam surat Al-Mulk ayat 2 adalah sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling benar (lihat Al-'Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal 93). Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah/ajaran Nabi (lihat Jami'ul 'ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah , hal 19 cet. Daar Al-Hadits, tahun 1418 H). Bukan dengan cara-cara bid'ah. Bid'ah adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari'at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah SWT (lihat Al-Bid'ah, Dhawaabituha wa Atsaruha As-Sayyi' fi Al-Ummah- hal 13). Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari'at islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkandengan cara dan sarana yang baik pula (Lihat Ighasat Al-Lahfan min Mashaa'id As-Syaithan, Karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal 16 cet.  Dar Thaibah, tahun 1426 H). Islam tidak mengenal kaidah ala yahudi ; tujuan menghalalkan segala cara.

Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara Shihhatul Iraadah (ketulusan niat) dengan Shihhatul Fahm (kelurusan pemahaman). Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi -shihhatul iraadah dan shihhatul fahm- merupakan anugerah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Ketulusan niat termujud didalam tauhid dan keikhlasa, sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba' kepada sunnah. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah pernah berdo'a, ''Allahumma ahyinaa 'alal islaam, wa amitnaa 'alassunnah.'' artinya: ''Yaa Allah, hidupkanlah kami diatas islam (tauhid), dan matikanlah kami diatas Sunnah''. Wallaahu A'lamu Bishshawwaab***

Subscribe to receive free email updates: