<=Wahabi Salafi Memecah Belah Islam dari Dalam=> "Konsep tauhid rancu tersebut ternyata dijadikan tolok ukur oleh Muhammad bin Abdul Wahhab -yang mengaku paling paham konsep tauhid pasca Nabi- sebagai neraca kebenaran, keislaman dan keimanan seseorang sehingga dapat menvonis kafir bahkan musyrik setiap ulama (apalagi orang awam) yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Dia pernah menyatakan: “Derajat kesyirikan kaum kafir Quraisy tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat sekarang ini” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 120). Bid’ah dan kebiasaan buruk Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi semacam ini yang hingga saat ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme, tidak terkecuali di Tanah Air."
Bukti lain Pengkafiran Wahhaby (3); Muhammad bin Abdul Wahhab dan Pengkafiran Kaum Muslimin
Setelah kita mengetahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah berani menvonis sesat bahkan mengkafirkan beberapa tokoh ulama Ahlusunah, maka jangan heran jika masyarakat awam (baca: umum) pun juga menjadi sasaran pengkafirannya. Pada kesempatan kali ini kita akan memberikan contoh dari pengkafiran terhadap kaum muslimin yang tidak mengikuti ajaran sekte Syeikh yang berasal dari Najd itu:
Dari contoh-contoh di atas telah jelas dan tidak mungkin dapat dipungkiri oleh siapapun (baik yang pro maupun yang kontra terhadapa sekte Wahabisme) bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan keyakinan-keyakinanya yang merupakan hasil inovasi (baca: Bid’ah) otaknya. Baik bid’ah tadi berkaitan dengan konsep tauhid sehingga muncul vonis pensyirikan Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang tidak sejalan, maupun keyakinan lain (seperti masalah tentang pengutusan Nabi, hari akhir / kiamat dsb) yang menyebabkan munculnya vonis kafir. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 43).
Sebagai penutup kajian kita kali ini, marilah kita perhatikan ungkapan Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri sekte Wahabisme berkaitan dengan kaum muslimin di zamannya secara umum. Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Banyak dari penghuni zaman sekarang ini yang tidak mengenal Tuhan Yang seharusnya disembah melainkan Hubal, Yaghus, Ya’uq, Nasr, al-Laata, al-Uzza dan Manaat. Jika mereka memiliki pemahaman yang benar niscaya akan mengetahui bahwa kedudukan benda-benda yang mereka sembah sekarang ini seperti manusia, pohon, batu dan sebagainya seperti matahari, rembulan, Idris, Abu Hadidah ibarat menyembah berhala ” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 117). Pada kesempatan lain ia mengatakan: “Derajat kesyirikan kaum kafir Quraisy tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat sekarang ini” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 120). Dan pada kesempatan lain dia juga mengatakan: “Sewaktu masalah ini (tauhid dan syrik .red) telah engkau ketahui niscaya engkau akan mengetahui bahwa mayoritas masyarakat lebih dahsyat kekafiran dan kesyirikannya dari kaum musyrik yang telah diperangi oleh Nabi” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 160).
Namun, setelah kita menelaah dengan teliti konsep tauhid versi pendiri sekte tersebut (Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid-nya) ternyata banyak sekali kerancuan dan ketidakjelasan dalam pendefinisan dan pembagian, apalagi dalam penjabarannya. Bagaimana mungkin konsep tauhid rancu semacam itu akan dapat menjadi tolok ukur keislaman bahkan keimanan seseorang, bahkan dijadikan tolok ukur pengkafiran?
Ya, konsep tauhid rancu tersebut ternyata dijadikan tolok ukur oleh Muhammad bin Abdul Wahhab -yang mengaku paling paham konsep tauhid pasca Nabi- sebagai neraca kebenaran, keislaman dan keimanan seseorang sehingga dapat menvonis kafir bahkan musyrik setiap ulama (apalagi orang awam) yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sebagai dalil dari ungkapan tadi, Muhammad bin Abdul Wahhab pernah menyatakan: “Kami tidak mengkafirkan seorangpun melainkan dakwah kebenaran yang sudah kami lakukan telah sampai kepadanya. Dan ia telah menangkap dalil kami sehingga argumen telah sampai kepadanya. Namun jika ia tetap sombong dan menentangnya dan bersikeras tetap meyakini akidahnya sebagaimana sekarang ini kebanyakan dari mereka telah kita perangi, dimana mereka telah bersikeras dalam kesyirikan dan mencegah dari perbuatan wajib, menampakkan (mendemonstrasikan) perbuatan dosa besar dan hal-hal haram…” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 234) Di sini jelas sekali bahwa, Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjatuhkan vonis kafir dan syirik di atas kepala kaum muslimin dengan neraca kerancuan konsep Tauhid-Syirik versinya maka ia telah ‘memerangi’ mereka. Bid’ah dan kebiasaan buruk Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi semacam ini yang hingga saat ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme, tidak terkecuali di Tanah Air.
Lantas apakah kekafiran dan kesyirikan yang dimaksud oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam ungkapan tersebut? Dengan singkat kita nyatakan bahwa yang ia maksud dari kwesyirikan dan kekafiran tadi adalah; “pengingkaran terhadap dakwah Wahabisme”. Dan dengan kata yang lebih terperinci; “Meyakini terhadap hal-hal yang dinyatakan syirik dan kafir oleh Wahabisme seperti Tabarruk, Tawassul, Ziarah Kubur…dsb”. Padahal, hingga sekarang ini, para pemuka Wahaby –baik di Indonesia maupun di negara asalnya sendiri- masih belum mampu menjawab banyak kritikan terhadap ajaran Wahabisme berkaitan dengan hal-hal tadi.
