<=Sejarah Awal Mula Shalat Jumat=> Shalat Jumat merupakan simbol dari persatuan dan kesatuan umat Islam dalam upaya taqarrub ilallah tanpa memandang pangkat, derajat, warna kulit, bahasa dan perbedaan sosial lainnya. Pada saat itu semua umat Islam berkumpul menjadi satu untuk melakukan ibadah secara bersama-sama dan berdoa kepada Allah Swt.
Menurut sebagian riwayat kata Jumat diambil dari kata jama’a yang artinya berkumpul. Yaitu hari perjumpaan atau hari bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Kata Jumat juga bisa diartikan sebagai waktu berkumpulnya umat muslim untuk melaksanakan kebaikan, yaitu shalat Jum’at.
Salat Jumat adalah aktivitas ibadah salat wajib yang dilaksanakan secara berjama’ah bagi lelaki Muslim setiap hari Jumat yang menggantikan salat zuhur. Shalat Jumat merupakan kewajiban setiap muslim laki-laki, sebagaimana firman Allah Swt: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jum’ah: 9)
Rasulullah saw bersabda: “Salat Jumat itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim).
Karenanya, meninggalkan shalat Jumat tanpa sebab yang syar’i seperti sakit parah, safar, hujan sangat lebat adalah dosa besar. Rasulullah saw telah memperingatkan dengan tegas atas siapa saja yang melalaikannya: “Jika suatu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at maka Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar).
Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi saw bersabda: “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.” (Diriwayatkan dari Usamah). Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang meninggalkan tiga Jum’at (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka ia ditulis termasuk golongan orang-orang munafik.” (HR. Al-Thabrani).
Karenanya, para pemuda dan siapa saja yang terlanjur meremehkan shalat Jumat dan beberapa kali meninggalkannya agar segera kepada Allah dengan penyesalan yang dalam. Bertekad untuk tidak mengulanginya. Kemudian menanamkan tekad yang kuat dalam diri akan menjaga shalat Jumat. Jika tidak, khawatir Allah menutup pintu hidayah, sehingga ia meninggal di luar Islam.
Hal itu disebabkan oleh salah satu satu syarat sahnya pelaksanaan shalat Jumat adalah harus dilakukan dengan berjamaah. Padahal ketika itu sangat sulit untuk mengumpulkan umat Islam secara bersama-sama di dalam satu tempat dan pada waktu yang sama pula. Namun meski tidak bisa melaksanakan shalat Jumat Nabi Muhammad masih sempat mengutus seorang sahabatnya yang bernama Mush’ab bin Umair bin Hasyim yang tinggal di kota Madinah agar dia mengajarkan Alquran pada penduduk kota itu.
Menurut sebagian riwayat kata Jumat diambil dari kata jama’a yang artinya berkumpul. Yaitu hari perjumpaan atau hari bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Kata Jumat juga bisa diartikan sebagai waktu berkumpulnya umat muslim untuk melaksanakan kebaikan, yaitu shalat Jum’at.
Salat Jumat adalah aktivitas ibadah salat wajib yang dilaksanakan secara berjama’ah bagi lelaki Muslim setiap hari Jumat yang menggantikan salat zuhur. Shalat Jumat merupakan kewajiban setiap muslim laki-laki, sebagaimana firman Allah Swt: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jum’ah: 9)
Rasulullah saw bersabda: “Salat Jumat itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim).
Karenanya, meninggalkan shalat Jumat tanpa sebab yang syar’i seperti sakit parah, safar, hujan sangat lebat adalah dosa besar. Rasulullah saw telah memperingatkan dengan tegas atas siapa saja yang melalaikannya: “Jika suatu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at maka Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar).
Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi saw bersabda: “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.” (Diriwayatkan dari Usamah). Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang meninggalkan tiga Jum’at (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka ia ditulis termasuk golongan orang-orang munafik.” (HR. Al-Thabrani).
Karenanya, para pemuda dan siapa saja yang terlanjur meremehkan shalat Jumat dan beberapa kali meninggalkannya agar segera kepada Allah dengan penyesalan yang dalam. Bertekad untuk tidak mengulanginya. Kemudian menanamkan tekad yang kuat dalam diri akan menjaga shalat Jumat. Jika tidak, khawatir Allah menutup pintu hidayah, sehingga ia meninggal di luar Islam.
