Sebagai sebuah sub-kultur posisi pesantren memang unik. Pesantren mempunyai
sistem kehidupannya tersendiri yang dijalankan secara ketat baik oleh
para santri maupun masyarakat sekitar. Pesantren juga mempunyai hirarki
khusus yang berbeda dan berada di luar hirarki formal kekuasaan. Hal ini
nampak dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya meski tentu
saja tidak berarti bahwa pesantren berdiri terpisah atau lepas sama
sekali dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat luas. Bahkan dalam
banyak hal pesantren tetap mempunyai banyak pertautan dengan kehidupan
masyarakat luas di sekitarnya itu, hingga antara pesantren dan
masyarakat sekitar mempunyai hubungan timbal balik.
Dalam
perjalanannya pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu,
seiring perubahan yang terjadi di luar kehidupan tradisinya. Faktor
sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga teknologi menjadi penentu
perubahan itu. Faktor-faktor inilah yang kemudian merubah bentuk
pesantren yang tadinya tradisional menjadi bermacam-macam. Ada yang masih tetap tradisional dengan salaf-nya, ada yang semi modern dengan menggabungkan salaf
dan sekolah umum, dan ada juga yang modern penuh. Namun dari bentuk
yang bemacam-macam itu, kiailah yang masih tetap memegang otoritas
tertinggi. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk
sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi
sang kiai sebagai pimpinan.
Apakah
sastra diajarkan di pesantren? Di pesantren-pesantren semi modern atau
modern pendidikan sastra secara formal didapatkan para santri dari
pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di sekolah-sekolah umum.
Dan sastra yang diajarkan tentu saja bagian dari pelajaran bahasa Indonesia.
Pelajaran sastra di sekolah ini tentu saja kurang maksimal karena
terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak
semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di
pesantren-pesantren jenis ini tak jauh berbeda dengan kondisi di
sekolah-sekolah umum.
Sedang
di pesantren-pesantren tradisional jelas tak ada pelajaran sastra
seperti halnya di sekolah umum, namun atmosfir kesusastraan bisa didapat
para santri melalui proses pengajian kitab kuning yang kebetulan banyak
berisi syair-syair yang bernilai sastra tinggi. Pada awalnya para
santri hanya menyimak makna dari syair-syair tersebut sebagai materi
pengajian, namun dengan kekhusyukan mereka pun menjadi akrab juga dengan
keindahan bahasanya, dengan kemerduan bunyinya dan sebagainya. Dengan
demikian bagi para santri salaf pelajaran sastra mereka
dapatkan secara tidak langsung, yakni lewat pengajian kitab kuning.
Lewat atmosfir pengajian. Dan jika kebetulan kiainya berjiwa seniman
proses pengajaran sastra secara tidak langsung ini bisa menjadi lebih
khusyuk dan mendalam karena tidak terlalu dibatasi waktu, bahkan bisa
sampai subuh. Di masa lalu jenis karya sastra yang banyak ditulis para
santri atau kiai ini kebanyakan berupa nadoman atau syi’iran, sejenis
salawat atau puji-pujian yang merupakan penghormatan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang ditulis dalam bahasa Arab atau daerah. Nadoman atau syi’iran
ini kadang juga berisi petuah atau nasihat. Di beberapa pesantren ada
juga yang menulis naskah drama berdasarkan sejarah Islam atau riwayat
para nabi.
