Salah satu hikmah dari krisis dan kehancuran ekonomi-bisnis sejak Juli 1997 adalah munculnya kesadaran baru akan penting dan relevansinya etika bisnis. Krisis dan kehancuran ekonomi dan bisnis telah menyadarkan banyak pihak tentang kekeliruan anggapan lama bahwa bisnis bisa bertahan dan berhasil dalam jangka panjang hanya dengan mengandalkan permainan curang.
Banyak pihak meragukan, berdasarkan kenyataan empiris selama orba, bahwa untuk berhasil dan untung orang perlu berbisnis secara etis. Berbagai praktek tender fiktif, laporan keungan asli tapi palsu, dan penuh kebohongan, kredit yang disalurkan tanpa ada jaminan dan persyaratan formal yang jelas dan sebagainya seakan menjadi dasar yang kokoh untuk menepis dan bersikap sinis terhadap tuntutan akan perlunya etika dalam bisnis. Bisnis dan etika lalu dianggab seakan dua dunia yang tidak bersentuhan bahkan bertentangannya satu sama lainnya.
Walaupun etika bisnis telah dijadikan sebagai salah satu kajian akademis pada pertengahan tahun 1980, belum lagi diskusi dan seminar-seminar digelar. Namun satu hal yang perlu di pertanyakan kembali, sudahkah perkembangan etika bisnis itu ditanggapi serius oleh para pelaku bisnis dan peletak kebijakan. Sehingga tidak berhenti dalam pembicaraan dan diskusi yang tidak punya aksi.
Pengajaran dan penegakan etika bisnis teryata harus berhadapan dengan suatu sikap pesimistis, karena realitas masyarakat kita mendorong munculnya sikap demikian. Kinerja bisnis nasional dan daerah sangat jauh dari kaidah-kaidah moral. Penerapan bidang-bidang tersebut dalam praktek bisnis masih jauh dari harapan. Banyak kendala untuk mewujudkan kinerja bisnis yang etis (bermoral).
Theo Sudimi dalam artikel kode etik bisnis, 1998 menyebutkan ada 3 kendala penting yang mempengaruhinya. Pertama, mentalitas para pelaku bisnis, terutama top manager, yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja bisnis. Kedua adalah faktor budaya masyarakat yang cenderung memandang pekerjaan bisnis sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan keserakahan serta bekerja mencari untung dianggap seru dan kotor. Pandangan ini memperlihatkan bahwa masyarakat kita memiliki persepsi yang keliru tentang profesi bisnis sebagai mana terjadi di negara-negara barat. Ketiga adalah faktor sistem politik dan kekuasaan yang diterapkan oleh penguasa dimana menciptakan sistem ekonomi yang begitu jauh dengan nilai-nilai moral dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
Nampaknya‘’malapetaka‘’dapat menjadi ‘’obat’’ mujarab untuk menumbuhkan kesadaran yang telah dibuat pada masa lampau dan keinginan untuk memperbaiki kinerja atau perilaku manusia dan lembaga di masa yang akan datang.
Pengalaman telah mengajarkan kita semua bahwa kita membutuhkan sebuah iklim bisnis yang baru sama sekali. Yaitu iklim bisnis yang benar-benar di bangun di atas dasar persaingan yang sehat dan fair, yang dengan itu menghargai etika dan moralitas. Hanya dengan iklim seperti itu, tujuan bisnis untuk berhasil dan bertahan dalam jangka panjang bisa diwujudkan. Ini berarti, asumsi dasar yang dipegang di sini adalah bisnis yang baik adalah bisnis yang berhasil dalam jangka panjang. Dan karena itu, bisnis yang baik dan berhasil adalah bisnis yang dijalankan secara etis. Karena itu etika bisnis merupakan suatu keniscayaan.
Urgensi bisnis tidak dipandang sebelah mata oleh Islam. Bisnis selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mau tidak mau mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional dan internasional.
Keterlibatan muslim di dalam dunia bisnis bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Kenyataan tersebut telah berlangsung sejak 14 abad yang lalu. Hal tersebut tidaklah mengejutkan karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulullah SAW telah terlibat di dalam kegiatan ini selama beberapa tahun.
