Dalam kehidupan suami-istri ada beberapa hal yang harus ditunaikan oleh keduanya, diantaranya mengatur tanggung jawab suami–istri dalam rumah tangga. Mengatur tanggung jawab antara keduanya menjadi hal penting yang lazim dilakukan agar kehidupan rumah tangga menjadi terarah, tugas-tugas tertata, dan tujuan-tujuan mulia keluarga mudah dicapai. Menjadikan rumah tangga terarah, teratur dan tercapai tujuan mulianya merupakan diantara tanggaung jawab suami dan istri. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang kepala Negara adalah pemimpin, suami pemimpin dalam rumah tangganya, istri pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya”. (HR. Bukhari).
Allah SWT berfirman: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An-Nisaa’: 34). Secara gamblang ayat tersebut menyebutkan dua tanggung jawab dan peran suami dalam berumah tangga: kepemimpinan (qawamah) dan menafkahi keluarga.
- Kepemimpinan dalam keluarga
Imam Muhammad Abduh berkomentar tentang tafsir surat An-Nisaa’ ayat 34 di atas: “Kehidupan suami-istri adalah kehidupan sosial. Dan setiap masyarakat sosial harus memiliki seorang pemimpin. Karena setiap orang yang berkumpul pasti akan berbeda pendapat dan keinginan. Dan kemaslahatan mereka tidak akan terpenuhi kecuali apabila mereka memiliki seorang kepala masyarakat, tempat kembali setiap terjadi perbedaan pendapat. Ini dilakukan agar masing-masing anggota keluarga tidak melakukan perbuatan yang kontra produktif, sehingga mengakibatkan terurainya ikatan kuat dan hancurnya system yang ada.
Suami lebih layak menjadi kepala rumah tangga, karena ia lebih mengetahui kemaslahatannya, lebih mampu melaksanakannya dengan dukungan kekuatan dan hartanya. Karena kondisi ini suami dituntut secara syar’i untuk melindungi istrinya dan memberikan nafkah kepadanya, sementara istri dituntut untuk menaatinya dalam hal-hal yang makruf”.(Tafsir Al-Manar, juz 2).
Kepemimpinan dalam rumah tangga tidak berdasarkan tindakan semena-mena. Kepemimpinan rumah tangga didasari dengan wuddiyah (cinta dan kasih sayang). Kepemimpinan adalah wadah struktur tempat bermusyawarah, dan syura adalah akhlak seorang muslim dalam setiap urusan hidupnya. Kemudian kepemimpinan juga merupakan syar’iyyah (legalitas) yang diatur sedemikian rupa, diantaranya kaedah yang ditegaskan Al-Qur’an: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”.(QS. Al-Baqarah: 228). Belum lagi aturan-aturan rinci yang membahas pernikahan, talak, adab-adab pergaulan suami-istri, juga sejumlah nilai dan etika yang mengatur dan mengarahkan kehidupan berumah tangga menuju kebaikan bersama.
- Menafkahi keluarga
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, Rasulullah saw bersabda: “para istri memiliki hak atas kalian (para suami) untuk dipenuhi rejekinya dan kebutuhan sandangnya dengan cara yang makruf”. (HR. Muslim). Dalam hadits lain: “Apabila Allah memberikan kebaikan kepada salah seorang diantara kalian, hendaklah ia memulainya dari dirinya dan keluarganya (dalam pengalokasiannya)”. (HR. Muslim).
Seorang suami dapat meluangkan waktu untuk mencari nafkah, sementara istri seringkali memiliki berbagai hambatan jika dituntut untuk mencari nafkah, seperti mengandung, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak serta mengurus rumah tangga. Hal tersebut seringkali menyibukkan para istri dan menghalanginya untuk bekerja di luar rumah. Ungkapan Ibnu Hajar Al-Asqalani berbunyi: “Wanita terbelenggu dari tugas mencari nafkah sebagai hak para suami”. (Fathul bari, juz 11).
Ketaatan istri terhadap suami
Ketaatan terhadap suami adalah ketaatan yang disertai keridhaan, cinta dan dalam batasan perkara yang makruf. Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal-hal yang makruf”. (HR. Muslim).
Dalam menafsirkan ayat yang berbunyi: “kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”.(QS. An-Nisaa’: 34). Ibnu Katsir berkata: “artinya apabila seorang istri menaati suaminya dengan segala kebutuhan yang Allah SWT perbolehkan baginya, maka tidak ada alasan bagi seorang suami untuk memukul dan tidak memperdulikannya. Lanjutan ayat tersebut berbunyi “sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”, petikan ayat ini berisi tahdiid (ancaman) kepada suami apabila mereka berbuat zalim terhadap istrinya. Allah SWT Maha Tinggi dan Maha Besar. Dia-lah pelindung kaum wanita dan Maha Pembalas terhadap siapa saja yang zalim dan berbuat jahat kepada mereka.