Harus berjamaahDalam sejarahnya, shalat Jumat pertama kali adalah ketika muncul perintah dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad ketika beliau masih berada di Mekkah dan sedang dalam persiapan untuk melakukan hijrah ke Madinah. Karena pada masa itu masih terjadi sengketa dengan kaum Quraisy, maka perintah tersebut tidak bisa dilakukan.
Hal itu disebabkan oleh salah satu satu syarat sahnya pelaksanaan shalat Jumat adalah harus dilakukan dengan berjamaah. Padahal ketika itu sangat sulit untuk mengumpulkan umat Islam secara bersama-sama di dalam satu tempat dan pada waktu yang sama pula. Namun meski tidak bisa melaksanakan shalat Jumat Nabi Muhammad masih sempat mengutus seorang sahabatnya yang bernama Mush’ab bin Umair bin Hasyim yang tinggal di kota Madinah agar dia mengajarkan Alquran pada penduduk kota itu.
Maka pada saat inilah sejarah shalat Jumat dimulai. Karena selain mengajarkan Alquran, sahabat setia Nabi tersebut juga meminta izin pada beliau untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jumat dan Rasul dengan senang hati mengizinkannya. Jadi Mush’ab bin Umair bin Hasyim adalah orang yang pertama kali melakukan ibadah ini.
Sementara Nabi Muhammad sendiri baru bisa melakukah shalat Jumat ketika dia sudah berada di kota Madinah. Pada waktu itu beliau ada di suatu daerah yang bernama Quba’ dan menemui sahabat dekatnya yang lain yang bernama Bani ‘Amr bin ‘Auf.
Peristiwa ini terjadi pada hari Senin pada 12 bulan Rabi’ul Awwal. Kemudian tiga hari sesudahnya, yaitu hari Kamis, Nabi mendirikan sebuah masjid. Dan esoknya pada hari Jumat, Nabi Muhammad bertemu lagi dengan sahabatnya itu di kota Madinah yang akan mengadakan Shalat Jumat di sebuah lembah yang telah dijadikan masjid dan tempatnya tidak begitu jauh dari mereka berdua.
Mengetahui hal tersebut maka Nabi Muhammad memutuskan untuk ikut melakukan shalat Jumat sekaligus berkhutbah sebelum pelaksanaan shalat. Inilah khutbah pertama yang dilakukan oleh Rasul ketika berada di kota Madinah.
Shalat Jumat bisa dianggap sebagai muktamar mingguan (mu’tamar usbu’iy) karena pada hari Jumat inilah umat muslim dalam satu daerah tertentu dipertemukan. Mereka dapat saling berjumpa, bersilaturrahim, bertegur sapa, saling menjalin keakraban. Dalam kehidupan desa Jumatan dapat dijadikan sebagai wahana anjangsana. Mereka yang mukim di daerah barat bisa bertemu dengan kelompok timur dan sebagainya.
Begitu pula dalam lingkup kota-kota besar di Indonesia, Jumatan ternyata mampu menjalin kebersamaan antarkaryawan. Tidak jarang dan mengherankan bila di beberapa kota besar bila pelaksanaan shalat jumat dilakukan di kantor-kantor dan gedung-gedung pertemuan. Realita ini telah menjadi pemandangan yang umum. Mereka yang setiap harinya sibuk bekerja di lantai enam, bisa bertemu sesama karyawan yang hari-harinya bekerja di lantai tiga dan seterusnya.
Kedua, sebelum pelaksanaan shalat jumat ada khutbah yang disampaikan para khatib, tujuannya adalah untuk saling mengingatkan dan memberikan pencerahan terhadap sesama Muslim agar waspada dalam menjalani hidup. Dalam konteks ini ada bagian di mana etos keilmuan Islam terus dikembangkan melalui khutbah; Ketiga, terjalinnya silaturrahim di antara sesama Muslim. Sesibuk apa pun orang Islam, pada hari jumat ketika azan berkumandang, semuanya sadar untuk menghentikan segala kegiatan, bergerak untuk shalat, rukuk dan sujud secara berjamaah di masjid-masjid, dan;
Keempat, seusai salat bisa terjadi komunikasi di antara sesama Muslim untuk saling meningkatkan pengertian dan kepedulian terhadap proyek pembangunan sumber daya umat Islam di berbagai bidang kehidupan. Sesungguhnya, ada banyak manfaat dan dampak yang positif dari tradisi pelaksanaan shalat Jumat yang diwariskan oleh Rasulullah saw kepada kita umat Islam yang didasari oleh perintah Allah Swt. Wallahu a’lam.