Kebaikan dan kesuksesan serta kemajuan suatu bisnis sangat tergantung pada tingkat kesungguhan dan ketekunan kerja seorang pelaku bisnis. Al Quran menyebutkan tentang kerja dengan frekuensi yang sedemikian banyak. Bahkan hampir disetiap halaman Al Quran ada yang merefer pada kerja. Sebagai bukti ada sebanyak 360 ayat yang membicarakan tentang amal dan 109 yang membicarakan tentang fi’il (dua kata itu sama-sama bermakna kerja dan aksi). Selain dua kata itu terdapat kosa kata lain yang diambil dari akar kata yang juga menekankan pada aksi dan kerja yaitu seperti kasaba, baghiya, sa’aa dan jahada. Frkuwensi penyebutan tentang kerja yang sedemikian banyak, menunjukan betapa pentingnya segala bentuk kerja produktif dan aktivitas yang menghasilkan di dalam Al-Quran.
Di sisi lain Al Quran sangat menentang tindakan malas dan menyia-nyiakan waktu, baik dengan cara berpangku tangan dan tinggal diam atau melakukan hal-hal yang tidak berproduktif. Al Quran selalu menyeru manusia untuk mempergunakan waktu dengan cara mengintesvigasikan dalam hal-hal yang menguntungkan dengan selalu menggunakannya dalam tindakan-tindakan kerja yang baik. Malah orang yang tidak mempergunakan waktunya secara baik akan di cela dan dimasukkan pada golongan yang sangat merugi (Al Qur’an; 103 : 1-3)
Abdul Hadi seorang pemikir Islam mengatakan bahwa ‘’Islam aqidatun ‘amalin wa ‘amalu ‘aqidatin (Islam sebagai idiologi praktis sebagaimana juga sebagai praktek Ideologi). Ismail Raji Al Faruqi dengan daya empatik yang tak kalah segarnya mengatakan bahwasanya Islam adalah a religion of action (agama aksi). Saat menerangkan Islam pada usaha ekonomi, dia mengatakan : memenuhi dunia, ruang-ruang waktu dengan nilai-nilai, bukan hanya penting bagi agama namun ini adalah kepentingan agama.
Oleh karena itu suatu yang tidak dapat di bantah lagi bahwa semua bentuk hasil produksi adalah hasil dari pada sebuah kerja. Dan setiap perkembangan dalam hal kualitas dan kuantitas produksi juga sangat tergantung pada sebuah kerja. Maka, makna penting kerja dan amal itu tidak akan pernah diabaikan oleh Islam. Islam selalu menyeru pada setiap mukmin untuk selalu bekerja dan berjuang, serta melarang segala bentuk praktek kemalasan dan berpangku tangan.
C.C Toney dalam disertasinya yang berjudul: The Commercial-Theological Terms In The Qoran mengatakan bahwasanya sebagian dari teologi Quran mengandung tema-tema bisnis, ada 20 macam terminologi bisnis yang diulang pada 370 tempat dalam Al Quran. Penggunaan tema-tema bisnis ini, menunjukan manifestasi adanya sebuah spirit yang bersifat komersial dalam Al Quran dan secara otomatis pula memberikan rambu-rambu (kode etik) tersendiri bagi pelaku bisnis. Satu sisi Al Qur’an mengapresikan semangat bisnis, disisi lain ada batasan-batasan yang menjadi garis merah yang tidak boleh dilampaui dalam mengapresiasikan bisnis.
Al Quran melarang segala bentuk praktek ketidakadilan dalam berbisnis. Tindakan tidak fair jauh lebih dikutuk dari dosa-dosa yang lain. Kejujuran, fair, adil menjadi barometer utama dalam bisnis yang beruntung. Secara umum, Islam melarang semua bentuk transaksi yang akan menimbulkan kesulitan dan masalah, sebuah bentuk transaksi yang hanya semata-mata bedasarkan kans dan spekulasi. Dimana hak-hak semua pihak yang terlibat bisa menarik keuntungan namun mengorbankan pihak lain.
Esensi dari bisnis yang tidak di halalkan adalah suatu bisnis yang di dalamnya mengandung cara konsumsi yang haram, atau melanggar norma-norma Islam, merampas hak dan kekayaan orang lain. Inilah yang Al Quran sebutkan akl bi al-bathil (makan dengan cara bathil). Karena ketidakadilan berakar pada semua tindakan dan perilaku bisnis yang tidak dikehendaki, maka semua ajaran yang ada dalam Al Quran di fokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan bisnis yang mendasar ini, bahkan Rasulullah melaknat semua bentuk ketidakadilan. Ketidakadilan dan kezaliman adalah bentuk kejahatan yang tidak akan pernah diampuni. Dan orang yang melakukannya akan berada dikegelapan pada hari kiamat, ia harus membayar ‘’lunas’’ kejahatan, kezaliman yang telah dilakukan. Allah tidak akan mengampuni perbuatan curangnya kecuali orang yang dirugikan haknya mengampuni tindakannya.