***
Perkembangan sastra di pesantren memang tidak seragam. Ada
yang menonjol dalam aktivitas penulisan hingga banyak melahirkan
calon-calon sastrawan, ada juga yang menonjol dalam hal apresiasi atau
kegiatan keseniannya. Banyak juga yang tidak kedua-duanya. Hal ini
selain ditentukan oleh sikap kiainya terhadap kesenian hingga
mempengaruhi atmosfir kreativitas di pesantren, juga oleh para santrinya
itu sendiri. Di sejumlah pesantren aktivitas kesenian para santri
timbul tenggelam seiring siklus keluar masuknya santri. Tapi ada juga
pesantren yang melembagakan aktivitas kesenian sebagai unit kegiatan,
yang mau tidak mau akan diikuti oleh para santrinya tanpa dipengaruhi
oleh siklus keluar masuknya para santri. Pesantren-pesantren di Madura
misalnya, sudah sejak lama melembagakan aktivitas kesenian, termasuk
sastra, seperti halnya sebuah sanggar. Mereka mengadakan diskusi,
pelatihan kepenulisan, penerbitan buletin dan juga kegiatan sastra
dengan mendatangkan sastrawan dari luar. Untuk penerbitan misalnya,
mereka juga banyak kerjasama dengan pihak lain hingga karya-karya mereka
terdokumentasikan. Mereka juga aktif mengisi rubrik-rubrik sastra baik
di media khusus maupun umum.
Sementara sejumlah pesantren di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur beberapa tahun belakangan ini aktivitas kesusastraannya meningkat seiring dengan terbitnya Fadilah,
sebuah majalah sastra khusus untuk kalangan pesantren. Terbitnya
majalah ini awalnya merupakan respons positif terhadap aktivitas para
santri dalam dunia tulis menulis yang semakin meningkat, khususnya di
sejumlah pesantren di sekitar Yogyakarta.
Selain majalah, terbit juga sejumlah antologi puisi, cerpen dan juga
novel yang mengangkat kehidupan pesantren. Tentu saja hal ini
menggembirakan karena karya-karya para santri, alumni maupun para
pengasuh pesantren bisa dibaca oleh kalangan yang lebih luas dan bisa
terdokumentasikan, meski dari pihak penerbit sendiri sepertinya ada
semacam pretensi untuk memberikan sebuah label bagi para penulis dari
komunitas ini sebagai “sastra pesantren”.
Dalam
banyak kesempatan saya sering menyatakan keberatan dengan pelabelan
“sastra pesantren” atau “sastra santri” ini, sebab akan menjadi beban
yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu menggarap
tema yang sama, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema yang berbau
agama dan dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi
menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. Saya lebih cenderung
membebaskan para penulis kalangan pesantren ini untuk menulis tema apa
saja dan dalam bentuk atau cara apa saja, karena bagaimana pun
kesantrian seseorang dengan sendirinya akan muncul atau menjadi ruh
dalam tema apapun tanpa harus secara formal ditonjolkan. Ketika novel Ronggeng Dukuh Paruk
muncul, kita semua tidak mengira bahwa novel yang temanya terkesan
“abangan” itu ternyata ditulis oleh seorang santri, yang sekarang kita
kenal sebagai kiai. Meskipun temanya tentang ronggeng, kesantrian
pengarangnya tetap tak bisa disembunyikan.
Namun
demikian, terbitnya majalah sastra khusus pesantren, yang kemudian
diikuti dengan penerbitan kumpulan puisi, cerpen maupun novel ini harus
diakui telah memberikan kegairahan tersendiri, karena kemudian diikuti
oleh sejumlah kegiatan apresiasi sastra yang melibatkan para sastrawan.
Setiap buku yang berlabel “sastra pesantren” terbit, biasanya
diluncurkan dan didiskusikan di sejumlah pesantren. Workshop-workshop
penulisan untuk para santri pun lebih sering digelar, baik oleh penerbit
maupun atas inisiatif kalangan pesantrennya sendiri.
Di
Jawa Barat mungkin situasinya agak lain. Perkembangan sastra di
pesantren-pesantren Sunda ini masih cenderung alamiah. Tak banyak
pesantren yang melembagakan kesenian sebagai unit kegiatan, apalagi
sampai mengusahakan penerbitannya. Tapi sejumlah pesantren memberikan
keleluasaan untuk berkreasi kepada santri-santrinya. Bagi
pesantren-pesantren yang semi modern, kegiatan sastra yang rutin umumnya
berlangsung di sekolah, bukan di pesantrennya. Kegiatannya kebanyakan
berupa pembacaan puisi atau dramatisasi puisi yang mungkin lebih
berkaitan dengan dunia teater. Sementara untuk bidang penulisan
cenderung menjadi kegiatan pribadi para santri. Seorang santri yang
punya hasrat besar pada penulisan biasanya bergulat sendirian, atau
bergabung dengan sanggar atau komunitas sastra di luar pesantren.