NB: Untuk kajian dari kitab Ad-Durar as-Saniyah sebagai bukti pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab kita cukupkan sekian. Pada kesempatan lain kita akan mengkaji dari kitab lainnya.
Bukti lain Pengkafiran Wahhaby (3); Muhammad bin Abdul Wahhab dan Pengkafiran Kaum Muslimin
Setelah kita mengetahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah berani menvonis sesat bahkan mengkafirkan beberapa tokoh ulama Ahlusunah, maka jangan heran jika masyarakat awam (baca: umum) pun juga menjadi sasaran pengkafirannya. Pada kesempatan kali ini kita akan memberikan contoh dari pengkafiran terhadap kaum muslimin yang tidak mengikuti ajaran sekte Syeikh yang berasal dari Najd itu:
- 1- Pengkafiran Penduduk Makkah
- 2- Pengkafiran Penduduk Ihsa’
- 3- Pengkafiran Penduduk ‘Anzah.
- 4- Pengkafiran Penduduk Dhufair.
- 5- Pengkafiran Penduduk Uyainah dan Dar’iyah.
- 6- Pengkafiran Penduduk Wasym.
- 7- Pengkafiran Penduduk Sudair.
Dari contoh-contoh di atas telah jelas dan tidak mungkin dapat dipungkiri oleh siapapun (baik yang pro maupun yang kontra terhadapa sekte Wahabisme) bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan keyakinan-keyakinanya yang merupakan hasil inovasi (baca: Bid’ah) otaknya. Baik bid’ah tadi berkaitan dengan konsep tauhid sehingga muncul vonis pensyirikan Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang tidak sejalan, maupun keyakinan lain (seperti masalah tentang pengutusan Nabi, hari akhir / kiamat dsb) yang menyebabkan munculnya vonis kafir. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 43).
Sebagai penutup kajian kita kali ini, marilah kita perhatikan ungkapan Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri sekte Wahabisme berkaitan dengan kaum muslimin di zamannya secara umum. Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Banyak dari penghuni zaman sekarang ini yang tidak mengenal Tuhan Yang seharusnya disembah melainkan Hubal, Yaghus, Ya’uq, Nasr, al-Laata, al-Uzza dan Manaat. Jika mereka memiliki pemahaman yang benar niscaya akan mengetahui bahwa kedudukan benda-benda yang mereka sembah sekarang ini seperti manusia, pohon, batu dan sebagainya seperti matahari, rembulan, Idris, Abu Hadidah ibarat menyembah berhala ” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 117). Pada kesempatan lain ia mengatakan: “Derajat kesyirikan kaum kafir Quraisy tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat sekarang ini” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 120). Dan pada kesempatan lain dia juga mengatakan: “Sewaktu masalah ini (tauhid dan syrik .red) telah engkau ketahui niscaya engkau akan mengetahui bahwa mayoritas masyarakat lebih dahsyat kekafiran dan kesyirikannya dari kaum musyrik yang telah diperangi oleh Nabi” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 160).
Namun, setelah kita menelaah dengan teliti konsep tauhid versi pendiri sekte tersebut (Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid-nya) ternyata banyak sekali kerancuan dan ketidakjelasan dalam pendefinisan dan pembagian, apalagi dalam penjabarannya. Bagaimana mungkin konsep tauhid rancu semacam itu akan dapat menjadi tolok ukur keislaman bahkan keimanan seseorang, bahkan dijadikan tolok ukur pengkafiran?
Ya, konsep tauhid rancu tersebut ternyata dijadikan tolok ukur oleh Muhammad bin Abdul Wahhab -yang mengaku paling paham konsep tauhid pasca Nabi- sebagai neraca kebenaran, keislaman dan keimanan seseorang sehingga dapat menvonis kafir bahkan musyrik setiap ulama (apalagi orang awam) yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sebagai dalil dari ungkapan tadi, Muhammad bin Abdul Wahhab pernah menyatakan: “Kami tidak mengkafirkan seorangpun melainkan dakwah kebenaran yang sudah kami lakukan telah sampai kepadanya. Dan ia telah menangkap dalil kami sehingga argumen telah sampai kepadanya. Namun jika ia tetap sombong dan menentangnya dan bersikeras tetap meyakini akidahnya sebagaimana sekarang ini kebanyakan dari mereka telah kita perangi, dimana mereka telah bersikeras dalam kesyirikan dan mencegah dari perbuatan wajib, menampakkan (mendemonstrasikan) perbuatan dosa besar dan hal-hal haram…” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 234) Di sini jelas sekali bahwa, Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjatuhkan vonis kafir dan syirik di atas kepala kaum muslimin dengan neraca kerancuan konsep Tauhid-Syirik versinya maka ia telah ‘memerangi’ mereka. Bid’ah dan kebiasaan buruk Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi semacam ini yang hingga saat ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme, tidak terkecuali di Tanah Air.
Lantas apakah kekafiran dan kesyirikan yang dimaksud oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam ungkapan tersebut? Dengan singkat kita nyatakan bahwa yang ia maksud dari kwesyirikan dan kekafiran tadi adalah; “pengingkaran terhadap dakwah Wahabisme”. Dan dengan kata yang lebih terperinci; “Meyakini terhadap hal-hal yang dinyatakan syirik dan kafir oleh Wahabisme seperti Tabarruk, Tawassul, Ziarah Kubur…dsb”. Padahal, hingga sekarang ini, para pemuka Wahaby –baik di Indonesia maupun di negara asalnya sendiri- masih belum mampu menjawab banyak kritikan terhadap ajaran Wahabisme berkaitan dengan hal-hal tadi.
NB: Untuk kajian dari kitab Ad-Durar as-Saniyah sebagai bukti pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab kita cukupkan sekian. Pada kesempatan lain kita akan mengkaji dari kitab lainnya.