Bisnis yang menguntungkan adalah sebuah bisnis yang keuntungannya bukan hanya terbatas untuk kehidupan di dunia ini, namun juga keutungan itu bisa dinikmati di akhirat. Sukses dunia dengan mengorbankan nilai-nilai religi merupakan kerugian investasi yang abadi di akhirat. Karena usaha mencari keuntungan yang demikian banyak dengan cara bisnis yang curang akhirnya akan menciptakan kemelaratan dan keterpurukan ekonomi, yang bisa dirasakan di dunia ini. Dengan demikian bisnis yang sukses tidak hanya didasari oleh perhitungan membaca pasar dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat tapi juga harus menghindari sifat dan perbuatan curang dan cenderung korup. Visi akhirat bisa menjadi pagar moral untuk tidak berbuat curang dalam berbisnis.
Perilaku yang benar juga menjadi parameter utama etika pelaku bisnis yang diatur oleh Al Qur’an. Al Quran memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk menjaga amanah dan menjaga janjinya (Q; 23: 8), memerintahkan bisnismen untuk adil dan moderat dalam perilaku mereka terhadap Allah, begitu juga terhadap manusia. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan kebijakan, oleh karena itu mengharuskan pelaku bisnis memiliki pandangan masa depan yang tajam guna mengatur dan menabung sesuatu guna menghadapi masa-masa melarat.
Dalam menggerakkan roda bisnis, seorang muslim harus selalu ingat kepada Allah, terhadap ibadah ritualnya dan berkewajiban membayar zakat walaupun aktivitasnya begitu sibuk dan cepat. Dia harus menghentikan segala aktivitas bisnisnya ketika shalat jum’at dan setelah jum’at kembali melakukan aktivitasnya. Al Quran telah mendeklarasikan bahwa kekayaan dan anak adalah tes krusial untuk sebuah integritas manusia. Jika manusia mampu berlaku baik saat mereka berada di tengah-tengah keuntungan dan harta yang melimpah, maka ia akan mendapat pahala yang baik karena tindakan yang demikian dianggap perilaku yang baik.
Penutup
Etika bisnis ibarat berjalan di atas pematang sawah, sebagai garis lurus yang perlu di jalani bersama. Sewaktu-waktu tergelincir dari pematang sawah adalah sifat kemanusiaan, pihak lain dan hati nurani yang religi harus berbicara secara pengontrol perilaku bisnis.
Memang pelanggaran etika sampai saat ini tak ada sanksi hukum formal yang bisa mempidanakan pelanggarannya. Namun di sisi lain, manusia adalah bagian dari makhluk yang perlu rewards (penghargaan) dari orang lain. Pelanggaran terhadap hati nurani diri dan orang lain akan mengganggu komunikasi interpersonal dan bisnis. Pelaku bisnis seyogyanya selalu mempertanyakan ‘’apakah kegiatan bisnis saya ini mengganggu atau menyusahkan pelaku bisnis lain’’? Dalam dunia bisnis diperlukan adanya kepercayaan antar pelaku bisnis, sekali kepercayaan itu runtuh karena bagian etika kurang diperhatikan, maka struktur bangunan kepercayaan akan tercabik-cabik .
Dalam masyarakat sekuler, Tuhan menjadi bagian pengawal belaka. Moral atau etika hanya dikantongi manusia ketika berhadapan dengan Tuhan. Pemisahan agama dengan kehidupan sehari-hari berarti mengingkari agama itu sendiri yang akan membawa rahmat bagi seluruh manusia atau alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sepatutnya keberadaan Allah harus menjadi pegawas dalam berbagai aktivitas bisnis sehingga etika, moral harus lebih dikedepankan berbanding keuntungan yang semu, menghancurkan teman, saudara, kenalan dan masa depan di akhirat.
Disamping itu pula dengan tumbuhnya persaingan yang sehat merupakan kondisi yang akan menunjang terciptanya praktek bisnis yang etis. Untuk menjaga persaingan bisnis berjalan dengan fair, pemerintah di tuntut untuk terlihat secara aktif sebagai wasit yang netral dan adil. Dalam hal ini pemerintah harus berfungsi sebagai penjaga keadilan bagi semua warga negara bukan pelanggar keadilan. Wallahu a’lam.