Fauz
Noor misalnya, nama yang sebelumnya tidak pernah kita dengar ini
tiba-tiba menerbitkan dua buah novel tebal bertema filsafat yang
ditulisnya semenjak masih mondok di Pesantren Sukahideng, Tasikmalaya.
Sarabunis Mubarok, seorang santri dari Pesantren Cimerah, Tasikmalaya,
puisi-puisi imajisnya muncul di koran-koran daerah dan nasional. Ahmad
Baequni, seorang ustadz dari Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon,
memecahkan rekor pembacaan puisi terlama yang dicatat Museum Rekor
Indonesia (MURI). Dia membacakan ratusan puisi-puisinya sendiri serta
sejumlah karya penyair lain selama 48 jam tanpa henti. Begitu juga
Matdon dari Bandung,
santri veteran ini menulis puisi-puisi protes sosial dan membacakannya
di kampus-kampus. Koernedy Chalzoem dan Deddy Kampleng, menulis
naskah-naskah drama dan mementaskannya di Cirebon.
Faisal Kamandobat dari Cilacap keliling ke berbagai makam wali dan kiai
untuk mematangkan proses kepenyairannya. Masih banyak nama-nama lain
dari kalangan pesantren yang sekarang sedang bergulat dan memperjuangkan
eksistensinya sendiri, karena pesantren mereka tak menyediakan wadah
formal untuk kegiatan sastra.
Sementara dari Pesantren Baitul Arqom, Ciparay, Ahmad Faisal Imron mengumpulkan teman-teman yang dikenalnya semasa mondok di berbagai pesantren tradisional di
Jawa Barat dan kemudian membentuk sebuah komunitas yang bernama
Komunitas Malaikat. Dari komunitas yang sebagian besar anggotanya santri
salaf, berambut gondrong dan tidak mengenal bangku
kuliah ini lahir sejumlah penyair yang puisi-puisinya sangat kuat,
ekspresif, dengan pengungkapan yang cenderung bebas. Mereka tidak
terkungkung oleh tema atau ideologi tertentu yang biasanya membebani
penyair dari kalangan santri. Selain menulis puisi, mereka juga aktif
melukis, membuat patung, seni instalasi dan main musik rock.
Proses kreatif dari teman-teman Komunitas Malaikat ini agak unik karena mereka belajar sastra benar-benar khas santri salaf.
Meskipun mereka tak punya latar belakang sastra, baik dalam bacaan
maupun pergaulan, namun mereka mempunyai semangat yang luar biasa dalam
berekspresi. Pada awalnya modal kesenian mereka hanyalah atmosfir puitik
yang mereka hayati dari kehidupan sehari-hari di pesantren, suatu
kehidupan yang sangat sederhana dan bersahaja. Ketika semua masih mondok
di pesantren (sekarang sebagian ada sudah
menjadi kiai atau ustadz), mereka suka berkumpul. Di situlah mereka
berdiskusi tentang sastra dan kesenian seperti halnya membahas suatu
permasalahan agama. Selain itu, secara berkala mereka mengadakan silaturahmi kepada penyair atau seniman tertentu, untuk mengadakan semacam sorogan.
Biasanya mereka membawa sejumlah puisi, membacakannya dan kemudian
minta dikomentari penyair yang ditemuinya. Hal yang juga menarik dari
teman-teman ini, mereka seperti tak punya urusan dengan media massa.
Mereka jarang sekali mengirimkan puisi-puisinya ke koran atau majalah
kalau tidak dipaksa-paksa. Puisi-puisi mereka hanya beredar di kalangan
mereka sendiri, atau hanya dikirim kepada penyair-penyair yang mereka
percayai.