Ketaatan istri terhadap suami merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. Ketaatan tersebut tidak boleh menjadi kontra produktif, jauh dari nilai ibadah dan melahirkan sikap semena-mena seorang suami tehadap istri. Ketaatan istri didasari dengan nilai dan prinsip sebagai berikut:
1. Taat bukan dalam kemaksiatan. Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa: “Ada seorang ibu menikahkan anak gadisnya, tiba-tiba rambut anak tersebut terjatuh, lalu ia datang kepada Nabi saw dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Ibunya berkata: “bahwa suaminya menyuruh si ibu untuk menyambung rambutnya tersebut. Maka Rasulullah saw bersabda: “Jangan! Sesungguhnya Allah SWT melaknat wanita yang menyambung rambutnya”. (HR. Bukhari).
2. Taat sesuai kemampuan. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al-Baqarah: 286). Seorang suami perlu membantu istrinya agar istrinya mampu menunaikan kewajibannya.
3. Ketaatan yang disertai dengan penghormatan dan pemberian respon secara timbal-balik. “Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. (QS. An-Nisaa’: 19).
4. Ketaatan yang disertai saling memberikan rasa cinta dan kasih sayang yang lahir dari lubuk hati.
5. Taat disertai musyawarah. “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”. (QS. Asysyuraa: 38).
6. Ketaatan diiringi dengan saling menasehati, berkorban dan komitmen dengan aturan dan syariat Allah SWT (membumikan harapan; keluarga islam idaman, hal. 29)
Membesarkan dan mendidik anak
Rasulullah saw bersabda: “Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab terhadap anak-anaknya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak tidak dimulai sejak melahirkan, namun sejak sang ibu mengandung sang janin dalam rahimnya. Allah SWT berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”.(QS. Al-Ahqaf: 15). Dalam ayat lain disebutkan: “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”. (QS. Luqman: 14).
Perlu kerjasama suami istri dalam tugas mendidik dan membesarkan anak. Tugas yang begitu berat dan mulia itu perlu mendapat perhatian serius dari kedua orang tua. Perhatikan bagaimana Rasulullah saw ikut serta dalam memberikan tarbiyah (pendidikan) kepada anak tirinya (anak kandung Ummu Salamah). Diriwayatkan dari Umar bin Abi Salamah, beliau berkata: “Ketika kecil dulu aku berada di pangkuan Rasulullah saw. Tiba-tiba tanganku tanpa sadar mengambil (makanan) di sebuah piring besar. Beliau berkata kepadaku: “Hai anakku, ucapkanlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat darimu”. Setelah itu akupun terbiasa melakukan apa yang diajarkan Rasulullah saw. (HR. Bukhari).
Menata tugas rumah tangga
Tanggung jawab seorang istri dalam mengatur urusan rumah tangga bukan berarti ia yang melakukan seluruh pekerjaan rumah tangganya seorang diri. Bukan berarti pekerjaan memasak, menyiapkan hidangan, memandikan anak, mencuci baju, menstrika dan seterusnya harus dilakukan olehnya sendiri. Ia hanya memikul tanggung jawabnya saja. Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga bisa dikerjakan olehnya atau suami atau orang lain.
Dalam sebuah kisah diriwayatkan bahwa Fathimah ra. bekerja di rumah suaminya, dan meminta disediakan seorang pembantu oleh Rasulullah saw, namun beliau saw tidak mengabulkan permintaannya karena lebih mengutamakan kebutuhan ahlu shuffah. Namun adakisah lain, Asma binti Abu Bakar yang bekerja di rumah suaminya, beliau dibantu seorang pembantu setelah merasa terlalu letih bekerja. Tentu adanya pembantu atau tidak, dua kondisi tersebut ditentukan dengan berbagai faktor tertentu, seperti kemampuan ekonomi dan waktu yang tersedia bagi suami dan istri.
Perlu kerja sama suami istri dalam memaksimalkan peran dan tanggung jawab mengurus rumah tangga. Dalam kondisi tertentu, bisa jadi sang istri merasa begitu letih dan sulit jika harus menghandel seluruh urusan rumah tangga sendirian. Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah saw melakukan berbagai pekerjaan yang bisa meringankan tugas dan tanggung jawab istri beliau. Diriwayatkan dari Al-Aswad: Aku pernah bertanya kepada Aisyah ra: Apa yang biasanya diperbuat Rasulullah saw di rumahnya? Aisyah berkata: “Beliau memberikan pelayanan kepada keluarganya, apabila tiba waktu shalat beliaupun pergi menunaikan shalat”. (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain Aisyah ra. berkata: “Beliau menjahit bajunya, memperbaiki sandalnya dan beraktivitas seperti halnya kalian dalam mengurus rumah tangga kalian masing-masing”. (HR. Ahmad).
Wallahu a’lam.