Dalil yang dipakai untuk mendiskriminasi LGBT adalah dalil tentang hukuman Tuhan kepada umat Nabi Luth. Ternyata tipikal hukuman yang diberikan kepada umat Nabi Luth tidak berbeda dengan hukuman yang diberikan kepada umat lain yang membangkang.
“Nabi-nabi dalam al-Quran digambarkan dengan pola yang sama, yakni diutus kepada suatu kaum untuk memberi peringatan,”. Pola ini yang dinamakan dengan mono-prophetic. Sebagian ada yang menerima ajakan ini dan sebagian ada yang menolak. Orang-orang yang menolak ini kemudian akan diazab Tuhan, seperti yang dilakukan kepada umat Nabi Luth.
Istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut dosa kaum Luth ternyata bukan istilah khusus yang hanya ditemui di kasus Nabi Luth. Istilah seperti fahisyah (immoral), syahwah (nafsu keinginan), musrifun (belebih-lebihan), dan mujrimun (pendosa) juga digunakan dalam Quran untuk menyebut perbuatan yang dikecam lainnya.
Ayat yang digunakan untuk menolak LGBT dalam Islam berbunyi, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”
Berdasarkan pemaparan diatas, pemahaman terhadap ayat ini biasanya memaknai kesalahan umat Nabi Luth karena mereka telah melakukan hubungan sesama jenis.
Namun, ada tiga penyebab mereka diazab. Pertama, mereka diazab karena berselingkuh, padahal mereka telah memiliki istri sendiri. Kedua, Tuhan melaknat mereka sebab telah memaksakan hubungan seksual kepada orang yang tidak memiliki keinginan atas hubungan itu (non-consensual sex). Ketiga, siksa itu turun oleh karena mereka melakukan kekerasan kepada tamu yang seharusnya mereka sambut.
Dari situ muncul pertanyaan besar apakah benar kaum Luth diazab Allah memang benar karena perbuatan seks sesama jenisnya?
Pandangan Ibnu Hazm, seorang ulama klasik Islam dari Andalusia, yang tidak melihat seperti itu. Dalam kitabnya al-Muhalla, ulama itu menolak pandangan yang mengaitkan azab kaum Luth dengan perbuatan seks sesama laki-laki, tapi justru karena penolakan mereka tehadap ajakan nabi Luth dan misi keilahiannya.
Ia melanjutkan, ulama empat madzhab (Hanbali, Syafi’I, Maliki, dan Hanafi) menganggap hubungan sesama jenis (sodomi) sebagai pelanggaran. Namun karena Quran tidak menetapkan hukuman tertentu soal sodomi, tiga madzhab (madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali) menggunakan analogi dengan menyamakan perbuatan sodomi dengan zina yang hukumannya adalah had. Sedangkan madzhab Hanafi tidak mau menggunakan analogi dalam konteks ini dan berpendapat bahwa hukuman sodomi adalah ta’zir (sepenuhnya diserahkan kepada penguasa).
Dosen yang mengajar teologi agama di University Notre Dame ini menyimpulkan bahwa hukum tentang hubungan sesama jenis masih bisa direinterpretasi. Masalah hubungan sejenis masuk dalam urusan fiqih (pemahaman hukum), bukan urusan syariah (persoalan normatif di kitab suci). Menurut akademisi ini, fiqih terbuka untuk dipikirkan ulang, karena itu tidak ada fiqih yang final.
“Mereka yang bilang (hukuman sesama jenis) adalah hal yang qath’i (pasti), jelas mereka tidak kenal buku fiqih dan tidak kenal tradisi keilmuannya sendiri,”.