Di Jatiwangi, Majalengka, lain lagi ceritanya. K.H. Maman Imanulhaq Faqieh adalah mubalig muda yang sedang naik daun. Awalnya ia berpenampilan persis seperti Aa Gym, lengkap dengan jas, sarung, sorban dan bendo yang membungkus kepalanya. Begitu juga dengan meteri pengajiannya: menyampaikan pesan-pesan moral, menyelipkan humor segar dan selalu mengakhirinya dengan berdoa sambil menangis tersedu-sedu. Dengan performance
seperti ini ia laris diundang ke mana-mana hingga sekali waktu
ditakdirkan bertemu dengan Ahmad Syubanuddin Alwy, seorang penyair dari Cirebon.
Sebagai penyair Alwy memberikan semacam thausyiah
tentang kemungkinan mengolaborasikan kesenian dengan dakwah, dan
nampaknya mubalig muda ini langsung tertarik. Tak lama kemudian ia
menjadi akrab dengan dunia kesenian, juga dengan para seniman dan
budayawan. Setiap milad di pesantrennya ia mengadakan
festival yang meriah dengan mengundang seniman-seniman dari luar. Ia
juga membentuk kelompok musik gamelan, kelompok teater dan sanggar
sastra. Ia membebaskan santri-santrinya berekspresi. Selain itu, ia
sendiri produktif menulis. Mula-mula menulis nadoman atau syi’iran, kemudian menulis
puisi. Dalam setiap pengajian ia selalu menyelipkan puisi-puisinya itu,
bahkan sering kali dibawakan dengan iringan musik gamelan.
Berkolaborasi
dengan kesenian membuat pengajian-pengajian K.H. Maman Imanulhaq Faqieh
menjadi semakin komplit, dan tentu saja semakin laris. Kini ke
mana-mana ia selalu membawa puisi, kadang dengan memboyong kelompok
musik gamelannya. Namun yang perlu digarisbawahi dari peristiwa budaya
ini, kostum ala Aa Gym yang selama ini menjadi andalan utamanya
pelan-pelan ditanggalkan. Kini ia merasa “percaya diri” hanya dengan
berkemeja, bercelana dan berpeci. Nampaknya kesenian telah memberinya
pencerahan, paling tidak dalam caranya berpakaian.
***
Beberapa waktu yang lalu saya bersama teman-teman Komunitas Azan di Tasikmalaya mengadakan halaqoh
sastra yang pesertanya para penulis yang mempunyai latar belakang
pesantren. Meski pesertanya terkesan khusus, acara ini sama sekali tak
ada urusan dengan masalah pelabelan “sastra pesantren” atau merumuskan
langkah-langkah politis bagi eksistensi penulis dari kalangan pesantren
ini. Dalam halaqoh yang pesertanya terbatas ini dibahas
banyak hal, mulai dari proses kreatif masing-masing penulis,
religiusitas dan sastra religius, perkembangan sastra mutakhir,
keragaman budaya, sampai pentingnya menggalakkan kembali kegiatan
apresiasi sastra di pesantren. Hal yang terakhir ini kemudian menjadi
perbincangan serius di antara para peserta.
Seperti
yang disinggung di atas, pesantren sebagai sebuah sub-kultur memang
mempunyai sistem dan karakter tersendiri yang bisa jadi kurang dipahami
pihak luar. Maka untuk kembali menggalakkan apresiasi sastra di
pesantren banyak hal yang harus di pertimbangkan, misalnya bagaimana
sikap kiai terhadap kesenian, khususnya sastra. Mengetahui sikap kiai
ini sangat penting jika gerakan apresiasi yang dimaksud akan bersifat
struktural, misalnya dengan melembagakan sanggar sebagai wadah aktivitas
dan kreativitas para santri. Mengetahui sikap kiai juga penting jika
bentuk kegiatan yang dipilih bukan sanggar secara formal, namun berupa
keleluasaan yang diberikan bagi para santri untuk beraktivitas sastra di
pesantren. Bagi pesantren-pesantren semi modern atau modern,
melembagakan sanggar secara formal mungkin lebih cocok. Meskipun sudah
mempunyai jam pelajaran sastra di sekolah, sanggar tetap dibutuhkan.
