Islam menegaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Akan tetapi dalam perjalanannya, kesucian manusia banyak dicemari oleh pelbagai pergaulan yang menjerumuskan manusia kedalam lembah noda dan dosa. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu (al-nafs al-ammaarah) yang selalu membujuk manusia untuk berpaling dari futhrah kesuciannya. Dalam makna kehidupan, kesucian Idul Fithri dapat dilihat dari seluruh aktifitas ibadah taqarrub (mendekatkan diri) secara tulus kepada Allah untuk mendapatkan rahmat, berkah dan pembebasan diri dari api neraka, seperti melalui ibadah puasa, tarawih, infaq/shadaqah, tilawatil Quran, dan zakat fitrah sampai ibadah shalat Idul Fithri. Semua itu pada dasarnya mengajarkan kepada kita berprilaku tamak dan angkuh. Sekaligus menjadi proses pembelajaran supaya kita terhindar dari perbuatan bathil; berbohong, manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penyucian jiwa melalui ibadah puasa itu tidak terbatas hanya meninggalkan kebutuhan jasmaniah belaka (makan, minum dan kebutuhan seksual), tapi harus sampai pada pengekangan terhadap hawa nafsu sehingga tumbuh sikap positif yang ditandai dengan sikap syukur dan shabar kepada Allah SWT. Sehingga puasa yang kita tunaikan benar-benar menjadi yang produktif dalam arti mampu mengantarkan manusia pada derajat Muttaqiin dan Syarikin. Sikap taqwa tersebut kemudian harus senantiasa tercermin dalam prilaku dan ketulusan bathiniah dalam menjalankan kehendak ilahi dan ridho atas keputusan yang Allah berikan, meski kadang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan kita. Sebab semua kehendak Allah yang menimpa pada manusia itu adalah yang terbaik menurut Allah. Tinggal kita bagaimana memandang dan pandai-pandai mencari hikmah dibalik semua itu. Inilah yang menjadi cerminan pribadi muslim muttaqin.
Keikhlasan dalam puasa juga dapat dimanifestasikan melalui uluran tangan kita kepada sesama manusia yang membutuhkannya, mampu berbagi --memberikan sebagian kelebihan harta yang telah Allah titipkan kepada kita-- sehingga dari situ muncul individu muslim yang juga saleh secara sosial. Nabi Muhammad SAW memeberikan tauladan pada ummatnya dalam menonjolkan sifat kemurahan hati dan kedermawanannya terlebih pada saat bulan puasa. Oleh karen itu dalam rangkaian ibadah puasa dan Idul Fithri, Islam menekankan semangat solidaritas sosial tersebut melalui kewajiban kita dalam mengeluarkan zakat fithrah, sebagai penyempurna yang dapat menghantarkan kembali kemanusiaan kita kedalam kesucian jiwa pada hari raya Idul Fithri. Keengganan menunaikan zakat fitrah bagi yang mampu, menandai kegagalan dalam meraih kembali kesucian manusia dirinya sendiri.
Maka, dengan ber-hari raya Idul Fithri berarti kita tengah mengembalikan kesucian jiwa kepada fitrahnya yang semula, seperti halnya bayi yang baru lahir. Oleh karena itu, makna dan hakikat Idul Fithri sejatinya tidak hanya dirasakan oleh umat muslim saja, tetapi juga oleh umat lainnya, begitupun kebahagiaan Idul Fithri tidak hanya dirasakan oleh para pejabat/atau yang kaya saja, tetapi juga dapat dirasakan oleh masyarakat jelata. Dengan ini, maknanya dan hakikat Idul Fithri pun tidak hanya milik mereka yang shaleh secara spiritual saja tetapi juga dapat diraih oleh kalangan yang shaleh secara sosial.
Akhirnya, kehadiran Idul Fithri benar-benar dapat mengembalikan posisi manusia pada derajat tertinggi (mulia) sekaligus dapat membawa manfaat bagi makhluk lainnya. Yakni dengan cara mengedepankan rasa cinta kasih dan kemurahan hati yang dibarengi dengan menahan amarah dan bersifat pemaaf terhadap sesama, dan mengubur dalam-dalam rasa dendam dan hasud yang menjadi penyulut terjadinya konflik diantara sesama manusia. Semua sifat-sifat itu harus menjadi penghias bagi jiwa-jiwa yang merayakan Idul Fithri. Sikap bathin inilah yang merupakan wujud nyata dari fithrah manusia yang ditetapkan Allah SWT atas sifat dasar manusia ketika diciptakan-Nya.