- Makna Lebaran Idul Fitri Yang Sesungguhnya - Lebaran Idul fitri kembali datang untuk kesekian kalinya menghampiri lagi. Dahulu Baginda Kanjeng Nabi Muhammad saw matanya basah dan menangis tersedu-sedu saat harus melepas Ramadan. Sebab dia sadar tidak ada jaminan bahwa tahun depan Tuhan akan mempertemukan kembali dengan bulan agung itu. Tahun dan Tuhan selalu tidak pernah beriringan mengabarkan tentang kepastian usia yang kita jalani. Waktu menjadi sama misteriusnya dengan Sang Pemiliknya. Mungkin betul apa yang dibilang filsuf Homerus bahwa waktu itu mengalir seperti air di sungai. Panta rhei kai uden menei.
Di malam ketika takbir dikumandangkan dan waktu semakin melaju bersiap menjemput datangnya satu Syawal menjadi saat-saat menggetarkan tentang perpisahan dengan banyak hal yang membuat bulu kuduk kita merinding: perut yang setia menahan lapar seharian, malam yang dihidupkan dengan tarawih, kitab suci yang mendadak akrab dan dibaca dalam ritus tadarus yang intens, itikaf di penghujung sepuluh hari terakhir dan atau zakat yang melambangkan empatik dan kohesivitas sosial. Merinding karena khawatir semuanya tak berbuah makna. Kata Abdullah Mustafa dalam sajak Titimangsa, “cenah mimitina ku bismillah/ari ninggangna kalah misalah...silungna dina sumujud/tumamprak rasa rumasa/ngan bisa nganaha-naha”.
Di malam itu juga, terutama di banyak perkampungan yang setia merawat tradisi, biasanya bedug tak henti ditabuh bertalu-talu, saling menyahut dengan kentongan. Beduk yang secara antropologis menyiratkan bagaimana keberagamaan itu bisa ditarik satu napas dengan keseniaan, dengan budaya lokal yang menyatu bersama kebiasaan sebuah masyarakat . Tarekat dan adat berserikat. Suara bedug bukan sekadar gema profan yang keluar dari kayu dan atau drum tapi juga menjadi replika sakral dari kalimat suci Allahu Akbar. Semacam wahyu kudus epifani ilahiah yang meneguhkan rasa daif manusia di hadapan Yang Maha Kuasa, Tuhan tak terhingga dan manusia yang banyak alpa, Tuhan yang maha welas asih dan manusia yang justru sering kali menerapkan kekerasan atas nama tuhannya, Tuhan yang maha dekat dan makhluk-Nya yang sering menjauh dari-Nya.
Ngadulag adalah simbol bahwa dalam beragama orang musti melibatkan rasa riang. Seperti dengan bagus dihimpun secara etnografis Usep Romli HM dalam buku “Dulag Nalaktak”. Beragama tidak hanya kesigapan mengutip ayat-ayat dalam kitab suci, namun juga kesediaan diri masuk dalam atmosfer kultural yang menjadi haluan budaya keseharian. Beragama ramah adat. Sikap beragama yang “serius” dan anti “ngadulag” pada praktiknya sering menjebak seseorang berpandangan serba hitam putih dan sikap seperti ini adalah awal dari puritanisme yang acap kali menjadi pemantik tumbuhnya wabah kekerasan yang mengatasnamakan agama. Puritanisme di belakangnya hanya menyisakan endemik sikap dogmatik, tertutup, intoleran dan bebal.
Ramadan yang secara semantik artinya membakar tentu interaksi simboliknya tidak saja merujuk kepada musim panas di kawasan dunia Arab, tapi juga sebagai metafora dari proses pembakaran sikap tinggi hati, jumawa, tidak peduli, dan watak-watak primitif satwa lainnya. Pembakaran yang kemudian ditarik sang nabi dalam makna metafisis sebagai membakar dosa-dosa kita. Atau juga makna eskatologis, puasa menjadi ladang pahala melimpah.
Pasca pembakaran kita melaju memasuki tanggal 1 Syawal dengan sukma yang bersih, bersama jiwa yang bening Clik putih clak herang.
Pagi pada satu Syawal, ke tengah lapang kita melangkahkan kaki sambil tak henti mengumandangkan kebesaran Tuhan, memuja keagungannya. Allaahu Akbar Walillaahilhamd. Untuk menunaikan dua rakaat hari kemenangan sambil menyimak sang khatib menyampaikan wasiatnya.
Tentu saja idulfitri tidak ada hubungannya dengan pakaian baru, justru secara substansial idulfitri berhubungan dengan konsep ruhaniah, kembali kepada kesucian, dirayakan untuk memutus semua tendensi yang serba menuhankan benda. Salat di lapangan makna simboliknya agar kita punya sikap lapang dalam merakit hubungan kemanusiaan. Sikap lapang yang nantinya akan menjadi modal spiritual dalam membangun solidaritas yang terbuka, mampu masuk dalam pengalaman kemajemukan.
Kohesivitas dirakit dan ditarik dalam tingkat modus eksistensial yang paling luhur: bahwa secara hakiki keberadaan kita hanya dimungkinkan manakala melakukan penghargaan kepada kehadiran orang lain. Otentisitas kedirian kita hanya dapat bermakna dan menemukan akar ontologisnya ketika bisa masuk dalam lingkaran ruh kejamaahan, menerima liyan sebagai bagian tidak terpisahkan dari struktur diri kita.
Memaafkan bukan hanya secara personal namun juga sosial kebangsaan. Merawat kebencian apalagi terus menerus membincangkan tentang luka lama dari sebuah peristiwa kelam misalnya tentang peristiwa 1965 yang akhir-akhir ini banyak dipercakapkan bukan hanya tidak produktif tapi malah kita sebagai bangsa dan seluruhnya bagian anak bangsa tidak akan menemukan kedewasaannya dalam bernegara.
Maka walaupun secara teologis idul fitri itu milik umat Islam, namun secara sosiologis ia adalah milik bersama, lintas budaya dan bahkan lintas agama. Malah bisa jadi keberkahan secara ekonomi yang menikmatinya adalah non muslim ketika Ramadan terutama diidentikkan dengan bulan konsumerisme.
Di hari raya ini juga, kita tidak hanya mengunjungi kawan dan saudara yang masih hidup bahkan kaum leluhur yang telah lama meninggal pun diziarahi, didatangi pekuburannya. Lebaran menjadi sebuah momen mempertemukan antara kehidupan dan kematian. Meminjam Martin Heidegger (1889 – 1976) sein-zum-tode, ada–menuju-kematian. Kematian sebagai tujuan hidup, kematian yang penuh marwah karena selama hidupnya selalu menjaga kesucian itu. Kematian yang diperbincangkan secara benar yang akan membuahkan kebijaksanaan. Atau dalam Dandanggula Sirna Rasa-nya Haji Hasan Mustafa, “Jatnika alam sampurna, rumasana nganci di innaa lillaahi”.
Makna Lebaran Idul Fitri ini ditulis oleh Ang Zaenal Alfian