Sasarannya bukan untuk menciptakan banyak calon penulis, tapi yang lebih
penting justru memperbanyak para calon apresiator. Saya yakin penulis
akan lahir dengan sendirinya, namun para apresiator bagaimanapun harus
diciptakan dengan berbagai upaya.
Sementara untuk pesantren-pesantren tradisional atau salaf,
keterbukaan kiai dan sikap memberi keleluasaan bagi para santri untuk
berkreasi itu jauh lebih penting ketimbang melembagakan sanggar.
Karakter santri salaf memang berbeda dengan santri dari pesantren semi modern atau modern. Saya melihat santri-santri salaf secara alamiah memang sudah nyeniman,
dan cenderung nyentrik. Mereka terkesan santai, tidak formal, intuitif,
dan cara berpakaiannya pun tidak suka “seragam” seperti halnya
santri-santri modern. Dan yang lebih penting lagi mereka mempunyai
tradisi berkelana, berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren
lain untuk mendalami kitab-kitab tertentu, dan biasanya diakhiri dengan
mendirikan pesantren atau majlis taklim di kampungnya. Jika
karakter yang tidak suka formalitas dan tradisi berkelana ini
diterapkan sebagai proses kreatif dalam dunia kepenulisan tentu akan
sangat menarik. Sebagai salah satu contoh, teman-teman dari Komunitas
Malaikat paling tidak sudah mencoba menerapkannya, dan hasilnya bagi
saya cukup mengagetkan.
Menggalakkan
kegiatan sastra di pesantren nampaknya sudah sangat mendesak, terutama
untuk ikut mengembalikan keberadaan pesantren yang kini semakin goyah
oleh gempuran pihak luar. Perkembangan terakhir bagi saya sangat
memprihatinkan, terutama dengan masuknya para politisi atau
broker-broker politik ke pesantren dan menjadikan lembaga keagamaan
tersebut sebagai pasar untuk jual beli dukungan. Sejumlah kiai terutama
dari kalangan yang lebih muda bukan hanya sudah tergiur, bahkan banyak
yang sudah terperosok jauh menjadi bagian dari organ politik tertentu.
Mereka bukan hanya telah berubah orientasinya, tapi sudah kehilangan
kekhusyukannya dan meredup pandangannya terhadap nilai-nilai
kepesantrenan. Tak sedikit dari mereka yang kemudian menjadi pragmatis
seperti halnya para aktivis. Ritual-ritual khas pesantren seperti istighosah kini sudah berubah jauh maknanya: menjadi sekedar alat untuk mengumpulkan massa, yang ujung-ujungnya adalah pernyataan dukungan kepada seseorang atau partai tertentu.
Dengan
berlangsungnya pilkada di sejumlah daerah, pesantren pun menjadi sering
kena getahnya. Banyak kiai yang kemudian jadi tim sukses calon bupati,
menjadi jurkam dan mengobral ayat-ayat suci. Bahkan banyak kiai yang
berani membenturkan pesantrennya sendiri dengan pesantren lain karena
mendukung calon bupati yang berbeda. Bagi para politisi tentu saja
medekati kiai adalah cara yang praktis dan murah untuk mendulang suara
tanpa harus bersusah payah terjun langsung ke masyarakat. Bukankah
dengan mengambil seorang kiai sekaligus akan menyeret para santri serta
umat di belakangnya? Namun yang jadi masalah kemudian, kiai yang dalam
tradisi pesantren mempunyai hirarki tersendiri yang sejajar atau bahkan
di atas hirarki formal kekuasaan menjadi tidak jelas lagi posisinya di
tengah masyarakat.