Sementara Nabi Muhammad sendiri baru bisa melakukah shalat Jumat ketika dia sudah berada di kota Madinah. Pada waktu itu beliau ada di suatu daerah yang bernama Quba’ dan menemui sahabat dekatnya yang lain yang bernama Bani ‘Amr bin ‘Auf.
Peristiwa ini terjadi pada hari Senin pada 12 bulan Rabi’ul Awwal. Kemudian tiga hari sesudahnya, yaitu hari Kamis, Nabi mendirikan sebuah masjid. Dan esoknya pada hari Jumat, Nabi Muhammad bertemu lagi dengan sahabatnya itu di kota Madinah yang akan mengadakan Shalat Jumat di sebuah lembah yang telah dijadikan masjid dan tempatnya tidak begitu jauh dari mereka berdua.
Mengetahui hal tersebut maka Nabi Muhammad memutuskan untuk ikut melakukan shalat Jumat sekaligus berkhutbah sebelum pelaksanaan shalat. Inilah khutbah pertama yang dilakukan oleh Rasul ketika berada di kota Madinah.
Shalat Jumat bisa dianggap sebagai muktamar mingguan (mu’tamar usbu’iy) karena pada hari Jumat inilah umat muslim dalam satu daerah tertentu dipertemukan. Mereka dapat saling berjumpa, bersilaturrahim, bertegur sapa, saling menjalin keakraban. Dalam kehidupan desa Jumatan dapat dijadikan sebagai wahana anjangsana. Mereka yang mukim di daerah barat bisa bertemu dengan kelompok timur dan sebagainya.
Begitu pula dalam lingkup kota-kota besar di Indonesia, Jumatan ternyata mampu menjalin kebersamaan antarkaryawan. Tidak jarang dan mengherankan bila di beberapa kota besar bila pelaksanaan shalat jumat dilakukan di kantor-kantor dan gedung-gedung pertemuan. Realita ini telah menjadi pemandangan yang umum. Mereka yang setiap harinya sibuk bekerja di lantai enam, bisa bertemu sesama karyawan yang hari-harinya bekerja di lantai tiga dan seterusnya.
Pesan dan hikmahMelaksanakan shalat Jumat bukan sekadar rutinitas ibadah yang tanpa makna, pesan dan hikmah. Beribadah dalam pandangan Islam tidak hanya bersifat individual, tetapi juga punya getar dan efek sosial. Rangkaian pelaksanaan shalat Jumat sekurang-kurangnya memberikan pesan dan makna: Pertama, pendekatan diri dalam beribadah kepada Allah tidak melalaikan kita untuk memiliki kepedulian dan solidaritas terhadap sesama Muslim. Shalat Jumat di samping upaya ber-taqarrub kepada Allah juga menyatukan kebersamaan antarmuslim dengan segala perbedaan latar belakangnya;
Kedua, sebelum pelaksanaan shalat jumat ada khutbah yang disampaikan para khatib, tujuannya adalah untuk saling mengingatkan dan memberikan pencerahan terhadap sesama Muslim agar waspada dalam menjalani hidup. Dalam konteks ini ada bagian di mana etos keilmuan Islam terus dikembangkan melalui khutbah; Ketiga, terjalinnya silaturrahim di antara sesama Muslim. Sesibuk apa pun orang Islam, pada hari jumat ketika azan berkumandang, semuanya sadar untuk menghentikan segala kegiatan, bergerak untuk shalat, rukuk dan sujud secara berjamaah di masjid-masjid, dan;
Keempat, seusai salat bisa terjadi komunikasi di antara sesama Muslim untuk saling meningkatkan pengertian dan kepedulian terhadap proyek pembangunan sumber daya umat Islam di berbagai bidang kehidupan. Sesungguhnya, ada banyak manfaat dan dampak yang positif dari tradisi pelaksanaan shalat Jumat yang diwariskan oleh Rasulullah saw kepada kita umat Islam yang didasari oleh perintah Allah Swt. Wallahu a’lam.