Peradaban dunia umumnya menempatkan lelaki sebagai tokoh sentralnya. Berbagai kisah tentang pembentukan dan keruntuhan suatu negeri selalu berkaitan dengan kegemilangan atau kemalangan seorang laki-laki. Beberapa kisah ada juga yang menempatkan perempuan sebagai tokoh utamanya, tetapi pada akhirnya melibatkan juga laki-laki sebagai ''problrm solver''. Dinamika gender tersebut contohnya ada dalam kisah Ratu Bilqis yang akhirnya diperistri oleh Nabi Sulaiman. Kita juga pasti tahu, kesuksesan Baginda Rasulullah SAW tidak terlepas dari kisah kesabaran dan penuh pengayoman dari sosok Siti Khadijah ra, atau juga kecerdasan seorang Siti'Asyiah ra. Secara diametral, kita juga tahu betapa tidak berdayanya Abu Sufyan menolak hasutan Hindun sehingga cahaya hidayah pun tertolak, atau betapa celakanya Abu Lahab yang walaupun teguran-Nya telah jelas terlihat, tetapi karena kebencian sang istri terhadap Islam, maka secara tragis dia harus menerima kenyataan ; tersurat abadi dalam kebinasaan seperti tercantum dalam Juz 'amma.
Hubungan suami dengan istri dalam pola yang lain ditunjukan oleh betapa tidak mampunya Nabi Luth dan Nabi Nuh memperbaiki tabiat istri masing-masing, sehingga harus merelakannya termasuk kepada orang-orang yang menerima azab, atau kesuksesan Siti Asyiah yang walaupun hidup bergelimang cerita sebagai istri Fir'aun sang laknatullah, tetapi berhasil mempertahankan kebaikannya , sehingga beroleh ganjaran jaminan surga dan kelak menjadi salah satu istri Rasululloh SAW. Ditingkat nasional pun kita tahu bagaiman rapuhnya Soekarno tanpa dukungan kasih sayang seorang Inggit Garnasih, yang tanpa semua itu mungkin perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak akan berbuah manis seperti sekarang. Dalam segmen sesudahnya, kita pun masih ingat betapa dominannya pengaruh Tien Soeharto terhadap kondisi spiritual presiden kedua kita. Tentu masih banyak kisah lain dengan pelaku berbeda pula yang bisa kita ambil pelajaran darinya.
Dengan tidak bermaksud merecoki jagat penegakan hukum dewasa ini, kita dapat mengambil hikmah dari kisah isteri pejabat-pejabat yang tersandung masalah hukum. Para isteri tersebut pasti sedikit banyak berperan dalam membentuk tindakan tercela para suaminya. Fakta persidangan yang kerap menyebut isteri tidak menyuruh, bahkan katanya tidak mengetahui kejahatan suami, sangat mungkin hanyalah rekayasa sang pokrol bambu agar kliennya terlepas dari jeratan hukum, yang pada gilirannya hanya bermaksud mengambil keuntungan finansial dan popularitas belaka dari kasus tersebut. Dalam kasus korupsi di MK yang menyeret Akil Mochtar dan juga Wawan sebagai terdakwa, kita tentu mengerenyitkan dahi ; kalau memang tidak menyuruh atau mengambil manfa'at dari korupsi tersebut, masa Ratu Rita dan juga Airin Rachmi sebagai isteri resmi masing-masing tersangka tidak merasa ganjil dengan kelakuan suaminya?
Rangkaian kisah tersebut diatas seolah-olah menjadi pembenaran terhadap latar belakang didirikannya organisasi Dharma Wanita (DW) sebagai wadah beraktivitas isteri para pejabat publik dan Pegawai Negeri (PN) disemua tingkatan organisasi pemerintahan. Jika ditambah dengan organisasi sejenis dan kalangan profesional, nomenklatur DW ini cukup banyak, misalnya kita mengenal Persit (isteri tentara), Bhayangkari (isteri polisi), IIDI (isteri dokter), dan lain sebagainya. Dengan fungsi utama melakukan pembinaan bagi para isteri agar mendukung suaminya, kasus-kasus isteri yang menyebabkan sang suami bersalah paling tidak dapat dicegah sedini mungkin. Dan berkaca pula dari kasus Wawan, pemerintah perlu mempertimbangkandibentuknya organisasi sejenis bagi kaum laki-laki (Jika pakem yang dipakai sama, dapat dipastikan nomenklatur organisasi tersebut adalah ''Dharma Pria''). Karena mempunyai kesamaan dalam kesehariannya DW sering tertukar dengan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga). Hal prinsip yang membedakan antara keduanya adalah sifat keanggotaannya, DW bersifat stelsel aktif ; isteri pejabat dan PN otomatis menjadi anggotanya, sedangkan PKK bersifat stelsel pasif ; setiap kaum perempuan berhak mendaftar menjadi anggotanya. Dengan demikian, seharusnya nama anggota DW diawali dengan predikat nyonya diikuti nama sang suami, sedangkan anggota PKK, bisa tidak mencantumkan nama suami.
Berkaitan dengan beberapa kisah diatas pula dapat disimpulkan hanya ada dua pilihan untuk dijalani oleh kaum isteri ; apakah ingin menjadi isteri yang berbakti pada suami? atau malah membebani dan mencelakakan suami seperti kisah para isteri yang durhaka.? Wahai kaum isteri sekalian, sesuai pepatah jawa yang berjudul diatas ; yakinlah anda akan ikut saat suami menikmati surga, tetapi ingatlah anda pun akan terbawa hina apabila suami terpaksa harus masuk neraka.
Demikian, mudah-mudahan segenap kaum perempuan menjadi isteri yang sukses dan menyukseskan suaminya. Amiin.***